5. JAHIL : Evan Bocah Tengil

48 23 0
                                    

Sore ini pelajaran telah usai, Aurora dan Antariksa mulai mengumpulkan buku yang harus dikembalikan ke perpustakaan. Mereka menghitung jumlahnya, memastikan tak ada yang tertinggal. Namun, saat menghitung ulang, Aurora mendapati bahwa jumlahnya kurang satu. Seharusnya ada dua puluh buku, tapi hanya sembilan belas yang terlihat.

Aurora menghela napas panjang, merasa sedikit bingung. Saat itu, Antariksa sedang di toilet, jadi dia memutuskan untuk mencari tahu sendiri.

"Mana ya? Tadi pagi aku bawa lengkap kok," gumamnya sambil memeriksa kembali tumpukan buku di mejanya.

Tiba-tiba, matanya melihat Evan, seorang teman sekelas yang terkenal unik dan suka membuat kehebohan, menyeringai dari sudut ruangan.

Evan Mahendra - dikenal sebagai sosok yang unik, selalu membuat kehebohan dengan tingkahnya yang sulit ditebak, tapi tak pernah gagal membuat orang tertawa dengan aksi jail-nya yang tak terduga.

"Eh, Evan, lo tahu nggak buku yang hilang di mana?" tanya Aurora dengan sedikit curiga.

Evan tertawa kecil. "Hmm… mungkin aja aku tahu, mungkin juga enggak," katanya sambil menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya.

Aurora mendesah kesal. "Ev, balikin deh bukunya! Jangan bikin repot!" katanya sambil melipat tangan.

Karena lelah tidak mendapat respon dari evan, aurora pun mengamcam "Kalau ga di balikin gue aduin Antariksa nih! " Kesalnya

"Aduin aja, coba! Sok kalau berani," tantang Evan sambil tersenyum jail.

Kesal, Aurora meraih sapu dari pojok kelas dan mulai memanas. "Kalau lo nggak balikin sekarang, besok nggak gue kasih pinjem buku lagi buat tugas Bahasa Indonesia!"

Evan hanya tertawa, tetap menutupi buku di balik punggungnya. "Coba aja, kalau bisa ambil."

Aurora memutuskan untuk bertindak. Ia mengangkat sapu sambil bersiap mendekati Evan. "Awas ya, kalau masih nggak mau balikin!" ujarnya, siap mengejar Evan yang sudah bersiap melarikan diri.

Saat itu, Antariksa baru saja kembali ke kelas dari toilet. Dia terdiam sejenak, melihat Aurora mengejar Evan sambil memegang sapu, sementara Evan berlari mengitari deretan kursi dan meja. "Eh, lo berdua ngapain?" tanya Antariksa heran.
Aurora berhenti sejenak, lalu menunjuk ke arah Evan. "Tuh, si Evan nyembunyiin bukunya!"

Antariksa menahan tawa, melihat keributan kecil itu. Ia mendekati Evan dengan tatapan serius. "Ev, balikin bukunya, deh. Nggak ada gunanya sembunyi-sembunyi," ujarnya dengan nada tenang.

Akhirnya, Evan menyerah dan mengembalikan buku itu sambil tersenyum jail. "Huft, makasih ya, akhirnya balik juga nih bukunya," ujar Aurora, lega.

Setelah itu, Antariksa berdiri di samping Aurora, mengecek jumlah buku sambil bergumam, "Kalian berdua kayak kakak-adik aja, berantem gitu."

── ⋆⋅☆⋅⋆ ──

Di perjalanan menuju perpustakaan, Aurora menghela napas panjang. "Moon, besok kalau narik buku, bagian cowok lo aja deh yang ngambil. Si Evan jahat, aku capek."

Antariksa tertawa pelan. "Kalian tuh bener-bener kayak kakak-adik deh, suka ribut."

"Ih, seorang kakak tuh nggak mungkin bikin adiknya kesel terus, ya kan?" jawab Aurora sambil mencibir. "Capek juga tau!"

Antariksa menatap Aurora yang mulai berjalan agak lambat. Ia mendekat dan berkata, "Kalau kamu capek, sini biar aku aja yang bawa sebagian."

Aurora tersenyum kecil tapi tetap menjaga jarak. Namun, Antariksa tak ragu untuk mengambil beberapa buku dari tangannya. "Jangan jauh-jauh, nanti jatuh bukunya," katanya sambil tersenyum.

Aurora hanya bisa mengangguk pelan dan berjalan di sampingnya. Langkah kaki mereka berbeda jauh—Antariksa yang tinggi memiliki langkah lebar, sementara Aurora harus berusaha mengimbanginya.

"Jangan cepat-cepat dong, Moon! Langkah kita kan beda," keluh Aurora sambil terkekeh.

Mendengar itu, Antariksa memelankan langkahnya, menyesuaikan dengan Aurora. Tak lama kemudian, gerimis mulai turun dari langit.

"Yah, gerimis, Moon," ujar Aurora dengan sedikit panik.

Tanpa berpikir panjang, Antariksa menaikkan buku-buku yang dibawanya, menjadikannya payung darurat di atas kepala mereka. "Sini, deketan. Biar nggak kehujanan," katanya pelan sambil tersenyum ke arah Aurora.

Aurora merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Rasanya ingin sekali dia menghentikan waktu, mengabadikan momen itu, tapi sayangnya, dia hanya manusia biasa.

Sesampainya di perpustakaan, mereka segera masuk dan meletakkan buku-buku di meja petugas. Setelah selesai, mereka kembali ke pintu depan, hanya untuk menemukan hujan yang semakin deras di luar.

Aurora menatap Antariksa, yang berdiri di sebelahnya, juga menatap hujan. Ia ingin mendekat, mungkin hanya untuk memastikan bahwa momen itu nyata.

Aurora mulai memecahkan keheningan "Yah buku tadi jadi basah deh".

Antariksa hanya tersenyum, lalu berkata, "Gapapa  yang penting kita nggak kehujanan."

Aurora mengangguk sambil tersenyum kecil, menikmati waktu yang terasa begitu spesial bersamanya.

"Di balik tugas sederhana mengantar buku, ada senyuman, gerimis, dan detak jantung yang tak bisa dikendalikan—sebuah cerita yang perlahan tumbuh di antara kita."


Persahabatan atau cinta? Part ini bikin bimbang. Jangan lupa vote ya!

Euphoria : Fly to the moonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang