3. LUCU? : Bab Cinta di Ruang Baca

40 14 3
                                    

“Selamat pagi semuanya!” Suara langkah sepatu disusul sapaan ceria terdengar saat seorang wanita paruh baya masuk ke dalam kelas. Ia berdiri di depan kelas, tersenyum lebar sambil menatap para murid satu per satu.

“Pagi, Bu!” balas para murid serempak.

Wanita itu tersenyum semakin lebar, lalu memperkenalkan dirinya,
“Perkenalkan, nama saya Bu Lydia. Saya akan menjadi wali kelas kalian selama setahun ini. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik, ya!”.

Beberapa murid saling bertukar pandang, berbisik tentang guru baru mereka yang tampak ramah dan berwibawa. Tanpa berlama-lama, Bu Lydia mulai membacakan daftar nama satu per satu. Setelah memastikan semua siswa hadir, ia berkata, “Sekarang, kita akan membentuk struktur kelas. Ini penting agar kegiatan di kelas bisa berjalan lancar.”

Bu Lydia menatap daftar di tangannya, lalu mengangguk. “Untuk ketua kelas, saya ingin orang yang bisa diandalkan.”

Seorang siswa dengan tubuh tinggi dan rambut sedikit acak-acakan mengangkat tangannya sambil tersenyum percaya diri. “Saya bersedia, Bu!”

“Baik, Rafael jadi ketua kelas kita,” ucap Bu Lydia. “Sekarang kita lanjut untuk pemilihan seksi-seksi kelas”. Sambil melihat daftar tugas yang ada, Bu Lydia berkata, “Untuk seksi perpustakaan, Antariksa, kamu mau?”

Antariksa yang duduk di baris tengah menunduk, lalu mengangkat wajahnya dengan senyum tipis. “Iya, Bu,” jawabnya pelan namun yakin.

"Untuk satunya lagi...," Ibu Guru melirik ke arah barisan aurora. "Siapa ya?"

"Aurora aja, Bu! Dia pasti mau, iya kan?" kata Kirei dengan cepat sambil menunjuk Aurora yang sedang melamun.

"Hah? Apa?" Aurora tersentak, bingung.

"Kesempatan tuh," bisik Kirei sambil tersenyum jahil.

"Antariksa nanti ambil buku di perpustakaan ya sama aurora, buku paket matematika untuk di pinjamkan masing-masing orang satu. " Ucap Bu Lydia.

Dengan polosnya antariksa dan aurora mengangguk bersama dan menjawab "Baik, Bu. "

── ⋆⋅☆⋅⋆ ──

Setelah kelas berakhir, Antariksa mendekati Aurora dengan ekspresi tenang. "Ayo, kita ambil bukunya.
"Perpustakaan beda gedung, lantai dua."Lanjutnya.

Aurora mengangguk, mengikuti langkah Antariksa. Sambil berjalan aurora mengeluh sebab ia belum mengenal denah sekolahnya secara keseluruhan. "Jauh ya? Aduh, capek deh."

Di perjalanan, Aurora memberanikan diri bertanya. "Moon, tugas seksi perpustakaan cuma ambil buku doang?" sapanya dengan panggilan khusus yang hanya mereka berdua tahu.

Antariksa tertawa kecil. "Ya, lo mau tugas apa? Ngepel perpustakaan?"

Aurora terkekeh, tapi dalam hatinya bergetar. "Ngepel padang pasir juga nggak apa-apa sumpah, asal sama lo." Batin Aurora membuatnya tersenyum sendiri.

"Emang tugasnya cuma ambil buku aja, gampang kok," tambah Antariksa dengan santai.

"Gampang?" Aurora mengulangi sambil menatap ke arah Antariksa, menahan senyum.

"Ya, gampang. Apalagi kita berdua. Buku dibawa bareng-bareng, dibagi dua."

"Dibagi dua?" Aurora mengangkat alis, bermain-main dengan kata-katanya.

Sesampainya di perpustakaan, mereka mulai mencari buku yang di maksut bu Lydia tadi.

"Ih, mana sih bukunya? Kok nggak ada ya?" Aurora bertanya sambil melihat sekeliling.

Antariksa juga ikut memeriksa. "Hmm, mana ya? Sini, aku cari sini, kamu coba di sebelah sana."

Aurora mendesah lelah. "Aduh, capek nih." Padahal baru berapa menit namun aurora sudah kelelahan.

Tiba-tiba matanya menangkap sesuatu. "Oh, di sini rupanya! Pantes nggak kelihatan, haha." Aurora tertawa malu. "Padahal ini setara sama kepala aku, masa nggak lihat?"

Antariksa tersenyum geli. "Setara sama kepala kamu? Masa bisa nggak lihat?"
Mereka pun membawa beberapa buku ke meja petugas. "Bu, ini cuma ada lima aja. Sisanya di mana ya?" tanya Antariksa.

"Selebihnya ada di rak atas," jawab petugas perpustakaan.

Mereka kembali ke rak buku. Aurora mencoba meraih buku di atas, tapi tak sampai.

"Aduh, nggak nyampe nih!" keluh Aurora.

Antariksa tertawa pelan. "Haha, nggak nyampe, pendek sih."

Aurora menatapnya tajam. "Ih, apa sih kamu! Jangan ngejek."

"Bocil, bocil," ledek Antariksa sambil mengangkat bahu.

"Eh, tinggi lo berapa sih?" tanya Antariksa tiba-tiba, kali ini suaranya lebih serius. "Gue nggak ngejek, serius nanya."

Aurora menghela napas. "149... meter." Dia tersenyum kecil. "Tinggi kan gue?"
Antariksa tertawa. "Tinggi banget sampe nggak bisa liat buku di perpustakaan, ya?"

Aurora melotot manja. "Eitsss, tidak boleh membully, kaks!"

Antariksa tersenyum jahil. "Gue nggak bully, kok. Lucu malah kalau pendek. Bisa gue cekek sambil diangkat."

Aurora memutar bola matanya. "Heh, bersoda banget!"

Antariksa mengangkat alis, mencoba menahan tawa. "Agak sih, tapi nggak apa-apa."

Aurora tertawa kecil, berusaha menutupi perasaan aneh yang mulai merayap di hatinya. "Moon, lo tuh nggak boleh membully anak kecil! Eh... bukan anak kecil deng."

Antariksa mendekat sedikit, membuat jarak di antara mereka semakin sempit. "Gue nggak bully sih. Lebih pengen..." Suaranya melirih. "Pengen gue cekek terus gue angkat."

Aurora tertegun sejenak. Jantungnya berdetak lebih cepat, tapi ia berusaha tetap tenang. "Ngeri lo. "

Antariksa menyeringai. "Dikit aja kok. Tapi beneran deh, lo tuh gemesin."

Aurora mengerjapkan mata, berusaha tidak terlalu tersipu. "Moon, kenapa sih lo kayak dendam banget sama gue? Mau banting gue, ya?" godanya, mencoba menyembunyikan perasaannya.

Antariksa tertawa renyah. "Bisa jadi, haha."

Aurora hanya menggelengkan kepala, tapi dalam hatinya, ia tahu—perasaan itu mulai tumbuh, seiring dengan setiap ejekan dan tawa mereka.

── ⋆⋅☆⋅⋆ ──

Keesokan harinya, Aurora dan Antariksa kembali ditugaskan untuk mengambil buku paket di perpustakaan.

"Kita disuruh ambil buku lagi, ya. Perpustakaannya jauh, tapi nggak apa-apa, sekalian olahraga," ujar Antariksa sambil berjalan santai di samping Aurora.

Mereka mulai menghitung dan mengumpulkan buku dari rak ke rak. Suasana hening beberapa saat, hingga Aurora memecah keheningan.

"By the way, gue belum tanya... tinggi lo berapa sih, Moon?" tanya Aurora sambil menatap Antariksa dari samping, mencoba terdengar casual.

Antariksa terkekeh. "175 cm, otw 185," jawabnya dengan nada bangga.

Aurora tersenyum jahil. "Millimeter maksudnya? Pantes pendek." godanya sambil memalingkan wajah, menahan tawa.

Antariksa berhenti sejenak, menggeleng sambil tersenyum. "Sini, gue cekek beneran lo!" ucapnya, pura-pura ingin mengejar Aurora.

"Aaaa! Kabur!" teriak Aurora sambil setengah tertawa, setengah berlari menghindar.

Antariksa hanya tertawa kecil melihat Aurora yang mencoba menghindarinya. "Bocil banget!" katanya sambil terus menggodanya.

Aurora menghela napas pelan, berusaha menutupi perasaannya yang semakin menguat. Setiap ejekan, tawa, dan momen bersama Antariksa membuat hatinya terasa hangat, dan tanpa disadari, rasa itu mulai tumbuh.

"Semakin aku mengenalmu, semakin besar keinginanku untuk selalu berada di sampingmu dan menjagamu. Namun, haruskah rasa ini kupendam selamanya?"




Part ini bikin kalian senyum-senyum sendiri, kan? Jangan sampai berhenti di sini! Masih ada kejutan seruuu. Yuk! lanjut baca.

Euphoria : Fly to the moonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang