Wanna Go Ride With Me, Jovanka?

220 78 6
                                    

Alegra sudah mengganti mobil, BMW M4 GT3 yang dipadu dengan warna merah, biru dan putih kesayangannya ini. Pernah membawanya menjadi pemenang ISSOM tahun lalu, sayangnya tahun ini Alegra tidak berniat untuk ikut balapan.

Semula Alegra hanya memutari arena dalam tempo sedangnya, 170 KM/jam, lalu tak lama bertambah menjadi 180, 190, 200, 210. Alegra mempertahankan antara 210-220, sedikit rem di saat putaran terlalu tajam, bunyi pergantian gigi terdengar sangat cepat lalu Alegra menginjak gasnya lagi. Mobilnya melaju sangat cepat sampai-sampai orang awam mungkin hanya memerlukan satu detik untuk melihat mobil melintas.

Putaran ke lima, ke enam, ke tujuh. Peluh sudah membasahi wajah Alegra yang tertutup oleh helm. Namun, rasa lelah tak kunjung datang. Tertutup emosi semerah api yang meredupkan aliran air tenang di dalam tubuhnya.

Kenapa ia terlalu terobsesi dengan perhatian Ananta sekarang? Iba? Atau bagaimana? Setelah kemarin melihat kondisi Tiara Pramoedya, jantung Alegra serasa ditusuk-tusuk. Apa yang Ananta lalui sampai keluarganya sehancur ini dan kakeknya membawa orang luar untuk menyatukannya kembali?

Alegra tidak mencintai─atau belum─Ananta. Ia bersikap seperti ini karena ia sudah memutuskan menerima tanggung jawab ini dan Alegra tidak pernah melalaikan tanggung jawabnya. Mungkin ia terdengar seperti pria brengsek di telinga Ananta, tapi bukannya bad boys bring heaven to you?

Apapun itu, jika semua orang ingin perjodohan ini berhasil, mereka harus saling jatuh cinta, kan?

Kecepatan menyentuh 230 KM/jam saat sebuah panggilan masuk. Alegra sudah menghubungkan ponselnya dengan head unit di mobil balapnya. Nama Ananta Jovanka begitu besar muncul di layar. Mau tak mau kecepatan melaju pun menurun, 220, 210, 200, 190, 180 dan Alegra menekan tombol menjawab.

Ia menurunkan kecepatan mobilnya sampai ke 120 sebelum menjawab halo-nya Ananta.

"Alegra, are you there? Ini lo udah jawab telpon gue, kan?" Suara Ananta terdengar dari pengeras suara di dalam mobil.

Semakin menurunkan kecepatan mobilnya sampai ke 100 saja. Alegra berjalan seperti kura-kura sekarang. "Keep talking," balasnya.

"Are you usually that fast? Serem banget, gue takut mobil lo terbang."

"Lo di sini?" Alegra menyembunyikan keterkejutannya dengan suara yang sangat tenang. Matanya mencari ke sekitaran, mencoba menemukan sosok Ananta.

"Ini gue loncat-loncat. Kelihatan gak?"

Alegra terkekeh tak mampu menyembunyikannya lagi. "Kelihatan. Jangan loncat-loncat nanti jatoh. Ngapain di sini?" Pertanyaan bak dejavu, sama seperti waktu Alegra muncul di saat Ananta sedang boxing.

"Katanya gue disuruh cari lo kalau udah bisa diajak kerjasama. Beneran gak sih?" Suara Ananta terdengar seperti anak kecil merajuk ketika orang tuanya kedapatan berbohong.

Hh. "Wanna go ride with me, Jovanka?"

.

.

"Gue gak pernah jajan ke minimarket pakai mobil balap sama helm. Kenapa harus gue yang pakai sih? Lo gak pake. Gue jadi kelihatan konyol kalau orang lihat," protes Ananta.

Di sirkuit ada minimarket yang memang harus menggunakan kendaraan jika tidak ingin jalan terlalu jauh. Tidak ada tujuan spesifik saat Alegra mengajak Ananta naik mobil dan minimarket muncul begitu saja. Helm penuh peluh pun Alegra pakaikan pada kepala berharga perempuan itu.

Alegra mengetuk-ngetuk helm yang ada di kepala Ananta. "Biar gak lepas engsel-engsel otak lo. Belom gue bongkar soalnya, penasaran banget isinya apa. Keras banget," sindir Alegra dengan nada selembut kapas.

"Lo tuh emang suka banget ya? Ngomong nadanya halus, tapi kata-katanya nyelekit? Turunan Keluarga Rajendra?"

Alegra mengerdikkan bahunya. "Ngadepin orang kayak lo itu harus to the point. Kalau bertele-tele gak bakal didengar."

Setelah membeli beberapa makanan dan minuman, mereka kembali ke dalam mobil. Memilih menghabiskannya di dalam mobil, di depan minimarket. Bulan sudah mengucapkan salam pertemuan karena langit semakin gelap.

Ananta memutuskan datang ke sini karena ia merasa bersalah. Sadar bahwa kakek tidak mungkin sembarang membawa masuk orang asing ke dalam hidup Ananta. Perhitungan kakek selalu akurat, firasat kakek selalu benar dan kakek memang selalu tahu yang terbaik untuk Ananta. Apa yang akan ia lakukan untuk hidupnya jika menolak satu-satunya hal yang kakek tinggalkan untuknya? Alegra.

Tidak mencintai bukan berarti saling membenci. Bukan hanya Ananta yang kesulitan, benar, Alegra juga.

Ananta juga benci pria, tetapi bukan berarti semua pria seperti pria itu, kan?

Banyak pertimbangan yang berkeliaran dan diakhiri dengan rasa percaya Ananta pada Almarhum Kakek Pramoedya.

So, here she is.

Mengatakan apa yang ada di hatinya.

Sangat bukan Ananta.

Di sisi lain, membuka hidupnya untuk Alegra juga nothing to lose. Hidup Ananta sudah hancur dari tujuh tahun silam. Jika Alegra datang hanya untuk menghancurkannya lagi, apa yang bisa pria itu hancurkan atas hidup yang sudah hancur?

"Sorry about that. Gue bukan mandang lo serendah itu buat ciuman sama sembarang cewek. Tapi, reputasi lo kan emang se-bad boy itu. Wajar kan kalau gue mikir kayak gitu?" Ananta tetaplah Ananta, perempuan butuh justifikasi atas pemikirannya. Mereka bisa mengaku salah, tetapi tidak sepenuhnya ingin disalahkan.

"Bukannya cewek suka sama bad boy ya? Katanya bad boys bring heaven to you."

"Hh, emang surga ada?" tanya Ananta tidak percaya.

"Mau coba?"

Pertanyaan barusan lagi-lagi membuat lutut Ananta lemas, ada yang salah dengan sistem dalam tubuhnya. Kenapa mereka bergerak sesuai dengan perkataan Alegra? Perasaan otak Ananta tidak memberi perintah apapun.

Panggil Ananta jalang karena tubuhnya─sewajarnya─tidak bisa menolak Alegra.

Pria itu menatap Ananta sampai kemana pun ia bergerak rasanya salah.

Alegra terkekeh ringan. "Lepas dulu helmnya."

Bodoh sekali kau, Ananta Jovanka Pramoedya! Dan, dengan lugunya Ananta melepas helm balap mobil milik Alegra yang ia kenakan di dalam mobil.

Rambutnya berantakan, namun tangannya kalah cepat dengan tangan Alegra untuk merapikan rambutnya sembari berbisik. "Just be good to me, i'll be so much better to you."

"Ayo," ucap Ananta tiba-tiba.

Alegra menatapnya heran. "Ayo apa?"

"Being a good fiance to each other? Pada akhirnya gue udah pasti bakal nikah sama lo, kan?"

Alegra mengedipkan sebelah matanya. "Gak ada pilihan," jawabnya dengan usil.

Ananta mencoba mencari kepura-puraan, kebohongan, kemunafikan atau apapun yang bisa menggugurkan niat buruk dan keinginan semunya yang akan mereka lakukan setelah ini. Namun, nihil. Ananta tidak menemukan apapun dari mata Alegra. Mata itu berbicara, Ananta bisa tahu kapan orang itu bohong dari matanya.

Tahu bahwa Ananta sedang mempelajarinya, Alegra mengambil telapak tangan perempuan itu dan mengecupnya dalam pada bagian telapaknya, bukan punggung tangannya and it's damn intimate! Ananta rasanya seperti terbang ke langit ketujuh.

"Fyi, this is what heaven should feel like." Alegra mencium bibir Ananta and the rest is history.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

From The StartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang