Kedatangan di Desa Kabut

2 1 0
                                    

Langit mulai meredup saat Arga akhirnya tiba di desa terpencil yang tersembunyi dalam bayang-bayang kabut tebal. Jalan berbatu dan berkelok-kelok yang membawanya kemari terasa semakin sunyi dan menyempit, jauh dari keramaian kota. Rumah-rumah tua berdiri berjajar di sepanjang jalan, sebagian besar tertutup kabut, memberikan kesan desa yang telah lama terputus dari dunia luar. Udara di desa ini terasa dingin dan basah, membawa aroma tanah dan hutan, serta atmosfer yang terasa berat seakan menyimpan cerita-cerita kelam.

Arga adalah seorang detektif yang tenang, dikenal dengan kecermatannya dalam mengumpulkan petunjuk. Kali ini, ia menerima permintaan khusus untuk menyelidiki serangkaian kasus hilangnya beberapa penduduk desa ini—lima orang, untuk tepatnya, yang semua menghilang dalam beberapa bulan terakhir. Polisi setempat tak mampu menemukan petunjuk apa pun, sementara penduduk desa tampak enggan membicarakan peristiwa itu, seolah ada tabu yang melarang mereka. Namun, keluarga salah satu korban tidak menyerah; mereka menyewa Arga untuk mencari titik terang di balik misteri yang menyelimuti desa ini.

Saat Arga turun dari mobilnya, ia merasakan ada yang mengawasi. Di dekat papan kayu bertuliskan "Desa Kabut" yang catnya nyaris habis termakan waktu, seorang pria tua berdiri. Mata pria itu menatap Arga tajam, seolah menilai dengan penuh curiga.

"Malam, Pak," sapa Arga, mencoba ramah. Namun pria tua itu hanya mengangguk singkat, seakan menyiratkan bahwa ia tak ingin berbicara, sebelum berbalik dan menghilang ke dalam bayang-bayang pepohonan yang menutup desa dari segala arah. Arga hanya menghela napas dan melanjutkan perjalanannya menuju penginapan yang sudah ia pesan, sebuah bangunan kecil bernama "Pondok Kabut."

Penginapan itu tampak tak kalah tua dengan rumah-rumah lain di desa ini. Dinding kayunya terlihat rapuh dan penuh retakan, sementara lampu-lampu redup menambah suasana misterius. Arga mendorong pintu berderit dan melangkah masuk. Di dalam, ia disambut oleh seorang perempuan paruh baya yang mengenalkan dirinya sebagai Bu Sri.

"Selamat datang di Pondok Kabut, Pak Arga," sapa Bu Sri dengan senyum yang tampak kaku dan canggung. Ia menyerahkan kunci kamar kepada Arga, namun saat melakukannya, Arga menyadari sorot mata Bu Sri yang tampak penuh kekhawatiran.

"Pak Arga, saya hanya ingin memberitahu... desa ini punya aturan tak tertulis," bisiknya pelan, suaranya serak. "Jangan pernah keluar malam-malam, terutama ke arah Rumah Gading."

Nama itu membuat Arga meneguk ludah. Rumah Gading disebut beberapa kali dalam laporan kasus ini. Konon, rumah itu adalah tempat terakhir para korban terlihat sebelum menghilang tanpa jejak.

"Kenapa tidak boleh ke sana, Bu?" tanya Arga, mencoba mencari tahu lebih jauh.

Bu Sri terlihat ragu, menoleh ke kanan dan kiri seolah takut ada yang mendengar. "Orang-orang bilang... rumah itu tidak berpenghuni, tapi juga tidak pernah benar-benar kosong. Ada sesuatu yang mendiami sana, Pak," ujarnya sambil berbisik. "Mereka yang pergi ke Rumah Gading sering kali tidak pernah kembali."

Arga merasakan bulu kuduknya meremang. Ia bukan tipe orang yang mudah percaya pada cerita mistis, tetapi ia tahu, dalam setiap legenda lokal selalu tersimpan potongan kebenaran.

Setelah berbincang sejenak, Arga naik ke kamarnya yang kecil namun cukup nyaman untuk malam itu. Ia berencana untuk menjelajahi desa keesokan harinya, mencari petunjuk dan bertemu dengan beberapa penduduk yang mungkin tahu lebih banyak tentang hilangnya para korban. Namun, malam semakin larut, dan pikiran Arga terusik oleh kata-kata Bu Sri serta misteri Rumah Gading.

Ketika Arga hampir memejamkan mata, angin kencang tiba-tiba berhembus dari jendela kamar yang sedikit terbuka. Bersamaan dengan hembusan itu, ia mendengar suara lirih yang seakan datang dari kejauhan, memanggil namanya dengan bisikan seram, "Arga..."

Ia tercekat. Detak jantungnya berpacu cepat. Arga menutup jendela dan menenangkan diri, mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanyalah angin. Namun, di dalam hati, ia tahu: sesuatu yang kelam menyambut kedatangannya. Sesuatu yang tidak akan membiarkannya pergi begitu saja dari desa ini.

Bayang-Bayang di Balik CerminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang