Bab 1

3 1 0
                                    

Jodoh, datanglah, kehadiranmu amat berguna bagi diriku yang tengah kesulitan menjalankan skripsi tiada akhir ini.

Karina terus merapalkan kata-kata itu dalam hatinya saat mendapati tugas akhirnya yang me-redesign logo toko pastry milik saudaranya ditolak mentah-mentah oleh dosen pembimbing. Ini sudah ketiga kali. Ia tidak mengerti apa lagi yang harus diperbaiki. Dosennya bilang, karakternya kurang kuat dan filosofinya masih kurang jelas.

Padahal menurutnya semuanya sudah pas, tanpa harus ditambah-tambah lagi. Namun, ekspektasinya ternyata terlalu tinggi. Keinginan lulus lebih cepat mendadak ciut dan menyerah akan semuanya. Terkadang rasa pesimisnya lebih besar daripada harus maju terus pantang menyerah.

"Revisi lagi, Na?" tanya Safira–temannya—yang juga baru menghadiri bimbingan. Ia duduk di samping Karina yang terlihat tidak bersemangat, berbeda dengan ketika ia datang pagi tadi.

Karina hanya mengangguk lesu. "Kalau kayak gini terus, gue pengen nikah aja."

"Emang calonnya udah ada?" Gadis yang duduk di sebelahnya menoleh dengan alis berkerut.

"Ada." Karina menjawab enteng.

"Ih, lo gak bilang kalau udah punya pacar." Safira mengeplak paha mungil gadis di sampingnya itu.

Karina meringis. "Iya, tapi jauh, dia di Korea."

"Min Yoongi maksud lo?" tebak Safira.

Karina nyengir tanpa dosa.

"Gue kira cowok beneran." Safira berdecak kesal.

"Dia kan cowok beneran."

"Iya, emang beneran. Tapi mustahil buat lo jangkau, Na."

"Gue gak tertarik sama cowok real life, gimana dong?"

Safira membuang pandang. "Terserah lo, deh. Tapi gue mau ngasih saran aja, menikah itu bukan solusi. Lo tahu gak angka perceraian sekarang makin meningkat daripada tahun lalu."

"Mana gue tahu begituan." Karina menyahut tidak peduli. "Gue bukan petugas survei."

"Gue serius, sejak pandemi Covid dua tahun lalu, kasus meningkat sekitar 200 ribu jiwa."

"Terus apa peduli gue tentang itu?"

"Ya, lo jangan mutusin nikah dulu, dong. Nikah itu bukan perkara gampang. Usia kita juga masih muda kali. Masa lo mutusin nikah cuma karena pusing mikirin TA. Payah lo," ejek Safira.

"Tapi gue lihat Anjani kayak bahagia banget sejak mutusin nikah tahun lalu. Tiap hari ke kampus dianter sama suaminya, pulang dijemput. Duit selalu dapet tiap bulan dengan nominal yang gede. Terus ...." Karina menata satu per satu kehidupan rumah tangga teman satu angkatannya. "Semenjak nikah outfit dia juga makin fashionable."

Safira memutar bola matanya. "Yang lo lihat belum tentu menunjukkan kondisi sebenarnya. Jangan terlalu polos, deh."

Karina berdecak kesal. "Ah, lo nyangkal mulu dari tadi."

"Otak lo harus dicuci biar gak mikirin nikah melulu." Kemudian, Safira beranjak. "Udah ah, gue mau pulang ya, kakak gue udah jemput."

"Oke."

Safira pergi meninggalkan Karina di taman kampus siang itu. Hari cukup terik, matahari bisa membakar kulitnya jika tidak memakai pakaian lengan panjang. Ia merasa cuaca di siang hari lebih panas daripada tahun-tahun sebelumnya. Mungkin karena dampak global warming yang semakin meningkat.

Karina menyalakan ponsel, senyumnya mengembang ketika melihat gambar lockscreen yang menampilkan pria bermata sipit tengah tersenyum manis ke arahnya. Kemudian notifikasi artikel dari salah satu situs muncul di layar pop up mengalihkan perhatian Karina.

Mengejar Cinta Bang MailTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang