12. Sperma Perkasa

247 0 0
                                    


"Sandi, kamu kenapa melihatin saya aja sih dari tadi, ada masalah apa?" tanya Bu Sinta.

"Hmm ... gak ada kok bu, tadi hanya terpesona aja kok. Gak ada maksud apa pun, maaf ya kalau saya begitu."

"Gak masalah kok sandi, kamu terpesona karena apa emangnya? Kan, saya gak ngapa ngapain," titahnya membuat aku sangat gerogi.

"Enggak kok bu, masa iya saya kasih tahu. Oh, ya, Pak agus gak jemput? Biasanya pulang sama siapa?" tanyaku dengan nada suara sangat mendayu.

"Iya, dia lagi ada kursus sama siswa nya di dalam. Sekarang mau nunggu angkutan umum ajalah, lagian kalau jam segini agak susah cari ojek."

"Rumah ibu jauh gak dari sini, kalau mau biar pulang sama saya aja juga gak apa-apa. Lagian udah mendung, takutnya gak sampai rumah malah turun air nya."

"Boleh, emangnya kamu gak masalah kalau saya numpang sama kamu? Entar pacarnya malah marah lagi sama saya," paparnya sangat penuh hati hati.

"Enggak kok, biasa aja. Lagian sandi gak punya pacar, dan sekarang hanya jomblo aja kok."

"Okelah, kalau begitu ibu naik motor kamu ya."

Akhirnya bu Sinta pun naik ke motorku, tanpa mengenakan helm aku dan dia pergi melintasi halaman dan gerbang utama. Pasalnya, banyak pasang mata yang menatap kami satu sama lain. Ini adalah kali pertama aku memberanikan diri mengajak guru pulang bersama. Biasanya tidak pernah, jangan kan sama cewek, pada sesama cowok saja aku masih maju mundur.

Namun, setelah memberanikan diri sekarang aku paham kalau mengajak seorang wanita jalan bersama itu tidak buruk. Bahkan tiba tiba rasa macho dan gagah dari dalam badanku ke luar, memancarkan sebuah kejantanan yang tidak biasa. Aku pun menarik napas panjang, entah kenapa laju motor menjadi sangat lambat. Padahal tangan kanan ini sudah sangat berat menarik gas tersebut.

Yang terjadi saat ini adalah, keringat ke luar dengan sendiri nya. Aku yang sedari tadi memantau spion, seolah merasa kalau wajah yang menempel sangat jelek dan tidak pantas jalan pada wanita. Walau pun, banyak yang mengatakan kalau aku adalah siswa paling tampan di sekolah untuk saat ini.

"Sandi, kamu rumahnya di mana sih? Kok, saya gak pernah melihat kamu?" tanya bu Sinta.

"Gak jauh kok dari sini, aku aja kalau sekolah selalu lewat jalan ini," jawabku.

"Oh begitu, kalau sekarang kamu gak ada kepikiran gitu buat pacaran?" tanyanya lagi.

"Entahlah bu, aku lagi malas aja komitmen. Lagian ... pacaran itu hanya membuat pusing, sekarang aku hanya ingin menjalani hidup yang mengalir bagai air saja tanpa ada yang melarang hendak berbuat apa."

"Bagus dong, ibu juga mendukung kamu kalau gitu. Menurut yang ibu tahu, kalau kamu sudah nyaman di sebuah sisi jangan pernah cari sisi baru atau akan menjadi sangat tidak enak he He He ...."

"Eh, bu, ujarnya turun nih. Gimana ya, kita lanjut atau berhenti sebentar di sini?" tanyaku pada bu Sinta.

"Kita lanjut aja San, karena rumah ibu dekat lagi sampai kok kita bisa berteduh di sana," paparnya.

Akhirnya aku menarik gas motor dengan sangat kencang, kami pun masuk dari gerbang utama dan kini tibalah kami di teras depan. Dengan menuruni motor besar milikku, bu Sinta masuk ke teras rumah. Sementara aku hanya bergeming di teras sambil menatap kendaraan yang sudah basah kuyup.

"San, kamu tunggu bentar ya, ibu mau masuk dulu ambil handuk," katanya.

Tanpa menjawab aku hanya sekadar mengangguk. Dia masuk dan melepaskan sendalnya, tanpa bergeser sama sekali aku hanya menyibak air yang ada di badan, baju, serta celana yang sudah basah. Kemudian tidak berapa lama bu Sinta datang lagi dari arah belakang, dia pun menemui aku dan membawa satu jauh handuk padaku.

Warnanya kuning, dan sangat lucu. Kemudian bu Sinta menyibak air hujan yang sempat membasahi badanku, secara perlahan menuju ke semua badan. Namun, saat berada di dada ini dia malah terdiam dan menatap aku sangat tajam. Tidak biasa, ketika aku di sentuh oleh wanita bergetar seperti ini. Bahkan bu Sinta seperti menyimpan rasa dari tatapannya, semua itu dapat terlihat jelas.

Aku yang sudah merasa aneh, kemudian memegang punggung tangan bu Sinta untuknya tidak mengeringkan lagi air di badan ini. Kami pun menjadi saling tukar tatap satu sama lain, dan aku menggerakkan wajah perlahan menuju wajah bu Sinta. Dia memejamkan kedua mata, perlahan bibir ini menyentuh bibirnya yang merah muda itu.

Namun, dalam beberapa detik kemudian sebuah petir bersuara dan mengejutkan kami berdua.

Duar!!!

"San, kita masuk ke rumah aja yuk, karena di luar banyak petir," ajaknya.

Aku mengangguk dan kami masuk ke dalam ruang tamu, kini tibalah aku di kursi sofa. Rumah permanen ini tidak banyak gaya, dan keadaannya juga sangat sunyi. Begitu nyaman berada di rumah bu Sinta, dia pun mendudukkan badan di samping kananku kami menjadi menatap satu sama lain.

"Rumah ibu kenapa sunyi banget sih? Yang lain pada ke mana?" tanyaku pada bu Sinta.

"Panggilnya jangan ibu dong, biar akrab panggil kamu aja. Lagian ... ini di luar sekolah juga kan?"

"He He He ... tapi aku takut durhaka kalau manggil guru pakai bahasa kamu," paparku.

"Enggao kok San, kamu santai ajalah. Oh, ya, dingin banget ya sekarang. Kamu gak mau pakai jaket?" tanyanya sangat ramah.

"Enggao deh, malah aku merasa gerah, boleh gak kalau aku buka baju sedikit aja," ucapku lagi.

"Boleh kok San, kamu jangan malu dan takut anggap aja rumah sendiri loh," paparnya.

Di bantu oleh bu Sinta aku membuka kancing baju, sekarang terbuka setengah dan bulu dadaku juga terlihat sangat jelas. Wanita itu sedang menatap, dia menyentuh dan mengelus dada ini perlahan.

"Kamu kenapa melihat aku seperti itu Sinta?" tanyaku penasaran.

"Sandi, kamu gak mau ambil jatah di waktu hujan? Dingin banget loh, sekarang di sini mau gak?" tanyanya bertubi-tubi.

"Emangnya boleh? Entar kalau Pak agus tahu gimana, aku gak mau pertunangan kalian jadi berantakan."

"Enggak kok, aku akan jaga rahasia kita. Sebagai permulaan, kamu yang ambil pun gak masalah. Apa sih yang gak untuk lelaki ganteng seperti kamu," paparnya, aku mengangguk dan langsung menyentuh pipi bu Sinta.

Berhubung si Joni juga sudah bangun, aku yang sedang di teruntuk sebuah pilihan sulit akhirnya membiarkan bu Sinta melakukan apa pun yang dia mau. Salah satunya adalah unboxing sebelum menikah, malah aku yang mengambil duluan sebelum calon suaminya.

Setelah resleting terbuka, airnya elang hidup dan gagah. Dari ujung kepala sampai ke pangkal telah di berikan sentuhan, membuat aku memejamkan kedua mata. Lambat lambat, akhirnya sangkar pun telat memadati wilayah. Kepala sang elang pun telah menemukan jalannya menuju ke sebuah keindahan surga, inilah yang namanya jepitan maut. Aku tidak mampu berkata apa pun selain hanya memejamkan kedua mata.

"Sinta ... apa ini, kenapa kau begitu indah ...," kataku sambil membuka mata dan memejamkan nya.

"I ini ... ini adalah yang aku mau, sudah lama dan sangat membuat jantungku seperti mau copot. Gak muat banget, aduh bentar lagi pecah ...," teriak bu Sinta, kemudian dia bangkit dan membiarkan elang begitu saja terlepas.

Benda berwarna merah yang cair itu menyelimuti semuanya, dan aku berhasil membuat bu Sinta kehilangan ke indahkan yang akan di persembahkan untuk suaminya. Namun, tidak dapat di kembalikan lagi, alhasil karena sudah sangat sukar di kembalikan aku yang gantian berada di atas sambil membuat bu Sinta sangat menjerit.

"Sandi ... pelan sandi ... ak aku ... aku ...."

Tanpa peduli apa yang dia katakan, aku pun melayangkan tapak tangan mendarat di dua buah benua yang membelakangi.

Plok plok plok!

'Kalau aku tahu rasanya seperti ini, kenapa aku gak lakuin dari dulu ... sumpah, menyala guruku ... terus sayang ...,' kataku dalam hati.

Tanpa membuka semua seragam, aku sudah bisa merasakan indahnya waktu hujan ini dengan memakai gaya helikopter dan gaya ubur ubur, menarik rambutnya serta melayangkan sebuah sepak terjang sampai membuat bu Sinta hampir pingsan minta ampun.

"Sandi ... ampun ...," teriaknya.

Bersambung ...

DIENT0T ANAK TIRIKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang