7

29 4 2
                                    

Destiny menemui Sarah dengan wajah penuh kelelahan, tubuhnya gemetar, dan amarah yang masih terpendam. "Rencana kita gagal, Sarah," ucapnya lirih, hampir berbisik. la mengangkat ponsel di tangannya, menunjukkan layar kosong tanpa sinyal. "Meskipun kita mendapatkan ponselnya... tapi tetap saja tak berguna. Tidak ada sinyal di pulau ini."

Sarah terdiam, ekspresi kecewa dan takut tergurat di wajahnya. Mereka berdua tahu bahwa jalan keluar semakin sulit ditemukan. "Kita harus memikirkan rencana baru," gumam Sarah, suaranya penuh kepanikan yang ditahan.

"Ya... kita masih punya cairan itu. Kita teruskan perlahan, beri ke wanita-wanita lainnya. Mungkin nanti ada kesempatan lain," jawab Destiny, suaranya terdengar mantap meski dalam hati ia meragukan setiap langkah yang mereka ambil.

Malam itu, pulau kembali dihiasi oleh pesta. Api unggun besar menyala di tengah, membakar kayu-kayu dengan panas yang menyilaukan. Semua orang tertawa, menari, dan bersenang-senang di bawah langit malam, kecuali Destiny dan Sarah yang duduk kaku di tepi kerumunan. Destiny tak bisa lagi menyembunyikan ketidaksukaannya, setiap senyuman di wajah wanita lain tampak seperti pengingat atas penderitaan mereka. Namun mereka tak punya pilihan selain berpura-pura.

Saat itulah, Louis memperhatikan mereka. Matanya tajam mengawasi dari jauh, dan ada sesuatu yang membuatnya curiga. Wajah Destiny -wanita yang telah menjadi obsesinya-tak lagi menampilkan keceriaan yang biasa. la menyadari perubahan itu.

Dengan sebuah senyuman tipis yang penuh maksud, Louis berdiri dan melangkah ke arah mereka. "Destiny, Sarah," panggilnya sambil melambaikan tangan ke arah mereka. "Mengapa kalian tidak menari? Di sini, semuanya menari bersama."

Keduanya terdiam, tapi sebelum Destiny sempat menolak, Louis sudah melanjutkan, "Ayo, ke tengah. Menarilah untuk kami." Suaranya terdengar seperti perintah yang tak
bisa ditolak.

Destiny dan Sarah saling berpandangan, tahu bahwa mereka tak punya pilihan. Perlahan, mereka melangkah ke tengah lingkaran, api unggun menyinari tubuh mereka yang tegang. Musik semakin keras, tawa semakin riuh, dan Destiny tahu apa yang harus ia lakukan. Demi bertahan hidup dan menjaga rencana tetap berjalan, ia harus membuat Louis percaya bahwa dirinya masih setia.

Dengan senyuman yang dipaksakan, Destiny mulai menari. Setiap gerakannya pelan, sensual, seperti ia benar-benar menikmati malam itu. Tatapannya tak lepas dari Louis, menatap pria itu dengan mata yang berbinar seolah tak ada yang lebih penting selain menarik perhatiannya. la mendekat, tubuhnya semakin dekat dengan api, semakin dekat dengan Louis. Setiap tarian yang ia lakukan terasa seperti permainan tipuan yang berbahaya.

Louis memperhatikan setiap gerakannya, dan Destiny bisa merasakan mata pria itu mengawasinya dengan penuh nafsu. Saat ia semakin dekat, Destiny melepaskan diri dari rasa jijiknya, menari lebih liar dan berani, tangannya meluncur ke atas kepalanya, pinggulnya bergerak mengikuti irama, membuat seluruh kerumunan terpaku pada dirinya. la harus menaklukkan Louis dengan cara ini-memperdayanya dengan tubuhnya, dengan sensualitasnya.

Louis tersenyum lebar, matanya berbinar puas. "Ya, Destiny. Itu yang kuinginkan." Suaranya terdengar seperti pujian yang memuakkan bagi Destiny, tapi ia harus terus berpura-pura. Dengan setiap langkah, Destiny semakin dekat dengan Louis, duduk di depannya, seolah-olah hanya menari untuknya, tubuhnya mengayun dalam ritme yang menggoda. Di dalam dirinya, Destiny merasa muak, tapi ia tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara agar Louis kembali mempercayainya.

Malam itu, suasana makan malam terasa tegang, meski di permukaan terlihat seperti pesta biasa. Louis dan teman-temannya tertawa, merencanakan aksi keji yang telah mereka lakukan setiap malam. Mereka memperlakukan para wanita seperti mainan, tanpa rasa bersalah, dan malam ini mereka berencana melakukannya lagi. Di tengah keramaian, Destiny duduk di antara para wanita lainnya, matanya menyipit, memperhatikan gerak-gerik Louis dengan hati yang dipenuhi amarah.

Namun, tanpa mereka sadari, efek dari bisa ular yang diminum para wanita mulai bekerja. Satu per satu, para wanita yang duduk di sekitar meja mulai merasa ingatan mereka kembali. Mereka menatap Louis dan teman-temannya dengan mata yang dulu terlihat pasrah, kini menyala dengan kebencian. Kenyataan mengerikan yang telah mereka lupakan selama ini tiba-tiba muncul kembali dengan jelas—malam-malam penuh penghinaan, kekerasan, dan perlakuan bejat yang dilakukan para pria itu.

Destiny menatap Sarah di sebelahnya, dan sejenak, mata mereka bertemu. Tak ada kata yang perlu diucapkan. Mereka semua telah tersadar—tersadar dari mimpi buruk yang terus berulang. Tak ada lagi yang bisa mereka lakukan selain membalaskan dendam.

Saat Louis bangkit dari kursinya dan mulai mendekati Destiny, rencana kotornya terukir jelas di wajahnya. Namun kali ini, Destiny tak mundur. Ia berdiri tegak, senyuman tipis terukir di wajahnya, seolah-olah mengundang Louis. Tapi di balik senyuman itu, ada bara amarah yang tak bisa dipadamkan. Di saat yang sama, para wanita lainnya juga mulai bergerak, mendekati lelaki-lelaki yang telah menyiksa mereka selama ini.

Seketika, tanpa peringatan, salah satu wanita, Maria, menghantamkan botol wine ke kepala salah satu pria, memecahkan keheningan dengan suara keras. Pria itu jatuh ke lantai dengan darah yang mengalir dari kepalanya, terkejut tak menduga serangan itu. Kekacauan pun terjadi. Para wanita mulai menyerang dengan kekuatan yang berasal dari dendam yang telah lama tertahan. Mereka tidak lagi pasrah—kini mereka adalah pemburu, sementara para lelaki yang dulu berkuasa menjadi mangsa.

Destiny mendekat pada Louis, yang kini tampak kebingungan melihat situasi di sekelilingnya. “Kau pikir bisa terus mempermainkan kami, Louis?” suaranya pelan namun penuh dengan ancaman. Ia menatapnya dengan dingin, sementara tangannya dengan cepat mengeluarkan pisau kecil yang ia sembunyikan di balik roknya.

Louis mundur selangkah, kaget melihat perubahan Destiny. "Apa yang kau lakukan?" suaranya bergetar, merasakan ketakutan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.

"Kau akan membayar untuk semua ini," jawab Destiny dingin, mendekatkan pisaunya ke leher Louis. Pria itu tampak tak berdaya, merasakan kekuatan Destiny yang kini berada di atas angin. Di sekeliling mereka, para wanita mulai membalaskan dendam mereka dengan brutal, tak lagi takut atau ragu.

Satu per satu, lelaki yang dulu berkuasa kini jatuh, diserang oleh para wanita yang mereka rendahkan. Teriakan ketakutan menggantikan tawa kotor yang biasa terdengar di malam-malam sebelumnya. Malam ini, keadilan berada di tangan mereka, para wanita yang dulu dianggap lemah, kini berdiri sebagai pemenang.

Destiny menatap Louis yang masih gemetar di depannya. "Ini baru permulaan," katanya, sebelum dengan satu gerakan cepat, ia menorehkan luka di pipi Louis, meninggalkan tanda yang akan terus diingatnya seumur hidup.

life in a cageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang