26 >> ERROR <<

857 185 36
                                    

"Resta?"

Sean mengintip di balik celah pintu. Pemuda itu berseru tertahan melihat kamar yang berantakan. Di sisi kanan ranjang, dekat dengan jendela, Resta berdiri dengan luka di pipinya.

Resta menatap Sean dingin. "Ada apa?"

"Kau..." Sean melangkah masuk. Ia bisa melihat kaca yang berceceran di lantai. Bahkan kaca itu sampai di dekat pintu. "Apa yang terjadi?"

"Kau tidak perlu tahu." Resta berjalan menginjak puing-puing kaca, membuat Sean membelalak kaget.

"Hei, itu kaca! Kakimu bisa berdarah!"

Resta seakan tuli dan terus berjalan meski puing-puing kaca itu menancap di telapak kakinya. Ia berhenti tepat di hadapan Sean. "Katakan, kenapa datang ke kamarku?"

Sean menunduk, memandang ngeri kaca yang menancap di telapak kaki Resta. "Resta, obati luka—"

"Katakan dengan cepat, sialan!"

Sean terlonjak. Pemuda itu menatap tepat ke netra hitam legam milik Resta. Tatapan dingin dan mengintimidasi, tatapan mengerikan itu kembali.

"Resta, aku tahu kau dalam suasana hati yang tidak baik. Sekarang obati dulu—"

"Ini tidak sakit. Kau tenang saja." Resta berbalik, berjalan menuju kasurnya. Ia duduk di tepi ranjang, memandang lampu tidur yang menyala di atas nakas. "Jadi, katakan alasanmu datang."

Sean tersenyum kecut. Resta tidak memanggilnya dengan sebutan kakak.

"Aku khawatir padamu, Resta. Aku mendengar pecahan kaca saat hendak turun ke bawah." Sean berjalan dengan berjinjit, menghindari puing-puing kaca yang berserakan. Dia berdiri tepat di hadapan Resta, berjongkok, mengangkat kaki Resta yang sudah banyak mengeluarkan darah.

"Ini harus cepat diobati." Dengan pelan, Sean mencabut puing-puing kaca itu. Dia melakukannya dengan pelan, tidak ingin Resta merasa kesakitan.

Resta hanya diam, tetap memandang ke lampu tidur yang menyala. Kepalanya digerayangi emosi yang bercampur aduk. Sekarang, dia sendiri tidak tahu sedang memikirkan apa.

"Kau mau tidur di kamarku dulu? Berbahaya jika kau tidur sendirian." Sean mengambil kain putih yang ada di lemari Resta. Dia kembali berjinjit menghindari puing-puing kaca itu.

"Aku takut kau melakukan sesuatu yang nekat." Saat mengatakan itu, Sean tercekat mengingat aksi bunuh diri yang selalu dilakukan Resta dulu.

Dulu mungkin dia mengabaikannya, tetapi sekarang jika mengingatnya kembali, itu mengerikan. Sean mengikat kain itu di telapak kaki Resta, berusaha menghentikan pendarahan.

"Kak."

Sean mendongak, menatap Resta yang kini memandangnya.

"Aku benar-benar membencimu."

Sean tertegun. Ucapan Resta sangat kontras dengan air mata yang mengalir di pipi pemuda itu. Meski Resta tidak memperlihatkan ekspresi apa pun, air mata itu sudah menjadi bukti bagaimana perasaannya sekarang.

"Iya." Sean tersenyum tipis. Mengusap punggung tangan Resta, kemudian menciumnya pelan. "Kau boleh membenciku kapan pun. Karena aku bukan keluarga yang baik untukmu."

Keluarga.

Kata yang menyebalkan tetapi terasa nyaman. Bagaimana jika Sean tahu kalau dia itu bukan Resta yang dulu? Apa Sean masih akan memperlakukannya seperti ini?

"Boleh aku memelukmu?" pinta Resta dengan suara pelan.

Alih-alih menjawab, Sean langsung merengkuh tubuh adiknya itu. Ia memejamkan mata, berusaha menahan sesak di dadanya. "Maafkan kakak, Resta. Maaf..."

ERRORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang