### Keesokan Harinya
Jieun sudah siap untuk berangkat ke sekolah, semangatnya tak tertahankan menanti kedatangan Winter. Ia bahkan memaksa diri untuk menunggu di halaman rumah.
"Sayang, ayo diminum dulu susunya," ucap Karina sambil membawa segelas susu.
"Iya, Bu!" Jieun pun langsung menenggak habis susu yang diberikan Karina.
"Paman Kim pasti datang, kenapa tidak tunggu di dalam saja?"
"Enggak mau, Bu! Jieun mau nunggu di sini aja."
"Ya sudah, Ibu ambil tas dulu ya. Jieun jangan ke mana-mana, tunggu di sini."
"Iya, Bu!"
Tak lama setelah Karina masuk, suara klakson mobil terdengar. Jieun langsung menatap penuh harap, melihat mobil Winter memasuki pekarangan rumah. Senyumnya merekah saat Winter keluar dari mobil, tampak rapi meski tanpa jas formalnya.
"Selamat pagi, Tuan Putri Jieun!"
"Pamann Kimm!!! Datangggg!!!!" Jieun berlari menghampiri Winter dengan riang.
"Wah, Jieun sudah rapi ya!"
"Belum, Jieun belum pakai sepatu."
"Sini, biar Paman yang pakaikan." Tanpa rasa ragu, Winter berlutut di hadapan Jieun, membantunya mengenakan sepatu sambil merapikan seragamnya.
"Oke, sudah. Ibu Jieun masih di dalam, ya?"
"Iya, Paman. Ibu sedang mengambil tas."
Karina terlihat dari dalam rumah, dan dengan suara ceria ia memanggil, "Sayang, Paman Kim sudah datang belum?? Loh, kenapa Paman Kim enggak disuruh masuk dulu sih?"
"Enggak apa-apa, kok. Lagian sudah mau jalan juga, kan?"
"Iya, maaf jadi harus menjemput dan mengantar Jieun dulu."
"Tidak masalah, selama Jieun senang." Winter menyenggol hidung Jieun dengan lembut. "Ayo kita berangkat!"
Karina melangkah masuk ke dalam mobil Winter. Di balkon lantai dua, kedua orang tua Karina mengamati kedekatan Jieun dan Winter yang terlihat begitu akrab, seperti ayah dan anak.
"Kurasa Winter bisa menggantikan posisi Jeno untuk menjadi pendamping hidup Karina."
"Papa juga setuju."
Sudah lama kedua orang tua Karina tidak melihat anaknya tersenyum bahagia seperti tadi. Apalagi Jieun, yang sejak lahir tidak mengenal sosok ayah, kini memiliki Winter yang tampak seolah ditakdirkan untuk mereka.
---
Di dalam mobil, Jieun tak henti-hentinya bernyanyi bersama Winter. Karina yang duduk di belakang pun ikut nimbrung, merasakan kebahagiaan melihat putrinya yang begitu nyaman dan senang bersama Winter. Tak lama kemudian, mobil Winter tiba di sekolah Jieun.
"Oke, tas sudah, rompi sudah, bekal sudah," Winter mengecek perlengkapan Jieun dengan teliti.
"Masih ada satu yang kurang, Paman."
"Hmm, apa?"
Chupp!
Winter terkejut saat Jieun tiba-tiba mencium pipinya lembut. Karina yang berdiri di belakang pun tampak terkejut.
"Itu hadiah untuk Paman, karena sudah menepati janji pagi ini. Dan ada satu lagi permintaan Jieun."
"Apa?"
"Mulai sekarang, Jieun mau panggil Paman dengan sebutan Ayah saja."
Winter semakin terkejut dengan permintaan itu.
"Boleh kan, Bu?" Jieun bertanya pada Karina.
"Coba tanya dulu sama Paman Kim. Kalau Paman Kim tidak nyaman, berarti tidak boleh ya."
"Paman Kim?"
Winter berpikir sejenak, kemudian menjawab. "Oke, mulai sekarang Jieun boleh panggil Paman dengan sebutan Ayah."
"Yeayyyyyyy, terima kasih Ayah! Jieun masuk dulu ya!"
"Jieun gak pamitan sama Ibu?" Karina merasa sedikit terabaikan.
"Oh iya!"
Chupp!
"Dadah, Ibu!"
"Belajar yang benar ya, sayang!"
"Iya, Bu!"
Jieun melambaikan tangan kepada Winter dan Karina sebelum berlari masuk ke sekolah dengan ceria.
---
"Maaf kalau permintaan Jieun tadi membuatmu tidak nyaman," ucap Karina setibanya mereka di lobi kantor.
"Tidak masalah, aku hanya terkejut saja tadi."
"Oh iya, ini sarapan untukmu, in case kau lupa sarapan lagi."
Karina tersenyum kecil, merasa lega.
"Terima kasih. Mau ke atas bersama ku?"
"Aku harus menemui Ryujin dan Minho dulu di ruang kontrol. Kau duluan saja."
"Kemari sebentar."
Winter mendekat, dan Karina dengan lembut memperbaiki kerah jas Winter yang terlipat.
"Selesai, aku duluan."
"O... oke."
Winter merasakan gugup dan detak jantungnya berdegup kencang saat Karina mendekat.
"Uhh, ada apa dengan ku?" gumam Winter sebelum melangkah menuju ruang kontrol.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpected Bonds
FanfictionDi dunia yang sibuk dengan kehidupan dan rutinitas, dua jiwa menemukan diri mereka bertemu secara tidak terduga dengan cara yang paling tak terduga. Pertemuan awal mereka adalah sebuah kebetulan, sebuah kesempatan yang memicu percikan yang tak dapat...