Bab 1

925 90 3
                                    


Shani terduduk malas di bangku kelas, menatap papan tulis dengan kosong. Seperti biasa, hari ini terasa sangat membosankan. Lagi-lagi pelajaran yang sangat Shani tidak suka Matematika. Dia menggerutu dalam hati, "Kenapa harus ada mata pelajaran ini di muka bumi? gak bisa gitu diganti sama yang lain?" Rasanya, semua yang diajarkan tentang angka dan rumus hanya menjengkelkan. “Emang masih ada orang yang bener-bener pake otak mereka buat nemuin jawaban pas lagi belajar Matematika? Kayanya ini semua cuma omong kosong.”  

Shani mengingat kembali masa-masa saat belajar di sekolah dasar, di mana semua terasa lebih menyenangkan. Ketika mencari jawaban di buku dan mendiskusikannya dengan teman-teman itu membuatnya merasa terlibat. Kini, dengan semua kemudahan yang ada, dia merasa orang-orang lebih cenderung mencari jalan pintas daripada benar-benar memahami materi. Orang-orang sekarang maunya instant 

Saat guru mulai menjelaskan rumus-rumus yang tampaknya tidak ada habisnya, Shani merasa frustrasi. Matematika selalu menjadi pelajaran yang membuatnya merasa tidak berdaya. Jika saatnya mengumpulkan tugas, biasanya dia akan menyerahkan pekerjaan meskipun jawabannya tidak pernah 100% benar. Yang terpenting baginya, dia sudah memenuhi kewajiban untuk mendapatkan nilai. Hidup jangan terlalu dibuat susah.

"Shani, mana tugas kamu?" tanya Bu Tasya, guru Matematika, menghampirinya.

"Gak bawa!" Shani menjawabnya sambil memberikan tatapan angkuh.

Tidak ada respon dari Bu Tasya selain berlalu, karna dia tahu, percuma saja berdebat dengan Shani. Lagipula itu tidak akan mengubah tabiatnya menjadi lebih baik.

Shani memandang barisan bangku sebelah kanan, tampak murid laki-laki sedang asik bermain game ketika jam istirahat. Shani mulai merasa bosan jika dia memiliki kekuatan dia akan menghilang dari pandangan manusia-manusia yang ada di depannya itu.

Di kelas, bahkan di sekolah, Shani sama sekali tidak memiliki teman. Bukan karna dia menutup diri. Tapi mereka semua yang menganggap nya aneh dan gila.

Dulu, saat masa orientasi siswa, hanya Shani satu-satunya siswa yang tidak mengikuti kegiatan tersebut. Hal itu membuat beberapa kakak kelas menganggapnya sombong, dan tidak sedikit dari mereka menyerang Shani dengan kata-kata kasar dan ejekan. Shani, yang sudah terbiasa menghadapi komentar-komentar miring, tidak peduli dengan penilaian mereka. Tetapi jika hal itu sudah di luar toleransinya maka Shani tidak akan tinggal diam.

Pernah satu kali, seorang anak kelas 3 mendatangi Shani dia tiba-tiba menjambak rambut Shani dan berteriak, “Lo itu cewe jalang yang gak punya sopan santun sama yang lebih tua." Shani yang merasa dipermalukan dan tak terima pun marah langsung membalas perlakuan itu. Dia tidak akan membiarkan dirinya diperlakukan seperti itu, dan responnya jauh lebih kasar dari apa yang dilakukan anak kelas 3 itu padanya.

Shani lebih suka berdiam diri dan menulis di kamar daripada harus berinteraksi dengan orangtuanya atau kaka dan adiknya. Baginya, menulis adalah cara terbaik untuk mengungkapkan perasaannya tanpa harus berhadapan langsung dengan orang lain. Setiap kali ada perasaan yang sulit dia ungkapkan, Shani akan menuangkannya ke dalam buku catatan yang selalu ia bawa ke mana pun.

Shani sangat suka dengan sayur bayam dia makan setiap hari dengan nasi hangat itu sudah cukup bagi Shani ketimbang harus memakan makanan enak yang biasa di makan orang lain. Sebenarnya bukan tidak suka tapi dia hanya malas untuk pergi ke luar, Shani juga akan mengerjakan sesuatu yang menurutnya penting, yang tidak terlalu penting tentu saja dia abaikan apalagi pekerjaan rumah yang ditugaskan oleh sekolah. Semuanya hanya omong kosong bagi Shani.

Jika terlalu asik dalam berimajinasi di dalam kepala dan menuangkannya ke dalam buku catatan, seringkali Shani memutuskan untuk tidak berangkat ke sekolah. Dia memilih untuk diam di kamar berhari-hari. Bahkan Shani sanggup tidak berbicara hingga berhari-hari dengan siapapun.

"Minimal lulus SMA Shan, habis itu kalo kamu mau jadi apapun atau kuliah ngambil jurusan yang kamu suka silahkan. Jangan sok idealis Shan, kamu harus punya bekal buat dapetin suami yang pantes buat kamu nantinya." Pemikiran mama Shani yaitu Melody yang terlalu konvensional yang membuat hubungan antara mereka tidak terlalu baik.

Shani sering sekali bertengkar adu mulut dengan mamanya. Umurnya sekarang 18 tahun, seharunya sudah duduk di kelas 3. Namun, dua tahun Shani tinggal kelas akibat kuatnya sikap Shani yang terlalu idealisme ini.

Sekarang masih pukul 9 pagi, dan masih tersisa 1 jam lagi untuk tetap diam di kelas IPA ini.

Shani memejamkan matanya sambil membiarkan tubuhnya duduk dengan malas di atas kursi kayu. Sesekali Shani membuat cerita di dalam kepala. Yang tentu saja cerita itu nantinya akan Shani tuangkan ke dalam tulisan.

Saat dia sedang asik berimajinasi tiba tiba mendengar seseorang mengatakan.

"Perhatian-perhatian, semuanya tolong lihat ke depan! Shani, Bangun!" Suara Bu Tasya berhasil mengacaukan cerita di dalam kepalanya.

"Sialan!" Mulut Shani bergumam kecil.

Shani menegakkan posisi duduknya, mencoba memandang lurus ke depan meski sesungguhnya hatinya begitu kesal karna dia terganggu.

"Hari ini ibu akan memperkenalkan siswa baru pada kalian semua. Sini, ayo masuk, Nak!" Bu Tasya terlihat melambaikan tangan pada seseorang yang sepertinya sudah menunggu sejak tadi di depan pintu kelas.

Tak lama kemudian masuklah seorang anak laki-laki berjalan pelan sambil terus tersenyum memandang ke arah murid lainnya, kini seisi kelas fokus memperhatikannya.

"Ya, anak-anakku ini adalah Zean Pradana Abimanyu, dia siswa pindahan dari Bandung. Mulai sekarang dia akan menjadi teman kelas kalian, ayo Zean kamu boleh memperkenalkan diri pada teman teman baru kamu!" dengan sangat ramah Bu Tasya mempersilahkan murid baru itu untuk memperkenalkan dirinya.

"Halo perkenalkan nama saya Zean Pradana Abimanyu, panggil saja Zean! Umur saya 17, saya pindahan dari kota Bandung, semoga kita bisa berteman dengan baik."

'Ganteng banget gila tuh cowok'

'Aaaaaaa mama, ada cowok ganteng di kelas aku'

'Zean, will you marry me!' 

Begitulah kira-kira teriakan pelan para siswa perempuan terhadap murid baru itu sekarang kecuali Shani. Mereka terpesona akan ketampanan seorang Zean Pradana Abimanyu

"Dih! Berlebihan banget mereka." ucap Shani menggerutu pelan

Siswa lainnya dengan senang hati menerima kehadiran Zean si siswa baru, berbeda dengan Shani yang sama sekali keliatan tidak peduli. 

"Kak Shani! boleh aku duduk di sebelah Kakak?"

"Hadeh nih cowok sok akrab banget, mana pake embel-embel 'kak' lagi." batin shani menggerutu kesal 

Anak baru bernama Zean itu tiba-tiba menghampiri meja Shani, karna memang tidak ada meja kosong lagi selain meja Shani di kelasnya itu. Jadi mau tidak mau Shani mempersilahkannya duduk di mejanya meskipun terpaksa.

"Pertama, nama gue Shani dan jangan panggil gue dengan sebutan Kakak, karena gue bukan Kakak lo! Kedua, lo boleh duduk di sini selama mulut lo terkunci rapat dan gak ngeluarin kata-kata gak penting! Ketiga, jangan pernah lo ngomong sama gue!" ucap Shani panjang lebar, dengan suara tegasnya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
TBC!!

Zean Pradana Abimanyu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang