Bab 5

2 1 0
                                    


Karina membuka sebuah kotak yang disimpannya dalam lemari. Ia membawa benda tersebut dan meletakkannya di meja belajar. Setelah membukanya, banyak barang-barang masa kecil yang masih tersimpan di sana, ada saputangan pemberian neneknya, boneka teddy bear kecil, termasuk beberapa lembar foto masa kecil.

Karina mengambil salah satu foto itu. Fotonya ketika berusia tiga tahun bersama anak laki-laki yang kira-kira berusia sepuluh tahun atau lebih. Lia selalu berkata jika nama anak laki-laki itu bernama Hardi. Apakah anak itu Mail? Karina memerhatikan wajahnya secara saksama. Matanya lebih sipit daripada sekarang, dia juga agak gemuk. Sangat berbeda dengan sekarang. Lalu, Karina memasukkan foto itu ke dalam saku kardigannya.

Pertemuan keluarga kembali dilakukan, Karina tidak menyangka jika akan sampai ke tahap ini, tidak menyangka juga jika dirinya tidak lama lagi akan menikah. Walaupun ia tidak tahu pernikahannya nanti akan seperti apa. Mail sama sekali belum menunjukkan sikap manisnya, dia masih saja sedingin kulkas.

"Bagaimana kalau pernikahan kita laksanakan setelah Karina wisuda?" ujar Aria.

Karina dan Mail saling melirik. Ia menatap tajam ke arah gadis itu, tetapi Karina tidak peduli, ia malah tersenyum lebar.

"Saya sih gimana keputusan dari Pak Aria aja, kalau itu yang terbaik, kami akan menerima dengan senang hati." Gunawan menjawab tanpa ragu.

"Baiklah, untuk tanggalnya mungkin kita akan bicarakan lagi nanti."

"Tentu, Pak Aria, waktunya masih cukup panjang. Kita bisa memilih hari baik buat pernikahan anak-anak kita dengan tenang tanpa harus terburu-buru," sahut Gunawan.

Setelah membicarakan kelanjutan hubungan Karina dan Mail. Mereka berbincang santai.

Sore ini lagi-lagi Mail dipaksa untuk membawa Karina pergi. Kristin selalu menggunakan alasan agar mereka lebih dekat, agar cinta tumbuh lebih cepat di antara mereka jika sering pergi bersama.

"Ternyata kita udah saling kenal dari kecil, ya." Karina mengawali pembicaraan ketika mereka sedang di perjalanan.

"Kata siapa?" Mail menyahut tanpa menoleh.

"Aku punya buktinya."

"Jangan mengada-ada, deh."

Karina merogoh saku kardigannya. "Ini." Ia mengeluarkan foto masa kecil mereka. "Aku baru ingat juga kalau dulu Mama sering cerita kalau Bang Mail itu suka ajak aku main rumah-rumahan."

"Stop panggil aku Bang Mail, oke?" Mail melirik sekilas pada Karina dengan perasaan sedikit kesal.

"Kenapa sih? Bang Mail mau dipanggil Mas Hardi?" Karina mengubah suaranya menjadi selembut mungkin.

"Saya gak mau dipanggil apa-apa sama kamu."

Karina berdecak, lalu ia memasukkan kembali foto itu ke dalam saku. "Kata orang tua kita, kita kan harus sering ketemu, biar cemistry di antara kita itu cepat terjalin. Kita kan sebentar lagi mau nikah."

Mail tidak menjawab lagi, ia lebih memilih fokus pada jalanan. Ia sama sekali tidak ingin membahas tentang pernikahan mereka. Itu memuakkan.

Alunan musik jazz yang lembut menyambut mereka ketika masuk ke sebuah restoran. Suasananya membuat Karina nyaman karena mereka mengambil tempat duduk di outdoor di lantai tiga yang menyajikan pemandangan kota Depok. Namun, Karina tidak menyukai musik jazz, baginya aliran musik ini selalu membuatnya mengantuk. Walau sangat mendukung dalam suasana romantis di restoran itu. Ternyata selera musik mereka sangat berbeda, mungkin karena perbedaan usia yang juga cukup jauh, tentu beda generasi beda selera.

Mengejar Cinta Bang MailTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang