PART 09 - JANJI DALAM KEHENINGAN

38 10 20
                                    

❝Dalam diamku, tersimpan ribuan kata yang tak pernah kau dengar. Apa yang tampak di permukaan seringkali menipu-kebenaran bukanlah sekadar apa yang kau lihat. Kau mungkin merasa memiliki jawabannya, tapi apakah kau benar-benar memahami teka-teki yang tersembunyi di balik setiap pertanyaan?❞

~ Axiel Supra Zeovan

Setelah Halilintar pergi, keheningan mengisi ruangan untuk beberapa saat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah Halilintar pergi, keheningan mengisi ruangan untuk beberapa saat. Hanya suara alat monitor detak jantung yang terdengar samar, seiring napas Blaze yang masih teratur namun lemah. Mata Blaze yang cerah namun lelah mengikuti kepergian Halilintar hingga pintu tertutup perlahan. Kemudian dia mengalihkan pandangannya ke Ice yang masih berdiri di ambang pintu, tampak bimbang.

Ice menatap adiknya dengan tatapan lembut, namun di balik mata itu ada badai emosi yang bergejolak-amarah, rasa bersalah, dan kegelisahan bercampur menjadi satu. Dia mencoba menahan perasaannya, tetapi ketegangan itu masih terlihat jelas di raut wajahnya.

Blaze, yang baru saja tersadar dari masa kritisnya, masih terlihat lemah. Namun, dia adalah adik sepupunya yang selalu ceria, meskipun dalam kondisi sulit. Senyum tipis muncul di wajahnya, meski bibirnya terlihat kering. "Ice ..." panggilnya lirih, suaranya terdengar serak namun penuh dengan perasaan.

Ice menghampiri tempat tidur Blaze, duduk di kursi yang sebelumnya diduduki Halilintar. Dia mengambil tangan Blaze dengan lembut, merasa lega bahwa adiknya masih ada di sini bersamanya. Namun saat Blaze membuka mulut untuk melanjutkan ucapannya, Ice langsung menggelengkan kepala.

"Tidak, Blaze," katanya dengan nada tegas namun lembut. "Jangan pikirkan soal itu sekarang. Kau baru saja sadar. Yang penting sekarang adalah kau istirahat dan fokus untuk pulih."

Blaze menatap Ice dengan mata penuh rasa ingin tahu. Dia bisa merasakan kegelisahan kakaknya, tapi juga tahu bahwa Ice selalu berusaha melindunginya, meskipun terkadang dengan cara yang terlalu keras. Blaze, yang selalu menjadi adik yang lebih lembut, tidak ingin melihat Ice terbebani dengan begitu banyak masalah.

"Aku tahu kau khawatir, Ice," bisik Blaze, suaranya bergetar. "Tapi aku baik-baik saja. Kau tidak perlu melindungiku seperti ini ..."

Ice memotong ucapannya, menekan tangan Blaze dengan lembut namun penuh ketegasan. "Jangan bicara seperti itu. Kau tidak tahu apa yang sedang terjadi di luar sana. Kak Halilintar ... dia benar, Blaze. Kau dalam bahaya. Aku harus memastikan kau aman."

Blaze terdiam, namun tatapan matanya tetap lembut. Dia tahu Ice selalu bersikap keras kepala ketika merasa bertanggung jawab atas sesuatu. Blaze ingin memberikan kepastian bahwa dia baik-baik saja, meski tubuhnya masih lemah, tapi dia juga tahu bahwa Ice memerlukan ketenangan. Mungkin, untuk sekali ini, dia akan membiarkan Ice melakukan apa yang dia rasa perlu.

"Ice ..." panggil Blaze lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut. "Aku tidak ingin melihatmu seperti ini, terlalu terbebani. Aku tahu kau selalu mencoba melindungiku, tapi aku ingin kau tahu bahwa aku kuat. Kita berdua kuat."

KILLED FOR TRUTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang