PART 13 - DIBALIK LAYAR: TEKAD DAN INTRIK

35 8 20
                                    

❝Ada sesuatu yang berharga dalam memberi tanpa menuntut kembali, dalam menjadi perisai saat dunia mengarah padaku. Aku siap melangkah ke jurang, bukan karena aku tak takut jatuh, tetapi karena mereka di belakangku lebih berarti dari keselamatanku sendiri❞

~ Alvian Blizzard Xylon

Keesokan harinya, suasana ruang rawat Blaze terasa lebih tenang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Keesokan harinya, suasana ruang rawat Blaze terasa lebih tenang. Cahaya matahari pagi menyelinap masuk melalui jendela besar di sisi ruangan, memancarkan nuansa lembut yang menghangatkan seluruh ruangan. Meski tubuhnya masih terasa lemah, Blaze membuka matanya perlahan, menatap langit-langit putih di atasnya. Samar-samar, ia merasakan kehadiran seseorang di sebelahnya.

Ice duduk di samping ranjang, dengan kepala tertunduk sedikit, matanya tertutup, masih berusaha pulih dari serangan semalam. Di lehernya terlihat sedikit bekas memar akibat cekikan, namun meski masih terlihat kelelahan, tatapan matanya menunjukkan tekad yang kuat untuk terus berada di sisi Blaze.

Blaze memperhatikan Ice dengan tatapan yang penuh rasa syukur. "Ice ...," gumam Blaze, suara kecilnya terdengar lirih, memecah keheningan pagi itu.

Ice membuka matanya perlahan, lalu menoleh, mendapati Blaze yang sudah terjaga. Sebuah senyum kecil muncul di wajahnya, meskipun senyum itu tak mampu menyembunyikan kekhawatirannya. "Blaze, bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Ice lembut.

Blaze mengangguk kecil, mencoba memberi tahu bahwa dirinya baik-baik saja. "Sedikit lebih baik ... kau juga baik-baik saja, kan?" Ada nada cemas dalam suara Blaze saat ia memandang memar di leher Ice.

Ice menepuk tangan Blaze dengan lembut, berusaha menenangkan adik sepupunya. "Aku baik-baik saja, jangan khawatir," katanya sambil tersenyum tipis. "Yang penting, kau selamat. Itu yang paling penting buatku."

Blaze terdiam sejenak, memandangi Ice dengan tatapan penuh rasa bersalah. "Maaf, Ice ... aku malah jadi merepotkanmu," katanya lirih.

Ice menggeleng, mengeratkan genggamannya pada tangan Blaze. "Jangan pernah merasa begitu, Blaze. Kau adalah adik sepupuku. Aku akan selalu ada untukmu, apapun yang terjadi."

Percakapan mereka terputus ketika pintu ruangan terbuka. Seorang dokter dan dua suster masuk, diikuti oleh dua bodyguard Halilintar yang berdiri berjaga di dekat pintu. Dokter itu menghampiri Blaze, memeriksa catatan kesehatan dan menanyakan beberapa hal untuk memastikan kondisinya.

Setelah memeriksa Blaze, dokter berpaling pada Ice. "Tuan Ice, Anda juga perlu istirahat. Kami akan menyediakan ruangan untuk Anda, agar bisa beristirahat dengan nyaman."

Ice menggeleng pelan. "Tidak, saya akan tetap di sini, Dokter. Hanya di sini saya bisa tenang melihat kondisi Blaze."

Dokter itu mengangguk memahami, lalu memberi beberapa instruksi kepada suster sebelum meninggalkan ruangan. Ketika dokter dan suster-suster itu keluar, ruangan kembali sunyi, hanya terdengar suara lembut dari alat monitor detak jantung.

KILLED FOR TRUTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang