Chapter 2

18 3 0
                                    

Happy Reading...
.
.
.
.

Meskipun suasana hatinya sedang bercampur-aduk, Zora tetap mengembangkan senyumnya. Zora memikirkan hal apa saja yang akan ia ceritakan nantinya kepada sang ayah. Menghabiskan waktu berdua dengan seseorang yang telah lama ia nantikan merupakan hal yang sangat menyenangkan bukan?

Sebagai seorang anak perempuan juga menginginkan perlakuan khusus dari sang ayah. Ia juga menginginkan pelukan yang telah lama tidak ia rasakan.

Setelah ia turun dari angkot, dengan jarak 5 meter ia sudah melihat dengan jelas raut wajah bahagia Tio - Ayah Zora yang tengah bercanda dengan anak hasil dari keluarga barunya?

Zora tetap mempertahankan senyumnya walau nyatanya hal tersebut membuat Zora sakit hati.

"Ayah," panggil Zora.

Zora yang menginginkan senyuman dari Ayahnya saat melihat putrinya lenyap seketika. Karena Tio justru menampilkan raut wajah tidak enak seolah bertanya mengapa dirinya ke rumahnya.

Namun lain hal dengan pemikiran Tio. Tio selalu berpikiran bahwa Zora hanya memerlukan uang darinya.

Uang. Uang. Uang.

Tidak ada yang lain.

Mata Zora sudah mulai berkaca-kaca, dan mulai meneteskan air matanya, namun seberusaha mungkin Zora tidak menimbulkan suara di tangisannya itu.

Dalam kondisi ini, apa yang diinginkan Zora?

Ya, pelukan, usapan serta bujukan.

Lain hal yang dilakukan oleh Tio. "Sudah. Berhenti. Jangan nangis," ucapnya dengan nada dingin meninggalkan Zora.

Tangis Zora semakin menjadi. Tio berjalan membuka laci dan memberikan Zora lima lembar uang berwarna merah. Itu mungkin bagi Zora sekarang tidak ada harganya dibandingkan pelukan yang ia harapkan dari sang Ayah.

Niat awal Zora yang ingin bercerita, jalan-jalan dan makan bersama hilang semua. Zora sudah tahu bahwa nantinya rencana yang ia rencanakan akan hancur sia-sia.

"Sudah jangan nangis, hapus air matamu ... kamu naik apa kesini? Sama siapa kamu ke sini?" ucap Tio yang sedikit menggantungkan ucapannya alih-alih membujuknya.

Zora yang tengah menundukkan kepalanya langsung menghapus air matanya dan sedikit mengatur nafas yang perlahan teratur. "Sendiri. Naik transum."

(Transum : Transportasi umum)

Setelahnya hanya ada keheningan. 5 menit berlalu. Tio mulai membuka percakapan kembali.

"Tunggu apa lagi?" pertanyaan tersebut membuat lamunan Zora buyar.

Setidak-penting itukah Zora dimatanya? Apakah tidak bisa berdiam saja di sini hingga hari selesai? Tidak berbicara pun tidak apa-apa. Zora hanya ingin melihat Ayahnya bekerja hingga hari selesai. Apakah ia tidak merasakan rindu juga kepada Zora? Banyak pertanyaan yang menghantui Zora.

"Ya udah. Zora pulang, Yah," ucapnya menyalimi tangan Tio dan pergi tanpa melihat wajah Ayahnya lagi.

Zora ingin sekali saja saat ia datang mengunjungi Tio disambut dengan senyuman rindu dan tangan yang membentang bersiap untuk memeluknya. Namun itu semua hanya hayalan Zora saja. Tio tidak akan mungkin seperti itu. Meski begitu, Zora tetap memiliki hayalan-hayalan yang tidak bisa terwujud.

Zora berjalan dengan tatapan kosong meninggalkan toko tempat ayahnya bekerja. Di saat Zora melangkahkan tepat dengan langkah ketiga, suara keras menggelegar dari ujung jalan.

"KAMU MAU NGAPAIN LAGI KESINI?!" teriak seorang wanita dari sudut jalan.

Mata Zora membulat sempurna. Tatapan yang semula sendu berubah menjadi sinis dan menatap tajam wanita yang sedang menghampirinya itu.

AozoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang