Revisi setelah end
Pagi itu banyak orang berlalu lalang, Daniel dan ibunya sedang berdiri menjaga dagangannya. Terlihat segerombolan ibu-ibu berjalan kerah Daniel.
"Eh, kamu tau nggak? Kalo mbak siti sering kena tipu loh," bisik salah satu dari gerombolan.
"Emang iya?" balas temanya yang di sampainya.
Desas desus terdengar jelas di telinga Daniel, ia tau jika ibunya sering di tipu, tapi apa? Mereka hanya orang miskin.
Seperti kata pepatah orang yang tak berduit akan kalah dengan orang yang berduit. Jika kamu benar tapi lawan mu adalah anak dari pemerintah yang akan di bela siapa? bisa di lihat, kan. Kadang diam akan keadaan dan pasrah itu adalah jalan satu satunya bagi Daniel.
"Gak usah keras-keras, nanti anaknya Dengar," bisiknya, tetapi suaranya masih terdengar jelas di telinga Daniel.
"Gapapa yang kita bicarakan juga, semua fakta. Mau dia dengar, kek, itu terserah dia," salah satu dari mereka berbicara sambil menatap sinis kepala Daniel.
Daniel mengepalkan tangannya, ia mencoba menahan emosi yang sedang memuncak.
Sabar Daniel, sabar batin Daniel.
Silauan pagi yang lembut sekarang mulai terasa menyengat. Banyak orang yang keringatnya bercucuran, siang itu begitu panas.
Daniel melihat ibunya yang berusaha tetap berdiri kokoh untuk mencari nafkah. Ia benar-benar tak sanggup melihat keluarganya menderita seperti ini. Dari pagi sampai siang tak kunjung ada pembeli.
"Ibu kamu, istirahat dulu, biar Daniel yang menjaga dagangannya, ya." Daniel tersenyum sembari pemegang lengan ibunya, untuk di ajak duduk.
Ibunya hanya mengikuti instruksi anaknya itu. Walaupun ia tak bisa mendengar ataupun berbicara. Ia tetap saja mengikuti perintah anaknya itu, tapi kadang ibunya juga sering menolak.
30 menit berlalu tapi belum ada juga yang membeli dagangan mereka.
Blarr....
Bruk...
Aaarrgghh....
"Beri kami uang, atau tidak dagangan kalian, kami rusak," ancam seseorang mengunakan kaus hitam dan celana jens bolong, serta kalung Rante yang di kenakannya.
Bunyi barang barang jatuh terdengar di koridor gedung pedagang. Suara-suara terikan seseorang terdengar jelas bagai alunan lagu yang mengerikan.
Tiga orang preman itu, satu persatu mengecek semua pedagang. Ada yang memberi setengah uang dari penjualan mereka. Ada juga yang tak memberikan sama sekali, dan berujung hancur di rusak oleh ketiga preman tadi.
Daniel langsung menarik lengan ibunya, walaupun agak kasar, tapi dari pada jualan mereka rusak. Mending kabur saja.
"Bos-bos, ada yang kabur, tuh!" seru preman botak.
"Iya, bos jangan biarkan mereka lolos," tinpal preman kurus.
Daniel mendorong sekuat tenaganya seraya menarik lengen ibunya. Namun percuma saja tenaganya yang masih kecil, ia masih bisa di susul oleh 3 orang manusia dewasa.
Preman itu sudah berada di depan gerobak. Daniel meneguk air liurnya, keringatnya bercucuran Kemana-mana.
"Ibu, tetap di belakang ku," pinta Daniel menarik pergelangan tangan ibunya.
Gerobak Daniel terjatuh jualannya berceceran dimana-mana. Daniel tetap setia berdiri menghadang ketiga preman itu.
"Beri kami uang, kami akan pergi." Si botak menyarankan seraya tersenyum licik.
"Kami tak, punya uang untuk di berikan. Aku serta ibuku saja kesulitan makan apalagi punya uang." Daniel berteriak, jualan hancur berantakan ia tak punya apa-apa selain itu untuk bertahan hidup.
"Dasar bajingaan kecil, sini kamu." Si kurus dengan lantang menarik rambut Daniel dan melemparnya sampai tersungkur ke tanah.
Ibu Siti yang melihat anaknya langsung menuju ke anaknya. Ia meneteskan air matanya. Tangisan bisu nya seakan menusuk hati kecil Daniel.
Daniel menompang tubuhnya. Ibunya memeluk erat Daniel seakan memberitahunya agar, Daniel tidak berbicara apapun yang akan menyingung mereka.
"Ini peringatan terakhir, beri kami uang atau habis kami hajar." Si gendut bertato itu bertanya, sepertinya dia ketua preman itu.
"Aku sudah mengatakannya berkali-kali kami, tak, punya uan-" Ucapan Daniel terhenti ketika Ibunya memeluk kuat dirinya, seakan Ibunya memohon agar anaknya untuk berhenti.
Para warga di sana hanya melihat dari kejauhan. Mereka enggan untuk mengulurkan tangan untuk membantu, seolah olah mereka sedang menonton drama tv. Tak ada yang peduli.
"Gas, aja bos nggak ada gunanya melayani mereka," pinta si botak degan kaus putih robek.
Ketua preman itu maju paling muka, ia mengarahkan kepala Ibu dan anak yang sedang berpelukan erat. Preman itu langsung memisahkan Mbak Siti dan anaknya.
Preman itu menarik kerak baju Daniel yang kotor dengan tubuhnya yang kekar. Ia berhasil mengakat tubuh mungil Daniel.
"Ini akibat nggak patuhi perintah kami." Preman itu membanting kuat tubuh Daniel, di susul Dengan tendangan dan pukul membabi buta. Kemudian di susul oleh kedua temannya.
Daniel memegang kedua kepalanya sambil membungkuk. Ia menahan sakit mencoba untuk tetap kuat. Ia melihat ibunya yang sedang meminta tolong kepada semua orang di sekitarnya. Ibunya menangis, tubuh pendeknya menarik tangan anak muda di seberang sana untuk membantu putranya. Namun pemuda itu hanya diam tak berkutik.
Ibunya berlari dari orang satu ke orang lain, sambil menangis bisu. Suaranya yang tak bisa berkata terus memohon kepada orang sekitar. Iya bersujud kepada semua warga yang ada di sana. Seakan mengatakan.
Tolong lah putraku, aku mohon.
Tapi suaranya tak bisa di dengar. Hanya tangisan yang saat ini bisa di lakukannya. Daniel terus di pukuli dan di tendang.
Ibu Siti berlari ke arah anaknya, ia tau dia tak bisa menolong banyak. Karena itu dia langsung memeluk kaki preman yang sempat menendang putranya.
Ibu Daniel, melambaikan tangannya seakan mengatakan untuk tidak menyakiti putranya. Tapi malah preman itu dengan segan menendang Ibu yang amat Daniel sayang.
"Ibu!....." Daniel berteriak sekencang-kencangnya.
Ibunya terhempas, kepala terbentur aspal. Ia terbaring tak sadarkan diri selesai preman itu menendangnya.
Daniel berdiri lalu mendorong preman itu. Tetapi tetap saja tenaganya kecil tak sampai membuat Preman itu tumbang.
Daniel langsung menyandarkan kepala ibunya ke paha kecil milikinya. Ia melambai lembut wajah ibunya itu.
"Tolong seseorang, aku mohon siapa aja, bantu saya untuk bawa ibu saya kerumah sakit," tangis Daniel, air matanya tak bisa di bedang lagi.
"Aku mohon, pliss aku mohon," gumam Daniel, ia pasrah, tapi tetap memohon kepada semua orang.
Air matanya bagai air terjun. Alirannya tak berhenti-henti. Tetesan air matanya terjatuh ke kedua pipi ibunya.
Di sisi lain preman tadi sempat kesal, di karenakan Daniel mendorongnya. Ia mengambil kayu panjang 1 meter dan tebal, ia berniat memukul Daniel dengan kayu itu.
"Beraninya kau, mendorongku, kamu harus merasakan akibatnya." Preman itu berjalan perlahan-lahan.
Daniel melihat itu, ia langsung memeluk erat ibunya. Melindungi sang bidadari yang merawatnya sejak kecil.
Matanya di pejam serasa dia siap mati kapanpun.
"Berhenti."
Tiba tiba saja ada seseorang meneriaki preman itu dari arah selatan.
Jangan lupa vot and komen
KAMU SEDANG MEMBACA
Tenggelam dirasa bersalah
General FictionDaniel harus hidup menderita bersama adik dan ibunya dalam kemiskinan. Ayahnya yang sudah tiada meninggalkan hidup yang begitu pelik kepada mereka bertiga. Daniel Anak pertama yang tidak sanggup melihat ibunya yang memiliki ganguan pendengaran dan s...