Dark Organization Part 12 Membayar

162 15 0
                                    

Dark Organization

Part 12

Membayar

"Vell, bangun. Bangun, bangun ..."

Uh, suara siapa itu? Tunggu, untuk tahu jawabannya, aku harus menajamkan indra pendengaranku.

"Bangun ... ayolah ..."

Itu suara Zelda. Ya! Aku yakin itu suara Zelda. Tidak salah lagi. Aku harus membuka mata ini. Tapi, kenapa susah dibuka? Astaga ... Susah dibuka.

"Zel, mataku nggak bisa dibuka, gimana nih?" tanyaku panik. Kugelengkan kepalaku ke kanan dan ke kiri.

Kurasakan tangan Zelda mengelus lembut telapak tangan kananku. "Tenang, Vell. Lebih baik kamu istirahat dulu ya," Zelda meletakkan tangan kananku di atas perut.

'Mungkin benar yang dia katakan. Lebih baik aku istirahat saja,' batinku.

***

"Em ...," sykurlah, aku bisa membuka mataku. Kupikir aku akan melihat cahaya. Tapi, ternyata tidak. Aku diselimuti oleh kegelapan. Apa aku buta? Bisa saja.

"Zelda!" teriakku memanggil Zelda. Tapi tidak ada jawaban.
Aku meraba tempatku berbaring. Rupanya aku tidak berada di atas kasur. Sebenarnya dimana aku? Kenapa tempat ini sangat gelap? Apa disini mati lampu? Aku segera berdiri dan mengulurkan kedua tangan ke depan, berjaga-jaga kalau ada sesuatu di depanku. Aku melangkahkan kaki. Setelah lama berjalan, aku tidak menemukan tepi dari kegelapan ini. Sebenarnya, dimana aku? Kenapa aku tidak menemukan ujung kegelapan ini? Itu berarti aku sudah tidak berada di ruangan saat Zelda memintaku istirahat.

"Sebenarnya dimana ini?" gumamku agak keras. Berharap ada yang mendengar kata-kataku barusan.

"Kamu harus membayar hutangmu. Kamu harus membunuh dua orang tiap minggunya. Atau aku akan membuatmu kehilangan matamu untuk selamanya!"

Aku mendengar sebuah suara. Suara yang sama yang mengaku pemilik evil eyes yang asli. Tapi, siapa?

"Siapa, kau?"

"Pemilik evil eyes yang asli. Bukankah sudah kukatakan padamu?" balas suara itu.

"Apa aku harus memanggilmu "Pemilik evil eyes yang asli"? Tidak kan?"

"Panggil saja aku Demon. Itu cukup," sahutnya.

Demon, huh? Seperti nama iblis saja. Dia, pemilik evil eyes sebenarnya? Dan, aku harus membunuh dua orang tiap minggunya? Yang benar saja. Itu artinya, aku akan menjadi pembunuh? Aku tidak mau ... Tapi, bukankah aku telah membunuh kepala sekolah? Oh, itu tidak sengaja. Apa karena aku baru membunuh satu orang, rasa sakit itu menyerang saat aku melawan George?

"Kamu harus membunuh satu orang lagi! Ingat, waktumu hanya tinggal satu hari. Jika kamu tidak berhasil, matamu akan menjadi milikku!"

***

"Bangun! Dasar tukang tidur!" terdengar suara Zelda yang menusuk telinga.

"Hah, hah, hah!" aku membuka mata dengan muka terkejut. Keringat dingin bercucuran dari keningku hingga turun membasahi kasur tempatku berbaring. "Astaga, apa yang kualami tadi?"

"Apa? Apa yang terjadi padamu?" terdengar suara yang tak asing bagiku. Aku menoleh ke sumber suara.

"Mimpi buruk, hanya itu," jawabku singkat.

Kak Erick terkekeh. "Kamu kenapa bersikap dingin begitu?"

Aku membuang muka lalu melipat tangan di dada. 'Menyebalkan, kenapa harus ada dia sih?' batinku kesal.

"Kamu melawan George, kan? Apakah kamu tahu kalau dia itu baru saja mendapatkan kekuatan listrik dari seorang iblis?" Kak Erick menghampiriku.

Aku terbalak mendengarnya. "Hah? Kakak tahu dari mana?"

"Kamu pikir nggak ada yang lihat aksimu di kantin? Bahkan, kamu hampir menghancurkan kantin," kata Kak Erick dengan pelan.

"Hm ...," aku bergumam pelan. "Kak, aku mau bicara berdua dengan Zelda. Boleh kan, kakak keluar?" pintaku.

Kak Erick mengangguk. Dia melangkah keluar dari ruang UKS. Zelda menutup pintu dan jendela.

"Ada apa?" tanya Zelda.

"Mimpiku aneh banget," aku menceritakan mimpiku pada Zelda. Zelda yang mendengar ceritaku tiba-tiba tampak bersemangat.

"Haha, kalau begitu, ayo lakukan. Kau mau membunuh siapa? Akan kubantu," komentar Zelda.

"Kamu bercanda? Aku bukan pembunuh," tolakku.

"Tapi, bagaimana kalau Demon itu menagihmu lagi? Bukankah kau meminta kekuatan untuk membalas dendam?"

"Tapi ...," aku masih bimbang.

"Nggak ada tapi-tapian. Sekarang, siapa yang kamu benci?"

"Nadine," jawabku.

"Baik, dia targetmu. Akan kubantu," Zelda mengacungkan jempol.

'Oh, aku nggak yakin dengan apa yang akan kulakukan. Bagaimana ini?' tanyaku dalam hati.

***

Kring .... Bel tanda pelajaran telah usai telah berbunyi. Aku segera mengemasi barang-barangku dan keluar kelas.

"Oh, kamu nggak pulang bareng Boby? Kasian, dia nungguin kamu," Nadine berkata pada tembok. Padahal, dia tahu kalau aku berada di belakangnya.

Hal itu membuat perempatan siku-siku muncul di keningku. "Err ... dia! Memang sangat menyebalkan!" gumamku pelan.

Gadis centil itu berjalan keluar kelas. Dia berbalik sebentar lalu tersenyum kecut padaku.

"Cih, kenapa sih, harus sekelas dengannya?" tanyaku kesal.

"Hei, kau mau berdiri disana atau menyusun rencana?" suara Zelda mengagetkanku.

"Menyusun rencana? Untuk?" tanyaku dengan tampang polos.

Zelda menarikku ke kelasnya. Dia menutup pintu dan jendela.

"Ada apa, sih?" aku masih belum mengerti.

"Ish, ni anak. Waktumu tinggal sedikit. Kamu nggak mau jadi buta, kan? Sekarang kita harus membunuh gadis sialan itu secepatnya."

"Nadine maksudmu?" tebakku.
Zelda mengangguk.

"Ah, begini saja. Bawa si Nadine ke toilet, pasti tidak akan ada yang melihatmu," usul Zelda.

Aku mengangguk dengan lesu.

***

"Nad, bisa aku bicara sebentar, sama kamu?" tanyaku pada Nadine yang sedang menunggu jemputan.

"Apa? Kamu mau protes sama aku?" Dia balik bertanya.

Zelda menarik tangan Nadine ke toilet. Aku hanya mengikuti Zelda dari belakang. 'Astaga, aku benar-benar nggak yakin.'

Zelda menutup pintu toilet dan berdiri membelakangi pintu. "Kamu bisa mulai, Vell," kata Zelda, agak serak suaranya di telingaku.

Aku melepas kaca mataku dan menatap Nadine. Aku berhasil mengubahnya menjadi mayat. Lalu aku membuat mayat itu mengering. Zelda menatapku heran.

"Kenapa nggak jadi debu aja? Bisa ketahuan nanti," kata Zelda sambil melirik mayat Nadine.

"Aku tidak bisa mengubahnya menjadi abu. Itu karena aku sangat lelah. Menggunakan evil eyes juga perlu energi," jelasku.

"Kamu tidak boleh meninggalkan jejak," kata Zelda lagi. Dia mempersilahkanku keluar dari toilet lebih dulu. Zelda meletakkan mayat Nadine yang mengering di bilik kamar mandi lalu menutupnya.

"Yuk!" ajaknya.

'Sudah lunas, tapi, minggu berikutnya ... bagaimana?' batinku.

TBC

_________________

Penulis:
Nah, sudah ada pembunuhannya, nih. Bagaimana menurut kalian? Ditunggu comentnya ya.

Baca juga I Love Biola dan Kelinci Percobaan ya.
Bisa dilihat di work saya. Sayonara.

Dark Organization (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang