Tawa riang memecah keheningan sore itu di sebuah halaman kecil yang dipenuhi garis-garis putih berliku, membentuk arena permainan engklek. Tiga anak laki-laki berlarian bergantian melompati kotak-kotak dengan kaki satu, bergantian menahan napas setiap kali batu kecil mereka meluncur. Iksa, Cio, dan Vier adalah tiga sahabat sejati, tak terpisahkan. Meski baru berusia delapan tahun, ikatan persahabatan mereka sudah sekuat baja.
"Iksa, giliran kamu!" seru Cio sambil mengangkat batu kecil dari tanah.
Wajahnya yang bulat memerah karena terlalu bersemangat.Iksa mengangguk. Bocah itu melangkah ke tengah arena, sorot matanya serius. Meski tubuhnya kecil namun, semangatnya tak kalah besar. Ia melompat dengan lincah, seperti tak peduli pada kenyataan bahwa orangtuanya selalu memperingatkannya untuk hati-hati. Iksa memang berbeda; dia gampang sakit, terutama kalau kena hujan. Orangtuanya sudah membawakannya jas hujan setiap kali mereka keluar bermain. Tapi sore ini langit terlihat cerah, tak ada tanda-tanda akan hujan-setidaknya, itulah yang mereka pikirkan.
Mendadak, angin kencang bertiup, dan tanpa peringatan, titik-titik air mulai jatuh dari langit. Iksa menghentikan langkahnya, memandang ke atas dengan kening berkerut.
"Hujan!" teriak Vier dengan mata berbinar. Dia adalah yang paling suka bermain hujan-hujanan di antara mereka. "Ayo kita main di luar!"
Cio ikut bersorak, tak peduli pada air yang mulai membasahi rambutnya. Namun, Iksa tetap diam, menatap langit dengan ragu. Orangtuanya selalu memperingatkannya soal ini. Dia bisa sakit kalau terlalu lama terkena hujan. Dan dia sudah tahu rasanya harus berbaring di tempat tidur berhari-hari.
"Ik, nggak usah takut!" kata Cio sambil menepuk bahunya. "Kalau sakit, nanti kita jenguk. Seru kan!"lanjutnya.
Iksa ragu. Teringat jas hujan yang tersimpan rapi di dalam tasnya, dia merogohkan tangan, tapi saat dia melihat wajah riang sahabat-sahabatnya, keraguannya perlahan hilang. Momen ini terlalu menyenangkan untuk dilewatkan. Mereka jarang bisa bermain bersama hingga waktu hampir malam.
"Ya sudah, aku ikut," jawab Iksa, tersenyum lebar.
Dalam hitungan detik, ketiga bocah itu sudah berlari di tengah hujan deras, melompat di atas genangan air seolah itu adalah bagian dari permainan mereka. Hujan yang tadinya terasa mengintimidasi bagi Iksa kini berubah menjadi kawan baru yang membawa kegembiraan. Mereka berlari-lari di halaman, membuat dunia kecil mereka sendiri di tengah hujan.
Orangtua mereka-yang kebetulan juga sangat akrab satu sama lain-berteriak dari teras rumah, meminta mereka untuk masuk. Namun teriakan itu hanya menjadi latar belakang suara hujan dan tawa mereka. Hujan membawa mereka pada kebahagiaan singkat yang seolah tak akan berakhir.
Namun, malam pun datang lebih cepat dari yang mereka duga. Setelah bermain berjam-jam, tubuh mereka lelah dan dingin. Iksa akhirnya pulang, dengan wajah basah namun bahagia. Begitu ia masuk ke dalam rumah, bundanya menyambutnya dengan kekhawatiran yang sudah tertebak.
"Kenapa kamu main di hujan lagi? Kan kamu gampang sakit, Nak," bundanya menegur lembut sambil menyeka rambut basah Iksa dengan handuk.
Iksa hanya tertawa kecil. "Aku nggak apa-apa, Bun. Tadi seru banget."
Namun, malam itu, demam mulai merayap masuk. Suhu tubuh Iksa perlahan naik, menggigil di balik selimut tebal. Bundanya mengawasinya dengan cemas, berharap ini hanya sakit ringan. Namun, di balik senyum lelahnya, Iksa tahu bahwa tubuhnya mulai menyerah pada hujan yang tadinya terasa begitu hangat dan menyenangkan.
Di luar sana, hujan masih terus turun, seolah mengingatkan Iksa pada permainan yang menyenangkan bersama sahabat-sahabatnya. Tapi kini, dengan tubuh yang panas dan mata yang berat, ia hanya bisa berharap bisa segera sembuh dan kembali bermain di bawah langit cerah bersama Cio dan Vier-sahabat-sahabat yang selalu ada di sisinya, bahkan dalam hujan.
Sebab, meski hujan bisa membuatnya sakit, di balik setiap tetes air itu, ada kenangan yang tak pernah ingin ia lupakan. Kenangan tentang tawa, persahabatan, dan kebebasan masa kecil yang tak terulang kembali.
"Hai, teman-teman Wattpad! Terima kasih sudah mampir ke cerita pertama aku! Semoga kalian seru-seruan bareng di sini, enjoy bacaannya, ya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Euphoria : Fly to the moon
Teen FictionSelama tiga tahun, Aurora menyimpan rasa untuk Antariksa, teman sekelasnya yang penuh teka-teki. Selama 3 tahun Ia terus mengejar cinta yang tak pasti, bingung dengan perasaan Antariksa yang tak pernah jelas. Mungkin kisah mereka aneh, tapi bukankah...