Bab 12: Langkah Awal Menuju Kegelapan

9 2 0
                                    


Mereka akhirnya tiba di basecamp Gunung Arwana saat senja mulai turun. Udara di kaki gunung terasa berbeda. Ada hawa dingin yang tidak biasa, menusuk kulit mereka meski belum terlalu tinggi. Di depan basecamp, ada papan kayu tua yang sepertinya sudah lama berdiri, meski tulisannya masih jelas terbaca: "Jangan Mendaki Dalam Jumlah Ganjil."

Widya membacanya keras-keras, lalu tertawa kecil. "Ini apaan? Ganjil-genap kayak aturan jalan raya?"

Perdi mengangkat bahu. "Mungkin cuma tradisi atau mitos penduduk setempat. Jangan terlalu dipikirin."

Namun, tidak semua dari mereka menganggap enteng peringatan itu. Dian, yang biasanya santai, tiba-tiba merasa merinding. Ada sesuatu yang terasa salah sejak mereka tiba di sini, tapi ia tak bisa menjelaskan apa itu. Dirga, yang berdiri di sebelahnya, juga terlihat lebih pendiam dari biasanya, matanya mengamati pepohonan di sekitar dengan cermat.

"Ada yang aneh di sini," gumamnya pelan, tapi cukup jelas untuk didengar Dian.

"Lu juga ngerasa?" tanya Dian sambil melirik Dirga.

Dirga mengangguk pelan, tetapi tidak menambahkan apa-apa lagi.

Malam itu, mereka menghabiskan waktu di basecamp dengan bercanda dan tertawa, tapi di balik tawa itu, beberapa dari mereka tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa sesuatu sedang mengawasi dari kegelapan hutan. Siska, yang duduk agak jauh dari yang lain, mendadak merasa hawa di sekitarnya semakin dingin. Ia menoleh ke arah hutan, dan untuk sekejap, ia melihat sosok bayangan hitam di antara pepohonan.

"Apa itu?" gumam Siska pada dirinya sendiri, tapi ketika ia mencoba memperhatikannya lebih jelas, bayangan itu menghilang.

---

Pagi hari di kaki gunung dimulai dengan kabut yang tebal, menutupi pandangan mereka ke jalur pendakian. Fauzan yang memimpin rombongan, berdiri di depan dengan tas carrier besar di punggungnya, memandangi jalur yang tampak samar-samar di antara kabut.

"Ayo, kita mulai sekarang biar nggak kemaleman sampai pos satu," seru Fauzan.

Satu per satu, mereka mulai melangkah memasuki jalur pendakian. Awalnya, suasana masih penuh canda dan semangat. Widya dan Perdi berjalan beriringan, sesekali saling menggoda. Di belakang mereka, Rama menggandeng tangan Syifa erat-erat, sementara Siska sibuk memotret setiap sudut hutan yang mereka lewati, meskipun kabut menghalangi pandangan.

"Aduh, kabut tebel banget, ya," keluh Siska sambil mengusap lensa kameranya.

Deni, yang berjalan di sampingnya, tertawa kecil. "Nanti juga hilang. Kalau udah di atas pasti cerah."

Namun, semakin mereka mendaki, kabut tidak kunjung hilang. Bahkan terasa semakin tebal, menutup jalur pendakian hingga pandangan mereka hanya beberapa meter ke depan. Langkah mereka semakin lambat, dan sesekali mereka berhenti untuk memastikan mereka masih di jalur yang benar.

"Ini bener nggak sih jalurnya?" tanya Bagus sambil melirik Fauzan.

Fauzan, yang memegang peta, hanya mengangguk. "Iya, ini masih bener. Tapi... kok rasanya aneh ya, jalurnya nggak kayak yang gue baca di blog."

Mereka terus berjalan, tapi keanehan demi keanehan mulai terjadi. Syifa yang berjalan di depan bersama Rama mendadak berhenti dan menoleh ke belakang. "Eh, kita sembilan orang kan? Kenapa kayak ada yang ikutin kita dari belakang?"

Semua mendadak hening. Fauzan menoleh ke belakang, menghitung jumlah mereka. Dian, Bagus, Perdi, Widya, Deni, Siska, Rama, Syifa, Dirga... Mereka lengkap. Tapi ada rasa aneh yang tiba-tiba menyusup di dalam hati mereka semua.

"Apa sih, Sayang? Udah, nggak usah parno," ujar Rama sambil menarik tangannya untuk melanjutkan perjalanan.

Namun Syifa tetap merasa ada sesuatu yang salah. Ia menoleh sekali lagi ke arah jalur yang mereka lewati, dan kali ini dia yakin. Ada sosok hitam di antara kabut, jauh di belakang mereka, mengikuti langkah mereka dengan pelan.

"Rama, serius deh. Ada yang ikutin kita," bisiknya cemas.

Rama menoleh ke belakang, tapi tidak melihat apa-apa selain kabut tebal yang melingkupi jalur. "Cuma kabut. Udah, tenang aja."

Mereka melanjutkan perjalanan dengan perasaan yang semakin tak nyaman. Widya, yang biasanya ceria, mulai tampak pucat, sementara Perdi terus memegangi tangannya erat-erat, mencoba menenangkan.

Di belakang, Siska merasa semakin gelisah. Sesuatu seperti menariknya kembali, seperti ada mata yang terus memandangnya dari balik pepohonan. Ia tidak bisa menyingkirkan perasaan itu, hingga akhirnya ia berhenti mendadak.

"Sayang, gue nggak enak perasaan. Kayak ada yang ngikutin kita," katanya pelan, suaranya hampir bergetar.

Deni mengernyit, merasa bingung. "Tenang aja, Nggak ada apa-apa. Itu cuma kabut."

Tapi, Siska tahu, ini bukan hanya soal kabut. Dan tak lama kemudian, mereka semua akan menyadari bahwa peringatan di basecamp bukan sekadar mitos atau cerita rakyat belaka. Jalur yang mereka pilih bukan jalur biasa, dan gunung ini tidak akan membiarkan mereka pergi tanpa meminta sesuatu sebagai bayarannya.

Pendaki Yang GanjilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang