27 >> ERROR <<

747 170 50
                                    

Gabriel dan Xavier berhasil mengantar Sean ke rumah sakit. Kini, mereka berdua berdiri di depan ruangan dengan wajah gusar yang kentara. Menunggu operasi yang dilakukan beberapa menit lalu.

"Kak... bagaimana kalau Kak Sean tidak selamat?" Xavier terduduk lemas di kursi tunggu. Menumpu kedua tangannya ke paha, menunduk, membayangkan kakak keduanya yang tengah bertarung antara hidup dan mati.

"Lagi-lagi... karena Resta..."

"Hei." Gabriel tersenyum tipis. Dia duduk di samping adiknya, mengusap punggung Xavier berusaha menenangkan anak itu. "Ini bukan salah Resta. Sean begitu karena dia melakukan tugasnya sebagai keluarga. Melindungi Resta adalah tugasnya, kan?"

Xavier menggigit bibir. Kenangan saat ibunya meninggal kembali terngiang. Dia tidak sanggup membayangkan kalau Sean juga bernasib sama. Dan orangnya tetap sama. Xavier juga tidak janji akan bersikap biasa saja setelah ini. Dia juga tidak bisa berjanji untuk tidak membenci Resta.

"Xavier." Gabriel mengacak rambut Xavier gemas. "Sean itu kuat, oke? Dia akan hidup bagaimana pun caranya. Sekarang kau tenang dulu."

Xavier menghela napas berat. "Lalu bagaimana dengan Resta dan Ayah? Kita meninggalkan mereka di rumah. Di sana berbahaya. Apa kita pulang dan membantu mereka?"

Gabriel menggeleng menanggapi. Sejenak, dia terdiam. Kejadian saat dia membopong Sean beberapa waktu lalu kembali terngiang. Bagaimana tatapan Resta yang begitu asing. Tatapan yang aneh dan mengerikan. Juga bagaimana Resta memelesetkan peluru yang hampir mengenai Xavier.

Tidak ada gurat ketakutan atau keraguan saat menembak pistol di wajah pemuda itu. Dia seakan sudah terbiasa dan berteman dengan pistol. Untuk alasan tertentu, Gabriel menolak untuk pulang ke rumah. Baginya, Resta pasti akan menyelesaikannya apa pun yang terjadi.

Pemuda itu juga yakin, dengan kehadiran dirinya dan Xavier, mereka hanya akan menjadi beban Resta.

"Kita tunggu di sini, menemani Sean. Kita tidak mungkin meninggalkan Sean disaat dia bertarung hidup dan mati."

***

"Sagara, setelah permainan kesetiaanmu ini berakhir, apa yang akan kau lakukan?"

Sagara terdiam saat Hans melontarkan kata itu. Dia juga tidak tahu.

Hans terkekeh melihat wajah bingung Sagara. "Jika kau bingung, bolehkah aku memberi saran?"

Tidak butuh berpikir dua kali untuk mengangguk. Sagara dengan senang hati mendengarnya, karena baginya ucapan Hans selalu menjadi arah jalan untuknya yang bingung dengan dunia. Atau bisa disebut, Sagara menganggap Hans adalah ayahnya yang kedua.

"Jika permainan kesetiaanmu berakhir... kau hanya tinggal mengubah keyakinanmu itu."

Sagara menaikkan satu alis. "Maksudnya?"

"Kau hanya perlu mengubah permainan menjadi kewajiban. Setia bukan lagi tentang permainan, tetapi kewajiban untukmu, Sagara. Umurmu bukan lagi anak-anak, permainan tentu saja menjadi membosankan. Bagaimana kalau kau mengubahnya menjadi kewajiban?" Hans tersenyum tulus. Meski wajahnya sudah keriput dimakan usia, dia masih terlihat tampan dan berwibawa. "Setia pada majikanmu adalah kewajiban yang harus kau pegang teguh dalam dirimu. Itu tugas bodyguard sejati, kan?"

Trak!

Sagara melempar pistolnya ke samping. Napasnya memburu samar, air matanya masih setia menetes di pipi Resta yang kini menatapnya tertegun.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: a day ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ERRORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang