Bab 7

418 89 16
                                    


Shani tertawa, tapi sorot matanya seolah berkata lebih dari sekadar candaan. Mereka terdiam beberapa detik, menikmati kehangatan suasana yang tercipta tanpa perlu kata-kata lebih. Bagi Zean, momen itu adalah perasaan yang begitu akrab, namun sekaligus asing. Dan untuk pertama kalinya, dia mulai bertanya-tanya… apakah Shani mungkin merasakan hal yang sama?

Setelah beberapa saat, Zean mencoba memecah keheningan dengan melihat ke arah matahari yang hampir tenggelam di ufuk barat.

"Matahari terbenam selalu kelihatan indah ya, walaupun cuma beberapa menit aja?" ucapnya pelan, pandangannya tetap mengarah ke langit yang mulai berwarna jingga.

Shani menoleh ke arah matahari terbenam, tersenyum tipis.

"Iya, selalu bikin kita lupa sama semua hal, ya... sejenak," jawabnya, suaranya lembut.

Zean mengangguk, lalu melirik Shani sekilas.

"Mungkin itu kenapa orang-orang selalu nungguin momen ini, walaupun cuma sebentar. Karena kadang, momen singkat juga bisa berarti banyak."

Shani menatapnya, mendengar nada dalam kata-kata Zean. "Mungkin sama kayak momen kayak gini. Bisa bikin kita ingat hal-hal yang kita rasa nggak penting, tapi ternyata punya makna," ujarnya sambil tersenyum.

Zean kembali terdiam, mencoba menyimpan perasaan yang tak terungkap di balik senyumnya. "Semoga, momen ini juga nggak akan pernah hilang dari ingatan kita," gumamnya perlahan.

"Apa suatu hari nanti ketidakmungkinan ini bisa jadi mungkin?" batin Zean bertanya-tanya, seiring dengan berlalunya detik-detik yang terasa semakin berat. Dia tidak bisa mengelak dari perasaan yang semakin menguat, meskipun dia tahu betapa rumitnya semua ini.

Di sisi lain, Shani pun ikut terdiam, "Mungkin cuma perasaan aku aja kali" batin Shani menarik napas dalam-dalam, sembari menatap Zean yang masih terdiam di sampingnya memandang lurus ke depan sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk pulang

Di kantor, Shani dan Zean sibuk dengan pekerjaan masing-masing, tapi kali ini suasananya terasa berbeda. Gracio semakin sering datang mengunjungi Shani, bukan hanya untuk membicarakan bisnis, tapi juga untuk mengajaknya makan siang bersama atau sekedar ngobrol tentang hal-hal pribadi.

Saat istirahat makan siang, Zean masuk ke ruangan kerja Shani, niatnya hanya untuk memberikan berkas-berkas yang perlu Shani tanda tangani. Namun, ada perasaan senang yang tiba-tiba menyelinap di hati Shani begitu melihat Zean masuk, meskipun dia tahu Zean tidak akan lama berada di sana.

"Shani, ini berkas-berkas yang harus kamu tanda tangani. Kalau gitu, aku balik ke ruangan aku," ucap Zean sambil bersiap melangkah pergi, namun Shani tiba-tiba memanggilnya.

"Zean, tunggu. Kamu udah makan siang belum? Bareng aku yuk," ucap Shani, sedikit gugup

Zean menatap Shani dengan bingung. Dia berpikir sejenak, apakah harus menerima ajakan Shani atau justru menolaknya. Ada bagian dari dirinya yang ingin sekali menghabiskan waktu bersama Shani, namun ada juga kekhawatiran bahwa ini mungkin akan semakin memperumit hubungan mereka.

"Zean, ayo... biasanya juga kan kita makan bareng" ucap Shani lagi, dengan senyum kecil di wajahnya.

Namun, tepat saat Zean hendak memberi jawaban, pintu ruangan terbuka, dan Gracio masuk.

"Gracio?" tanya Zean, sedikit terkejut melihat Gracio yang muncul di ruang kerja Shani.

Gracio tersenyum ramah. "Lho, Zean, kamu di sini juga."

"Iya, ada beberapa berkas yang harus aku kasih ke Shani," jawab Zean sambil menunjukkan map yang dibawanya. Gracio mengangguk, memahami.

Setelah itu, Gracio menoleh ke arah Shani. "Shani, aku ke sini mau ajak kamu makan siang bareng, gimana?" tanyanya dengan nada santai namun penuh maksud.

Zean Pradana Abimanyu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang