14. Ngentot Bu Guru

325 0 0
                                    


Mendengar ucapan dari mama Lastri air mataku menetes, bukan karena aku adalah pria lemah. Namun, ini lebih kepada perhatian yang di berikan melebihi orang tuaku sendiri. Dalam memaknai semua ini, naluri serta akal sehat ku ikut berkata juga. Semua yang terjadi dalam kehidupan murni dari sebuah peristiwa yang biasa di alami oleh kehidupan sehari hari, akan tetapi ada yang berbeda di dalam rumah tangga kami yang sejak awal di pupuk dengan kejadian broken home.

Aku yang sekarang berada dalam dekapan si mama pun terlalu larut dalam banyaknya masalah. Terlebih lagi sekarang ayah telah berubah padaku, semuanya serba di sembunyikan dan tidak mau berterus terang. Kemungkinan kalau dia berkata jujur padaku, semua ini tidak akan terjadi terlalu sakit. Bagai anak tiri dalam kehidupan, itu yang sedang aku alami saat ini.

Mama Lastri pun menyibak air mataku, keberadaannya sebagai seorang mama tiri mulai masuk akal dalam kehidupanku. Namun, tetap saja pernikahan tersembunyi yang di lakukan oleh ayah sangat di luar nalar dan tak dapat aku pecahkan. Beberapa menit kemudian mama pun membangkitkan badan, setelah berhasil mengobati luka di bibir serta di bagian mulut.

Akibat dari tangan ayah yang sudah terlalu bermain dengan kekerasan, membuat aku harus menerima amarah darinya. Tidak masalah, yang seperti ini sudah lumrah dan sering aku temukan dalam kehidupan. Bahkan di sekolah, sehingga tidak ada keterkejutan lagi bahkan merasa emosi. Hanya saja, caranya yang kurang tepat dalam memberikan edukasi terbaik dalam membentuk moral dalam diri anaknya.

Melihat kejadian ini aku semakin berani untuk memberontak, karena bagiku ini adalah awal dari rasa penasaran karena ayah sampai mempertahankan pernikahannya yang tersembunyi ini dalam diriku. Sudah pasti ada sebuah kenyataan sedang di sembunyikan olehnya, dengan melipat bantal aku menutup wajah dengan sangat rapat. Lalu, menarik selimut panjang dan mencoba tenang dalam situasi tersebut.

Suara percikan air hujan terdengar masuk ke dalam rumah, aku pun menganggap kalau semua masalah dapat lenyap malam ini yang di bawa oleh sebuah kejadian yang sangat mampu membuat luntur. Lalu, sebuah ketukan pintu terdengar dari luar kamar, sangat keras sampai memasuki ruangan kamarku.

Tok tok tok!

"Sandi, buka pintunya. Ini ayah mau ngomong sama kamu," ucap ayah dari balik pintu.

"Gak perlu, aku gak mau menambah masalah lagi sama ayah. Biarkan aku sendirian," jawabku dengan sangat lantang.

"Sandi, buka pintunya dulu. Ayah mau ngomong sama kamu nak, maafkan ayah yang udah membuat kamu seperti ini. Tolong lah, kamu udah dewasa kan San, kamu tahu kan apa yang di maksud dalam kejadian tadi."

Tanpa jawaban apa pun aku tetap berdiam diri, bahkan ayah mengetuk pintu sangat keras sampai membuat aku sangat emosi kembali. Namun, tiba tiba sebuah suara perempuan datang menemui. Dan aku yang sedang berdiam kemudian mendengarkan ucapan dari mereka berdua.

"Mas, kamu gak usah keras keras sama sandi, dia masih labil dan remaja. Masih emosian, kamu gak perlu lah menambah permasalahan sama dia," jawab sang mama.

"Tapi dia sudah SMA, bukan anak kecil lagi. Dan aku juga mau berkata maaf saja, gak lebih. Apakah itu salah untuk aku yang sudah membesarkannya dari kecil?"

"Gak salah mas, tapi waktunya aja yang gak tepat. Kamu jangan begini dong, semua permasalahan ada jalan ke luarnya, gak perlu dengan cara emosi yang berkepanjangan. Sekarang kita makan malam, biar sandi ada di kamarnya saja."

"Okelah kalau kamu mau nya begitu, tapi aku gak jamin kalau dia akan berubah. Semakin ke sini semakin tambah bobrok moralnya," pekik ayah membuat aku merasa sangat kesal.

Tak berapa lama, ponsel milikku pun berdering di samping tempat tidur. Itu adalah revan dan yang lainnya, bahkan aku sampai lupa kalau malam ini ada janji sama mereka agar ketemu di sebuah tempat. Dengan mengangkat telepon itu, akhirnya lokasi pun telah di berikan oleh mereka. 

Sebagai orang yang tidak suka membatasi persahabatan, aku juga tidak mau membuat mereka kecewa. Akhirnya aku pun bergerak memakai jaket dan memutuskan untuk pergi malam ini, walau sedikit agak gerimis di luar sana. Yang pasti kami akan bersenang senang dan tidak larut dalam masalah rumah yang semakin kacau.

Seraya menuruni anak tangga lantai dua, kini tibalah aku di lantai satu dan langsung berjalan melintasi ayah dan mama Lastri sedang makan malam. Keduanya seolah Heran, ini adalah malam pertama aku ke luar tanpa pamitan.

"Sandi, kamu kau ke mana!" teriak ayah yang masih terdengar di ruang tamu.

Namun, aku tidak berhenti dan mengambil sepatu di balik tembok. Kemudian ayah memanggil lagi, dengan nada suara lebih kasar dari semula.

"Sandi! Kamu gak dengar apa yang ayah bilang?!" teriaknya yang langsung berjalan dan beringsut dari kursinya, di ikuti oleh mama Lastri di belakang.

"Mas, kamu jangan marah marah lagi, malu di dengar sama tetangga," ucap si mama.

"Mau ke mana kamu malam malam begini, ini hujan dan kamu mau ke luar. Pasti kamu mau pergi sama teman teman yang gak bener itu kan?!" pekik ayah, membuat aku semakin menarik napas panjang.

"Bukan urusan ayah, lagian sandi ada di rumah ini jadi bahan amarah ayah aja kan. Kenapa kalau sandi memilih pergi, apa itu salah?" tanyaku tepat di wajah ayah.

"Kamu, mulai berani kamu sama ayah ya!"

"Mas, kalau kamu berani menyakiti sandi aku juga akan ke luar dari rumah kita." Kali ini mama Lastri membela aku di hadapan ayah, dia berjalan di hadapannya dan melerai lelaki itu.

"Kok kamu malah belain anak ini, kamu harusnya dukung aku dong bukan malah membela dia."

"Aku gak bela siapa pun mas, aku hanya gak mau kalau kamu buat kekacauan di rumah aku. Mas, tetangga kita banyak yang pasang telinga kalau ada yang bertengkar, aku gak mau kalau mereka membicarakan kita besok pagi di pasar," pungkas si mama.

Akhirnya ayah berhenti dan dia diam, dengan sangat cepat aku pergi dari lokasi sekarang dan melaju dengan kendaraan roda dua. Di sepanjang perjalanan aku tidak dapat membedakan siapa yang benar dan siapa yang salah, akan tetapi saat ini yang aku tahu adalah, kemungkinan sudah jalannya dan tidak ada siapa pun yang dapat menjawab.

Hidup sebagai anak seorang tentara tidak se gampang yang aku bayangkan, tiap hari didikan yang di berikan sangat banyak. Keras, bahkan menguji mental aku sejak kecil, sampai detik ini. Namun, dia juga gak salah dalam mendidik anak, karena aku tahu dia adalah seorang ayah sekaligus ibu buat aku.

Namun, untuk saat ini aku benci cara dia memperlakukan aku sebagai bahan imbas dari semua emosi yang ada. Akhirnya aku pun mencoba mencari kebahagiaan di luar, dan tak berapa lama akhirnya aku pun tiba di depan rumah revan. Sangat luas dan lebar, tetapi aku tidak tahu mereka ada di sana satu tidak.

Ketika motor ini masuk ke dalam perkarangan, sebuah laser membawa aku ke depan pintu. Akhirnya aku menyalakan sebuah bel rumah, dan berdering sangat kencang. Ternyata pintu rumah itu terbuka dengan sendirinya, dan aku pun masuk dengan segara. Tepatnya ini bukan rumah, melainkan sebuah apartemen atau pun hotel bintang.

Mungkin karena aku selalu tinggal di kontrakan sehingga tidak pernah masuk ke dalam rumah yang luas seperti ini, seketika aku berjalan dan suara tepuk tangan pun terdengar sangat keras.

Prok prok prok

"Akhirnya yang kita tunggu udah datang, selamat datang di rumah kita bersama. Rumah yang telah aku sediakan untuk kita menjalani aktivitas beramai ramai malam ini," katanya sambil mengajak ketiga yang lainnya.

"Kalian udah dari tadi sampai, kenapa gak kabari aku?" tanyaku lagi sangat penasaran.

"Sebenarnya kami udah lama sampai, hanya saja kami memang tidak mau terlalu cepat lau datang. Kan, kita mau parti dulu bentar. Kalau parti di waktu magrib sangat tidak enak, sekarang adalah waktu yang tepat ya," kata revan.

Tak berapa lama musik DJ pun berbunyi, keempat wanita turun dari anak tangga lantai dua, meraka adalah sasaran kami sebelumnya.

'Astaga ... cantik banget mereka, apakah mereka yakin mau tidur sama aku?' tanyaku dalam hati.

Bersambung ...

DIENT0T ANAK TIRIKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang