"AKU NGGAK MAU SEKOLAH DI NUSANTARA, AKU MAUNYA DI SMADA!" seru gadis itu dengan nada protes yang keras.
Mamanya hanya menghela napas panjang, lalu menatap putrinya dengan sorot penuh pengertian. "Hadeh... andai saja nilai kamu lebih tinggi sedikit," jawab mamanya, berusaha tetap tenang.
Gadis itu bukan tidak pintar, bukan pula karena nilainya yang kurang. Hanya saja, jarak zonasi memisahkan mimpi dan kenyataannya. Seandainya saja ia bisa menggunakan jalur afirmasi, mungkin semua akan berjalan lancar. Namun, Papanya terlambat mengurus surat-surat yang diperlukan. Dan mamanya pun langsung mendaftarkannya ke SMA Nusantara
SMA Dharma, yang lebih sering disebut "Smada," adalah sekolah impian banyak orang. Sekolah itu dikenal karena mampu meluluskan siswa-siswa cemerlang dan berkualitas, yang sukses di berbagai profesi. Bagi banyak orang, Smada adalah simbol prestasi dan masa depan yang cerah.
Di sisi lain, ada SMA Nusantara, sekolah yang terkenal dengan kedisiplinan dan aturan ketatnya. Meski menghasilkan siswa-siswa yang berhasil, banyak aturan tak tertulis di sana yang sering membuat siswa merasa terbebani dan bingung. Sekolah ini juga dikenal sebagai tempat yang mengutamakan ketertiban di atas segalanya, sesuatu yang belum bisa diterima gadis itu sepenuhnya.
Malam itu begitu sunyi. Gadis itu menatap cermin di kamarnya, memandangi satu set seragam sekolah yang tergantung rapi di sisi lemari. Hatinya terasa berat, bahkan sedikit perih. Ia berjalan pelan ke arah tempat tidur dan merebahkan diri di atas kasur. Matanya tetap tertuju pada seragam itu, seperti sedang mencari jawaban atas kebimbangan di hatinya.
"Kenapa nggak bisa masuk Smada? Kenapa harus Nusantara ?" batinnya, penuh perasaan kecewa. Hening sesaat, di tengah ambisi yang menggebu, ia belajar menerima kenyataan yang sulit.
"Mungkin mimpiku untuk menjadi idol akan berakhir di sini," pikirnya. "Atau bahkan belum sempat dimulai."
Ia ingin menjadi seorang idol, bukan hanya untuk sekadar tampil di atas panggung, tapi untuk bersinar. Tujuannya hanya satu-membuat orang-orang terlahir kembali dengan alunan musiknya, seolah-olah mereka merasakan surga dunia. di setiap liriknya
"Tapi... bagaimana caranya?" Ia bertanya pada dirinya sendiri. Di bawah tekanan jarak dan harapan keluarganya, impian itu terasa semakin jauh dari jangkauan.
Namun, dia tahu, menyerah bukan pilihan. Dia menutup mata, membiarkan bayangan panggung besar dan ribuan sorotan lampu mengisi pikirannya sebelum akhirnya tertidur.
"Besok," bisiknya pelan. "Besok, aku akan mencari jalanku sendiri
── ⋆⋅☆⋅⋆ ──
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai tipis di jendela kamar gadis itu, menyapu wajahnya yang masih terlelap. Alarm berbunyi nyaring, membuatnya mengernyit dan berguling di tempat tidur, mencoba menghindari suara tersebut. Namun, rasa tanggung jawab akhirnya menyeretnya keluar dari mimpi indahnya tentang panggung besar dan tepukan tangan yang meriah.
Dengan mata masih setengah terbuka, ia duduk di tepi tempat tidur, menatap seragam sekolah yang tergantung di sisi lemari. Perasaan enggan kembali menggelayuti hatinya. Seolah-olah seragam itu adalah simbol dari jalan hidup yang tidak pernah ia pilih. Namun, dalam diam, ia tahu bahwa pagi ini bukan saatnya untuk menyerah.
"Aku nggak bisa begini terus," bisiknya sambil menghela napas panjang.
Setelah beberapa saat menatap kosong, ia akhirnya bangkit dan berjalan ke kamar mandi. Sambil menyikat gigi, pikirannya masih berkecamuk. Bagaimana caranya bisa mewujudkan impiannya? Apakah ia bisa menjalani keduanya-sekolah di Nusantara dan mengejar cita-citanya sebagai seorang idol?
"Belum ada yang mustahil," gumamnya pelan, berusaha membangkitkan semangat dari dalam dirinya sendiri.
Setelah membersihkan diri, ia mengenakan seragam sekolah dengan perasaan campur aduk. Setiap tombol yang dikancingkan terasa seperti menutup pintu ke arah mimpinya. Tetapi, ia menatap cermin sekali lagi dan mencoba tersenyum.
"Jalan untuk menjadi idol mungkin tak semudah yang aku bayangkan, tapi aku harus mencobanya," pikirnya.
Selesai berpakaian, ia turun ke bawah, di mana Mamanya sudah menyiapkan sarapan. Mamanya menyapanya dengan senyum hangat, namun ada kekhawatiran yang tersembunyi di balik sorot matanya.
"Kamu baik-baik saja, Nak?" tanya mamanya, seolah bisa membaca keresahan di wajah gadis itu.
Ia hanya mengangguk sambil memaksakan senyum. "Aku baik-baik saja, Ma," jawabnya singkat.
Sarapan pagi itu terasa hambar. Ia hanya makan beberapa suap nasi sebelum menyelesaikan minumnya dan beranjak berdiri.
"Aku berangkat dulu," katanya dengan suara pelan, menghindari kontak mata dengan Mamanya.
"Hati-hati , Nak," pesan Mamanya dengan lembut.
Gadis itu hanya mengangguk kecil dan keluar dari rumah, merasakan angin pagi menyentuh wajahnya. Jalan menuju sekolah terasa panjang dan sunyi, seolah setiap langkah membawanya semakin jauh dari impiannya. Teman-temannya yang lain mungkin sudah bisa menerima situasi mereka, tapi tidak dengannya. Ia tidak ingin hidup dalam batasan yang ditentukan oleh nilai-nilai yang tertera di selembar kertas.
Dalam perjalanan, ia melewati sebuah taman yang tak terlalu ramai. Ada sebuah bangku di sana, kosong, memanggilnya untuk berhenti sejenak. Tanpa berpikir panjang, ia duduk di bangku itu dan menatap langit pagi yang cerah. Ia mengambil napas panjang, mencoba menenangkan hatinya.
"Apa yang harus aku lakukan?" tanyanya dalam hati.
Saat itulah ia melihat sekelompok anak muda dengan gitar dan beberapa alat musik lain sedang berkumpul tak jauh darinya. Mereka tampak asyik bercanda dan berlatih. Musik yang mereka mainkan begitu sederhana, namun penuh semangat. Gadis itu menatap mereka dengan iri. Mereka tampaknya hidup dalam dunianya sendiri, bebas dari segala kekhawatiran.
"Mungkin aku bisa seperti mereka," pikirnya. "Mungkin ada jalan untuk tetap mengejar impianku meski aku di Nusantara."
Tiba-tiba, hatinya terasa lebih ringan. Ia tahu bahwa meskipun jalannya mungkin tidak langsung, masih ada cara untuk mencapainya. Ia bisa mulai kecil-mungkin bergabung dengan kelompok musik atau mengikuti komunitas seni di luar sekolah. Siapa tahu, dari sana ia bisa mulai melangkah lebih jauh.
Dengan semangat baru, ia berdiri dari bangku itu dan melanjutkan perjalanannya ke sekolah. Setiap langkahnya kini terasa lebih ringan. Mimpi itu belum mati, dan ia tidak akan membiarkannya terkubur hanya karena keadaan.
Saat tiba di gerbang sekolah, ia menatap bangunan sekolah itu dengan mata yang berbeda. Bukan lagi sebagai penjara yang mengekang mimpinya, tapi sebagai tempat di mana ia bisa memulai perjalanan baru-jalan yang mungkin belum jelas, tapi penuh harapan.
"Mulai dari sini," bisiknya pelan, "Aku akan menemukan caraku sendiri."
Dengan langkah yang lebih percaya diri, ia masuk ke sekolah, siap menghadapi harinya. Mimpi menjadi idol mungkin terasa jauh, tapi ia tidak akan membiarkannya menghilang begitu saja. Besok, ia akan terus melangkah, dan hari-hari setelahnya, ia akan terus berusaha.
"Jika kamu berfikir bahwa alam tidak menghendakimu mungkin saja kamu yang harus berubah, bukan berarti kamu gagal namun masih ada yang harus di ubah dan masih ada banyak jalan untuk menuju kesuksesanmu di masa depan".
"Makin seru nih, guys! Apa yang akan terjadi selanjutnya? Ayo lanjut baca!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Euphoria : Fly to the moon
Novela JuvenilSelama tiga tahun, Aurora menyimpan rasa untuk Antariksa, teman sekelasnya yang penuh teka-teki. Selama 3 tahun Ia terus mengejar cinta yang tak pasti, bingung dengan perasaan Antariksa yang tak pernah jelas. Mungkin kisah mereka aneh, tapi bukankah...