Hendry tidak tau kalau pohon apel yang ada dihadapannya sekarang adalah pemberian dari Tirta, pohon yang menjadi saksi akan janji yang pernah Tirta ucapkan pada Riel.
Keduanya belum pernah merasakan bulan madu selama pernikahan karena Tirta sangat menjaga Riel agar Riel tidak merasa trauma terlebih lagi usia Riel masih sangat muda saat bersanding bersama Tirta.
Memiliki anak adalah impian Tirta bersama Riel akan tetapi mimpi itu pupus kala Tirta menutup mata untuk selamanya bahkan pohon yang dia tanam tak jua menampakkan kesuburan.
"Daunnya terlihat rontok, sebentar lagi dia akan mati" ujar Hendry.
"Hm," Riel mengangguk.
Perlahan tangan Hendry terangkat meraih salah satu ranting pohon apel ini, tanpa rasa bersalah dia langsung mematahkan rantingnya yang membuat Riel spontan menepis tangan Hendry.
"Apa yang Anda lakukan?!"
Hendry terkejut melihat reaksi Riel.
"Kenapa kamu marah? Ini hanya pohon""Aku tau! Tapi jangan menyakitinya, seperti yang Anda katakan dia sebentar lagi akan mati!!" Air mata Riel berjatuhan.
"Hei, ini hanya pohon.. kenapa kamu menangis?"
"Itu karena.. itu.. " suara Riel bergetar.
Hendry menjatuhkan ranting pohon tadi ke tanah.
"Aku sama sekali tidak mengerti, ini hanya sebuah pohon dan kamu menangisinya seolah dia adalah nyawa mu.. kamu sangat aneh"Riel menundukkan kepalanya, dia tidak berani menjawab kata-kata Hendry.
Hendry menghela nafasnya berat, dia melangkah pergi meninggalkan Riel. Hendry benar-benar tidak paham apa yang ada didalam pikiran Riel.
Setelah hari itu, setiap kali Hendry melewati kebun apel dia selalu melihat Riel berdiri dibawah pohon yang sama.
Bahkan terus berlangsung hingga satu bulan pernikahan mereka, suatu hari saat Hendry tengah sibuk dengan pekerjaannya, langkah kaki terdengar menuju ruang kerja Hendry.
"Yang mulia! Anda tidak bisa! Tuan ku!"
Brak!
Hendry bisa melihat Riel berdiri di depan pintu dengan nafas terengah-engah sepertinya dia berlari ke ruang kerja Hendry.
"Apa yang membawa mu kemari?" Tanya Hendry.
"Kemana pohonnya?! Pohonnya tidak ada!" Kata Riel dengan nada tinggi.
"Ya-yang mulia..suara Anda" pelayan Riel berusaha menahan Riel yang marah pada Hendry.
"Pohon?" Tanya Hendry.
"Ya! Anda tau pohon mana yang ku maksud!"
"Hm.. Oh, pohon itu.. aku melihat daunnya sudah rontok semua jadi aku menyuruh tukang kebun untuk membuangnya" jawab Hendry.
"Apa?! Anda tidak bisa membuang pohon itu tanpa bertanya padaku!"
"Kenapa tidak bisa? Istana ini adalah milik ku.. aku berhak melakukan apapun sesuka ku, bahkan hanya sebatang pohon bisa ku buang" Hendry menatap Riel tajam.
Riel mengepalkan tangannya.
"Tega sekali!" Setelah berkata seperti itu, dia langsung melangkah pergi bahkan tidak memberi hormat pada Hendry."Ma-maafkan yang mulia Riel! Saya juga minta maaf yang mulia! Permisi!" Pelayan Riel menundukkan kepalanya berkali-kali lalu ikut menyusul Riel.
"Anda tidak apa-apa?" Tanya pelayan Hendry.
Hendry menyandarkan tubuhnya di kursi.
"Ya, aku baik-baik saja.." Hendry menatap pintu ruang kerjanya yang masih terbuka.
" ..sudah berapa minggu ?" Tanya Hendry.
"Minggu? Maaf.. maksud Anda apa?" Pelayan Hendry terlihat bingung.
"Hubungan intim ku"
Pelayan Hendry terdiam sebentar lalu berpikir, dia mencoba memahami apa yang Hendry maksud lalu melontarkan pertanyaan.
"Terakhir kali bukan kah setelah pernikahan.. itu terjadi satu bulan lalu. Apa Anda ingin saya memanggil beberapa orang ke istana untuk menghibur Anda?" Tanya pelayannya.
"Tidak.. " Hendry melepas satu kancing baju atasnya.
" ..aku yang akan datang ke kamar untuk menemuinya"Deg.
Pelayan Hendry langsung meremas buku yang dia pegang, hubungan Hendry dan Riel tidak baik bagaimana cara Hendry meminta hal seperti itu pada Riel.
Terlebih Riel terlihat sangat marah.
.
.Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Under the apple tree (Mpreg 18+)
Storie d'amoreHendry Barthtown adalah pangeran kedua dari garis keturunan Barthtown yang sekarang memimpin kerajaan Raedgus, Hendry menjabat sebagai Adipati dari daerah Selatan kerajaan Raedgus tapi suatu hari dia dipanggil ke istana oleh kakaknya yang sekarang n...