Bab 6

415 88 12
                                    


"Zean, siapa nama orang itu?"

Zean menoleh, tersenyum tipis, lalu berkata.

“Gracio. Gracio Mahendra."

Hari yang dinanti akhirnya tiba. Zean, Gracio, dan Shani bertemu di sebuah kafe dengan suasana tenang dan nyaman. Di tengah hiruk-pikuk pelanggan lain, ketiganya memilih meja di pojok yang agak sepi, agar bisa fokus membicarakan urusan bisnis.

Zean membuka percakapan dengan memperkenalkan Shani dan Gracio secara resmi.

“Shani, ini Gracio Mahendra, pengusaha yang aku ceritain. Dia punya banyak pengalaman di bidang yang mungkin bisa mendukung perkembangan perusahaan kamu.”

Gracio mengulurkan tangan sambil tersenyum hangat. “Senang akhirnya bisa bertemu, Shani. Zean banyak bercerita tentang ide-ide hebat yang kamu punya. Saya sangat tertarik melihat apa yang mungkin bisa kita capai bersama setelah menjalin kerja sama.”

Shani tersenyum sambil menjabat tangan Gracio. “Terima kasih, Gracio. Saya juga sangat tertarik untuk mendengar lebih lanjut pandangan anda. Zean sudah meyakinkan bahwa kerja sama ini akan sangat bermanfaat.”

Percakapan pun mulai berfokus pada bisnis. Mereka membicarakan strategi, potensi pasar, dan bagaimana mereka bisa saling mendukung satu sama lain nantinya. Gracio mengagumi cara Shani berbicara dia berbicara dengan kepercayaan diri yang tulus, tetapi tetap hangat dan profesional. Setiap kalimat yang diucapkannya terasa penuh pemikiran, dan Gracio bisa merasakan antusiasme yang mengalir dari setiap idenya.

Zean yang duduk di samping mereka menyadari bahwa percakapan mereka mulai mengalir dengan lancar, dan tanpa sadar dia merasa sedikit tersingkir. Namun, dia tidak mempermasalahkannya. Sebaliknya, Zean merasa senang melihat Gracio dan Shani berinteraksi dengan baik.

Pertemuan itu berakhir dengan kesepakatan untuk melanjutkan diskusi di pertemuan-pertemuan berikutnya. Saat mereka bersiap untuk berpisah, Gracio tersenyum pada Shani dan berkata.

“Saya harap kita bisa terus membangun kerja sama ini. Dan mungkin lain kali kita bisa bertemu dalam suasana yang lebih santai?”

Shani tersenyum menanggapinya. “Baik Gracio, saya juga merasa pertemuan ini menyenangkan. Saya menantikan ide-ide yang bisa kita kembangkan bersama.”

Ketika Shani pergi di ikuti Zean, Gracio masih berdiri di tempatnya, memandangnya dengan perasaan yang bercampur aduk antara kekaguman dan ketertarikan. Dalam hati, dia berjanji akan mencari kesempatan lagi untuk bisa lebih dekat dengan Shani. Bagi Gracio, pertemuan hari ini adalah awal dari perjalanan baru yang menarik.

Pertemuan singkat antara Shani dan Gracio untuk membicarakan bisnis ternyata membawa kesan mendalam bagi Gracio. Dalam waktu yang singkat itu, Gracio merasakan sesuatu yang berbeda, Shani punya aura yang unik, cara bicaranya, ketenangan, dan pandangan penuh percaya diri yang membuatnya merasa Shani bukan sekadar rekan bisnis biasa.

Saat awalnya mereka hanya bertukar ide dan strategi bisnis, Gracio mulai melihat sisi lain dari Shani. Entah kenapa, setiap kali dia mendengarkan Shani berbicara, dia merasa terpesona. Senyum Shani, tawa kecilnya saat dia bercerita, atau cara dia merespon setiap pertanyaan dengan cerdas semua itu membuat Gracio ingin lebih dari sekadar mitra kerja.

Gracio mulai mempertimbangkan perasaan barunya ini. Di luar ketertarikannya untuk bekerja sama dengan Shani, dia mendapati dirinya berharap untuk mengenal Shani lebih dalam. Ada ketertarikan yang tumbuh dengan cepat, dan Gracio merasa bahwa Shani adalah seseorang yang istimewa, berbeda dari orang-orang yang pernah ia temui sebelumnya.

Setelah selesai pertemuan dengan Gracio, Shani merasa masih ingin menghabiskan waktu dengan Zean. Tanpa ragu, dia langsung mengajaknya ke taman untuk sekadar berjalan-jalan santai. Namun, Zean sempat menggeleng pelan, menolak dengan alasan merasa kelelahan.

“Aku capek, Shani. Seharian ini udah banyak kegiatan,” ujarnya sambil tersenyum tipis, berharap Shani akan paham.

Tapi Shani bukan tipe orang yang mudah menyerah, apalagi jika keinginannya ditolak. Dia menatap Zean dengan tatapan penuh tekad dan senyum memaksa.

“Ayolah, cuma sebentar! Nggak bakal bikin capek juga, kamu pikir kamu doang yang capek. Aku butuh udara segar, Zean.”

Zean menghela nafas, tahu bahwa Shani tidak akan mundur begitu saja.

“Kamu nggak bakal berhenti maksa sampai aku ikut, kan?”

Shani tersenyum puas, tahu bahwa dia sudah memenangkan argumen kecil itu.

“Itu kamu tau! Jadi ayo, kalo kamu gak mau yaudah aku marah sama kamu!.” Ucap Shani sambil menyilangkan kedua tangannya dan berpura-pura membuang muka.

"Lucu!" batin Zean tersenyum kecil

Dengan sedikit enggan tapi tidak ingin mengecewakan Shani, Zean akhirnya menurut. Mereka pun berjalan menuju taman terdekat, dengan Shani yang tampak bersemangat, sementara Zean hanya bisa pasrah dan tersenyum. Dalam hati, Zean sebenarnya merasa senang bisa menghabiskan waktu bersama Shani, meskipun dia harus berpura-pura lelah sebagai alasan.

Setibanya di taman, mereka menikmati suasana sore yang tenang. Shani bercerita tentang ide-ide bisnisnya dan pandangan barunya setelah bertemu Gracio, sementara Zean mendengarkan dengan sabar, kadang menyisipkan komentar atau candaan yang membuat Shani tertawa. Momen-momen sederhana seperti ini, meskipun sering mereka lalui, selalu memiliki kenangan tersendiri bagi keduanya.

"Gimana setelah ketemu Gracio, menurut kamu dia gimana?" tanya Zean tiba-tiba, membuat Shani sedikit keheranan. Dia menatap Zean, mencoba membaca ekspresi wajahnya, tapi Zean hanya menatap lurus ke depan dengan wajah tenang.

"Kenapa nanya gitu?" balas Shani sambil tersenyum kecil, merasa penasaran.

Zean mengangkat bahu santai. "Ya, cuma pengen tau aja." jawabnya sambil menatap Shani sekilas.

Shani berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Hmm, menurut aku dia orangnya cukup ramah dan kelihatannya profesional. Dia punya banyak ide menarik juga, jadi mungkin kerja sama ini bisa jadi sesuatu yang besar buat bisnis aku.”

Zean mengangguk pelan, mencoba menyembunyikan perasaan yang sedikit aneh di dalam hatinya.

"Baguslah kalau kamu nyaman kerja sama dia. Semoga bisa cocok, Ya." katanya dengan nada tulus, meski ada sedikit nada yang terasa berbeda.

Shani mengamati ekspresi Zean, merasa ada sesuatu yang janggal. “Kamu kenapa? Kok kesannya kayak… nggak biasa, gitu?” tanyanya, setengah bercanda tapi juga penasaran.

Zean tertawa kecil, mencoba menghilangkan kecurigaan Shani. “Ah, nggak kok! Aku cuma pengen tau aja kamu ngerasa cocok sama nyaman gak kalo sama Gracio."

Shani menepuk bahu Zean. "Tenang aja! Aku ngerasa cocok dan nyaman kok, ya aku harap dia bakal terus profesional dan gak aneh-aneh. Tapi sejauh ini enggak, gatau ya kalo nanti." ucap Shani.

Zean ikut tersenyum, merasa lega melihat Shani kembali ceria setelah kelelahan bekerja. Namun, di dalam hatinya, dia mulai menyadari bahwa perasaannya terhadap Shani mungkin lebih rumit dari yang selama ini dia kira. Saat Zean tenggelam dalam pikirannya, tiba-tiba Shani berkata dengan suara lembut,

"Seberapa nyamannya aku sama orang lain, nggak akan pernah bisa bikin aku ngerasa senyaman waktu sama kamu, Zean."

Kata-kata Shani membuat Zean terdiam sejenak. Hatinya berdesir mendengar kalimat itu, dan tanpa sadar dia menatap Shani dengan penuh arti. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi tiba-tiba merasa lidahnya kelu. Ucapan Shani begitu sederhana, namun mampu menimbulkan getaran dalam dirinya yang sulit ia jelaskan.

Zean tersenyum kecil, mencoba merespon dengan santai. “Ya emang, siapa lagi yang bisa sabar sama kamu selain aku?” candanya, meski hatinya berkata sebaliknya. Dia tahu candaannya hanya untuk menutupi apa yang sebenarnya dia rasakan.

Shani tertawa, tapi sorot matanya seolah berkata lebih dari sekadar candaan. Mereka terdiam beberapa detik, menikmati kehangatan suasana yang tercipta tanpa perlu kata-kata lebih. Bagi Zean, momen itu adalah perasaan yang begitu akrab, namun sekaligus asing. Dan untuk pertama kalinya, dia mulai bertanya-tanya… apakah Shani mungkin merasakan hal yang sama?
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
TBC!!

🙇🏻🙇🏻🙇🏻

Zean Pradana Abimanyu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang