3

109 5 1
                                    

Keesokan paginya, Destiny terbangun dengan perasaan aneh. Matanya perlahan terbuka, mengerjap beberapa kali, dan dengan cepat ia menyadari bahwa ia tidak lagi mengenakan gaun yang dipakainya semalam. Sebagai gantinya, tubuhnya dibalut lingerie tidur berwarna lembut yang tidak ia ingat pernah memakainya.

Jantungnya berdegup lebih cepat, kebingungan dan kekhawatiran segera menyelimuti pikirannya. Bagaimana bisa... kapan aku mengganti pakaian? Pertanyaan itu terngiang dalam benaknya. Destiny segera bangkit, duduk di tempat tidur dengan selimut yang masih menutupi sebagian tubuhnya, mencoba mengingat kembali apa yang terjadi semalam.

Matanya menelusuri ruangan, dan ia mendapati kamarnya terlihat persis seperti saat ia meninggalkannya. Namun, keganjilan itu terus menghantuinya—siapa yang menggantikan pakaiannya?

Destiny menggigit bibirnya dengan cemas. Ia ingat bahwa malam sebelumnya, setelah interview dengan Louis, ia merasa lelah, namun tidak ingat bagaimana ia bisa kembali ke kamar dan mengganti pakaian.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Flashback

Setelah interview selesai, keheningan melanda ruangan. Destiny duduk dengan hati berdebar, berusaha keras menahan rasa senangnya. Keputusan bahwa ia akan tampil kembali seolah masih terngiang-ngiang di kepalanya, namun ia berusaha menjaga profesionalisme di depan Louis.

Louis, yang memperhatikan kegembiraan tersirat di wajah Destiny, tersenyum tipis. Ia berdiri perlahan, berjalan tak jauh dari sana, lalu mengambil minuman dari meja kecil di sudut ruangan. Gelas itu berisi air mineral.

“Kau pasti lelah. Ini, minumlah,” Louis menyerahkan gelas itu kepada Destiny, sambil duduk kembali di kursinya.

Destiny menerima gelas itu, mencoba untuk tetap tenang. “Terima kasih,” ucapnya dengan nada sopan, kemudian menyesap airnya. Ia berusaha menenangkan detak jantungnya yang masih terasa cepat.

Louis menatapnya dengan penuh perhatian, senyumnya tak berkurang sedikit pun. “Kau terlihat sangat bahagia dengan keputusan tadi. Aku senang melihat semangatmu.”

Destiny menunduk sedikit, berusaha menyembunyikan senyum kecil yang mulai muncul di wajahnya. “Iya... aku hanya tidak menyangka. Ini semua terjadi begitu cepat.”

Louis mengangguk pelan. “Kau pantas mendapatkannya. Bakat dan kerja kerasmu akan membawa banyak hal baik. Kau hanya perlu tetap fokus.”

Destiny menatap Louis sejenak, menyadari bahwa tatapan pria itu tidak sekadar formal atau profesional. “Aku akan berusaha sebaik mungkin. Ini adalah kesempatan yang sudah lama aku impikan.”

Louis tersenyum lebih lebar, kemudian menambahkan dengan nada yang sedikit lebih rendah, “Aku yakin kau akan berhasil. Tapi ingat, kesuksesan juga tentang bagaimana kita menikmati perjalanan ini.”

__

Setelah Destiny meneguk air yang diberikan oleh Louis, rasa hangat yang merambat di tenggorokannya segera berubah menjadi api yang menggelora di dalam dirinya. Setiap detik, panas itu semakin menguasai tubuhnya, membuatnya merasa lebih terbakar, namun bukan dengan rasa sakit-melainkan dengan dorongan yang menggoda dan sulit untuk ditolak. Tubuhnya terasa lebih sensitif, setiap sentuhan udara dan pakaian membuatnya menggigil, seolah-olah ada api yang tak terlihat menyelimuti kulitnya.

Matanya mulai berkabut, bibirnya terbuka sedikit saat napasnya semakin berat. "Louis..." bisiknya, suaranya terdengar lebih dalam, seolah-olah ada sesuatu yang tak terucapkan di balik kata-katanya. "Apa yang... kau berikan padaku?" la menggigit bibir bawahnya, tatapannya terarah pada Louis, dan ada kilatan dalam pandangannya- sesuatu yang jauh lebih sensual.

Destiny perlahan melangkah mendekat, tubuhnya bergerak dengan kemanjaan yang tak biasa. Tangannya dengan lembut menyentuh lehernya, lalu turun ke bahu, seolah-olah mencoba menenangkan panas yang semakin menguasai tubuhnya. "Kenapa... aku merasa begini?" gumamnya, suaranya berat, hampir mengundang. Setiap kata keluar dengan nada yang lebih lembut, lebih menggoda. "Kau pasti tahu apa yang terjadi, kan, Louis?"

life in a cageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang