Bab 13: Bayangan di Tengah Kabut

12 2 0
                                    


Langkah mereka semakin berat seiring dengan merambatnya kabut tebal yang entah kenapa tidak kunjung hilang. Semangat yang awalnya begitu tinggi perlahan mulai terkikis. Tidak ada lagi canda tawa, hanya suara langkah yang bergema di antara pepohonan besar. Udara dingin yang menusuk semakin terasa, seolah ada sesuatu di dalam kabut yang terus mengawasi mereka.

Siska, yang biasanya ceria dan penuh semangat, terus memegangi kamera dengan tangan gemetar. Setiap kali ia mencoba mengambil gambar, hasilnya selalu buram, seperti ada sesuatu yang tak terlihat mengganggu lensanya. Deni, yang berjalan di sampingnya, mulai merasakan ketidaknyamanan dari pacarnya, tetapi ia mencoba untuk tetap tenang.

"Nanti pas di puncak pasti cerah kok, Sayang," ucap Deni sambil mencoba tersenyum.

Namun Siska hanya mengangguk kecil tanpa menanggapi. Matanya terus menelusuri kabut di belakang mereka, berharap bayangan yang ia lihat tadi tidak muncul lagi.

Di depan, Widya yang berjalan dengan Perdi tampak semakin pucat. Beberapa kali ia berhenti, tangannya memegangi perut. Perdi terlihat khawatir, wajahnya tegang.

"Kenapa? Pusing lagi?" tanya Perdi, menepuk bahu pacarnya dengan cemas.

Widya mengangguk. "Entah kenapa, aku ngerasa sesak. Jalannya berat banget, padahal kita belum naik terlalu tinggi, kan?"

Rama, yang berada di dekat mereka bersama Syifa, menoleh. "Mungkin lo kurang minum. Ayo istirahat bentar, gue juga mulai capek."

"Kayaknya kita semua butuh istirahat, deh," sambung Fauzan dari depan. Suaranya terdengar berat, berbeda dari biasanya yang selalu penuh semangat. Bahkan sang pemimpin rombongan ini pun tampak mulai goyah.

Mereka memutuskan untuk berhenti di sebuah tanah lapang kecil di tengah hutan. Tanahnya basah, dan pepohonan yang mengelilingi mereka tampak semakin gelap meski matahari masih seharusnya bersinar di balik kabut. Fauzan mengeluarkan botol minum dari tasnya, diikuti oleh yang lain. Suasana hening, hanya suara napas yang terdengar.

Dian, yang biasanya paling ceria, kali ini tampak lebih serius. Dia duduk sambil mengamati sekeliling, matanya meneliti setiap sudut hutan yang terlihat samar di balik kabut.

"Lu ngerasa nggak sih, ini aneh banget?" Dian akhirnya angkat bicara, memecah keheningan.

Dirga, yang duduk di sebelahnya, mengangguk pelan. "Iya, ada yang salah sama tempat ini."

Dari awal perjalanan, Dirga sudah merasakan aura yang berbeda. Kabut yang terus menebal, jalur yang terasa seperti memutar-mutar mereka, dan sekarang, hawa dingin yang semakin menusuk tulang. Semua terasa tidak wajar.

"Kayak ada yang ngikutin kita," bisik Syifa, masih memegangi tangan Rama dengan erat.

Mendengar ucapan Syifa, Siska yang duduk agak jauh langsung memalingkan wajahnya ke arah hutan. "Gue tadi juga ngerasa gitu... Ada bayangan hitam di belakang kita, ngikutin kita dari tadi."

Sekejap suasana jadi tegang. Semua saling berpandangan, tak ada yang tahu harus berkata apa.

"Apa kita harus balik?" tanya Widya dengan suara bergetar. "Gue nggak enak perasaan dari tadi."

Fauzan, yang biasanya paling rasional, terlihat ragu. Dia menatap peta yang dibawanya, namun jalur yang mereka tempuh tadi tidak sesuai dengan yang ada di peta. Seolah-olah mereka terjebak dalam jalur yang tidak pernah ada.

"Kita nggak jauh dari pos satu. Lebih baik kita sampai di sana dulu, baru kita putusin," kata Fauzan akhirnya.

Mereka semua setuju, meski hati masing-masing diliputi rasa takut. Perjalanan pun dilanjutkan. Namun, kali ini mereka berjalan lebih cepat, ingin segera sampai di pos satu sebelum hal-hal aneh lainnya terjadi.

---

Setelah beberapa waktu berjalan, mereka tiba di sebuah pondok kecil yang tampak reyot di tepi hutan. Pondok itu ditandai sebagai pos satu di peta. Namun, anehnya, pondok itu tampak seperti sudah lama tak terawat, dengan lumut tebal yang menutupi sebagian besar dindingnya. Pintu kayunya bergoyang pelan ditiup angin, menciptakan suara derit yang memekik di tengah keheningan.

"Gue nggak yakin ini pos satu yang bener," gumam Bagus, wajahnya tegang.

"Ini yang ada di peta," balas Fauzan sambil melirik pondok itu dengan ragu. "Tapi kayaknya emang udah lama nggak dipake."

Siska melangkah maju, mendekati pintu pondok. "Kita masuk dulu aja, buat istirahat."

Namun, saat tangannya menyentuh kenop pintu, suara samar terdengar dari dalam pondok. Suara itu seperti bisikan—terdengar pelan, tapi jelas.

"Pergi... Jangan di sini..."

Siska terdiam sejenak, tubuhnya kaku. Jantungnya berdebar kencang. "Kalian denger nggak?" bisiknya, sambil perlahan-lahan menarik tangannya dari pintu.

Deni, yang berdiri paling dekat dengannya, memiringkan kepala. "Denger apaan? Kamu halu kali."

Siska menggeleng kuat. "Gue nggak halu! Gue denger suara dari dalem, kayak bisikan gitu."

Semua hening. Mereka menatap pintu pondok dengan rasa takut yang mulai merambat naik ke dada. Fauzan akhirnya melangkah maju dan membuka pintu perlahan. Pondok itu kosong. Tidak ada siapa-siapa di dalam. Namun, lantainya penuh dengan debu tebal, dan di sudut ruangan, terlihat jejak kaki yang samar, seperti ada seseorang yang baru saja keluar.

"Kita nggak lama di sini," kata Fauzan singkat, merasa suasana semakin tidak nyaman. "Istirahat bentar, terus kita lanjut."

Mereka masuk ke dalam pondok dan duduk di lantai yang dingin. Udara di dalam lebih dingin dari luar, dan bau lembap menyeruak ke hidung mereka. Beberapa dari mereka mengeluarkan bekal dan mencoba makan, tapi suasana yang mencekam membuat selera makan hilang begitu saja.

Dian duduk di dekat jendela, memandang keluar. Matanya terus mengawasi hutan di sekitar mereka. Tiba-tiba, dia melihat sesuatu bergerak di antara pepohonan. Sosok hitam itu muncul lagi, bergerak pelan, tapi jelas-jelas mengawasi mereka.

"zan," panggil Dian dengan suara pelan, mencoba untuk tidak panik.

Fauzan menoleh. "Kenapa?"

Dian menunjuk ke arah jendela. "Lihat itu..."

Fauzan memandang ke luar, tapi yang dia lihat hanya kabut tebal yang menutupi pandangan. "Apaan sih, yan? Nggak ada apa-apa."

Dian menggeleng, matanya tidak lepas dari bayangan itu. "Ada... ada sesuatu di sana. Gue yakin ada yang ngikutin kita."

Syifa yang duduk di sebelah Rama mendekatkan diri lebih erat. "Udah, kita balik aja. Gue nggak mau ada di sini lebih lama."

Namun sebelum mereka bisa berdiskusi lebih jauh, suara langkah kaki berat terdengar dari luar pondok. Suara itu semakin mendekat, berat dan lambat, seperti seseorang yang menyeret kakinya.

Semua terdiam, menahan napas. Tidak ada yang berani bergerak. Pintu kayu di depan mereka berderit, seolah sesuatu di luar hendak masuk.

Perasaan takut yang mereka rasakan sejak awal perjalanan kini berubah menjadi teror yang nyata. Di luar, bayangan hitam itu semakin jelas, berdiri tepat di depan pintu, menunggu.

Pendaki Yang GanjilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang