6

61 5 4
                                    

Saat Destiny mendengar pintu depan terbuka, jantungnya berdetak kencang, seolah-olah waktu berputar lebih cepat. Dia terjebak- terperangkap di ruangan Louis tanpa banyak pilihan. Tangannya yang gemetar berhenti di laci terakhir yang baru saja ia buka, dan di sanalah, tumpukan ponsel, termasuk miliknya, berserakan. la hendak mengambil semuanya, namun suara langkah kaki Louis yang semakin dekat membuatnya panik.

Berpikir cepat, Destiny sadar bahwa tidak ada cukup waktu untuk keluar dari ruangan ini tanpa ketahuan. Ruangan itu terlalu kecil, dan Louis bisa dengan mudah melihatnya jika dia bersembunyi di manapun. Pikirannya berlari, mencari cara untuk menyelamatkan diri-sampai akhirnya sebuah ide gila muncul di benaknya. Ini satu-satunya pilihan yang tersisa.

Dengan napas yang tertahan, Destiny melepaskan bajunya, menyisakan hanya bra merah yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Rok pendek yang ia kenakan memberi kesan sensual yang tak terhindarkan. la tahu betul bahwa Louis memiliki ketertarikan padanya, dan meskipun perasaan jijik menjalar dalam dirinya, Destiny harus memainkan peran ini dengan sempurna untuk menyelamatkan dirinya.

Sambil menyembunyikan ponselnya di bawah sofa, ia dengan cepat duduk di kursi di tengah ruangan, mencoba menjaga wajahnya tetap tenang. Tubuhnya yang masih setengah terbuka seolah sengaja dipamerkan untuk menyambut Louis. Kaki-kakinya ia silangkan dengan manis, sementara senyum tipis yang dipaksakan menghiasi wajahnya. Tangannya dengan perlahan mengusap lengan kursi, menambah kesan menggoda, seolah-olah ia memang sedang menunggu kehadiran Louis.

Ketika Louis masuk, tatapannya segera tertuju pada Destiny yang duduk santai di kursi, matanya terbuka lebar, terlihat terkejut sekaligus terpikat. la diam sejenak, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Matanya dengan cepat menjelajahi tubuh Destiny, terfokus pada kulit telanjangnya yang bercahaya di bawah sinar redup ruangan. Ada kebingungan di wajah Louis, tapi dengan cepat berganti menjadi ketertarikan yang dalam.

"Destiny?" suaranya rendah, hampir penuh dengan kekaguman yang terbungkus dalam nafsu. la mendekat, napasnya terasa lebih berat dari sebelumnya.

Destiny berpura-pura tersenyum, meskipun perutnya terasa seperti diaduk-aduk. "Hai, Louis," jawabnya dengan suara lembut, sengaja terdengar manja. "Aku... menunggumu. Tadi aku penasaran dengan tempat ini, jadi aku masuk. Aku harap kau tidak keberatan."

Louis menatapnya dengan mata yang berbinar, mulutnya sedikit terbuka. Dia tidak segera menjawab, hanya berdiri beberapa langkah di depan Destiny, matanya masih melekat pada tubuh gadis itu. "Tidak... tidak keberatan sama sekali," suaranya serak, penuh dengan keinginan yang mulai membuncah.

Destiny berusaha menahan
kegelisahannya. Dia tahu bahwa setiap detik sangat berharga, dan ia harus bisa mempermainkan perasaan Louis sampai ia menemukan kesempatan untuk kabur. Dengan gerakan yang lambat namun pasti, ia menggeser posisinya sedikit, memperlihatkan lebih banyak kulitnya, sementara tatapannya ia turunkan, menambah kesan malu-malu tapi menggoda.

"Kukira, mungkin... kau senang jika aku di sini," Destiny berbisik, sambil menggerakkan tangannya di sepanjang paha yang terbuka. "Aku tak ingin sendirian... dan kupikir kau bisa menemaniku."

Louis menelan ludah, kini semakin dekat, tangannya hampir menyentuh Destiny. Tapi Destiny terus berpura-pura tenang, menunggu kesempatan yang tepat untuk keluar dari situasi ini tanpa ketahuan. la harus tetap memegang kendali, meskipun perasaan takut dan jijik terus menghantuinya dari dalam.

Ketika Louis menarik Destiny ke pangkuannya, detik itu terasa melambat bagi Destiny. Napasnya terasa berat, dadanya naik turun mencoba menenangkan debaran jantung yang mulai tak terkendali. Namun, dia tahu ini adalah titik terpenting dari rencananya. Di saat-saat ini, ia harus bertahan, harus bermain dalam peran yang sudah ia ciptakan. Meski demikian, kepanikan yang menjalari tubuhnya tak mudah dilawan.

life in a cageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang