8

42 6 3
                                    

Kekacauan menyelimuti ruangan. Jeritan menggema di setiap sudut, meja-meja terbalik, dan pecahan botol berserakan di lantai. Dayana, yang selama ini hanya bisa diam, kini meledak dalam amarah yang tak terbendung. la menghantamkan segala yang ada di sekitarnya ke arah lelaki yang telah memperlakukannya dengan hina. Matanya membara, penuh dengan kebencian, sementara tangannya bergetar ketika ia menghantamkan botol wine ke kepala pria itu berkali-kali hingga darah mengalir, menodai gaun putihnya.

Setiap pukulan yang dilayangkan Dayana adalah ledakan dari rasa sakit dan kehancuran yang terpendam sekian lama. "Kau akan menyesal!" teriaknya dengan nada yang penuh dengan dendam, "Semua kalian akan membayar!"

Di sudut ruangan, seorang pria lain menyaksikan kekejaman yang terjadi. Wajahnya pucat, dan jantungnya berdetak cepat. Tangan pria itu gemetar ketika melihat Dayana menyerang temannya dengan amarah yang tak terkontrol. Rasa bersalah bercampur ketakutan melumpuhkannya. Dia tahu kejahatan mereka telah terungkap, dan tak ada tempat lagi untuk bersembunyi dari balas dendam ini.

Dengan tangan yang gemetar, pria itu mengeluarkan pistol dari balik jaketnya, mengarahkannya ke Dayana yang masih dikuasai amarah. Detik-detik terasa berjalan lambat saat ia bersiap menembak. Jari-jarinya ragu di atas pelatuk, seolah menimbang keputusannya. Namun, bayangan temannya yang bersimbah darah memaksanya untuk bertindak cepat.

DOR!

Suara tembakan memecah keheningan, dan tubuh Dayana terhuyung mundur. Wajah yang penuh kemarahan itu tiba-tiba berubah menjadi kaget. Tangannya yang penuh darah meraba dada yang kini tertembus peluru, darah mengalir deras dari luka itu. Semua mata di ruangan terfokus padanya. Dengan perlahan, Dayana jatuh ke lantai. Air mata mengalir di pipinya, bukan karena rasa sakit, tetapi karena kesadaran bahwa ini adalah akhirnya.

Destiny, yang berada tidak jauh, menatap dengan ngeri ketika Dayana jatuh. Napas Destiny tersengal, hatinya hancur melihat Dayana terbaring tak bernyawa. Keberanian dan tekad yang mereka bangun malam itu terasa hancur dalam sekejap tembakan. Dayana, yang berjuang untuk kebebasan, kini terkapar di lantai, tak bergerak.

Pria yang menembak Dayana masih memegang pistolnya, napasnya terengah-engah dan penuh kepanikan. "Aku... aku tidak punya pilihan...." gumamnya, mencoba membela dirinya sendiri.

Tapi tidak ada yang peduli. Destiny merasakan amarahnya membara. Air matanya jatuh, namun dengan cepat ia menghapusnya. Ini bukan saatnya untuk bersedih. Dengan diam-diam, ia meremas gagang pisau yang tersembunyi di balik punggungnya. Dalam hatinya, ia berjanji-semua orang di sini akan membayar, dengan nyawa mereka.

Lelaki tadi tak diam disana,ia mengejar destiny yang melihatnya.
Destiny berlari sekuat tenaga menuju halaman belakang, napasnya terengah-engah dan tubuhnya dipenuhi rasa takut. Langkahnya terhuyung-huyung, namun ia tak punya waktu untuk berhenti. Pikirannya hanya satu-lari sejauh mungkin dari mimpi buruk ini. Namun, langkahnya terhenti ketika ia mendengar suara langkah berat di belakangnya. Ketika menoleh, pria yang menembak Dayana tadi sudah terlalu dekat. Wajahnya dipenuhi amarah, dan pistolnya teracung dengan mantap.

Pria itu tak memberinya kesempatan. la menghantamkan tinjunya ke wajah Destiny, membuat gadis itu tersungkur ke tanah. Rasa sakit menjalar dari sudut bibirnya yang mulai berdarah. Destiny mencoba merangkak bangkit, tetapi pria itu menghajarnya lagi, kali ini lebih keras. Tubuhnya terasa lemas, namun pikirannya tetap sadar bahwa kematian mungkin hanya beberapa detik lagi.

"Berhenti bergerak!" teriak pria itu, matanya menyala penuh kebencian. la menarik pelatuk pistolnya, mengarahkannya langsung ke kepala Destiny yang terkapar di tanah. "Kau akan mati seperti temanmu."

Waktu seakan melambat. Destiny menatap lubang pistol yang mengancam nyawanya, jantungnya berdetak kencang, dan pikirannya dipenuhi bayangan Dayana. Namun, tepat saat suara pelatuk terdengar, Destiny memejamkan mata dan menunggu akhir yang tak terelakkan. Tapi tembakan itu tak pernah datang.

life in a cageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang