We Can Learn to Love Again

673 70 6
                                    


--ooOoo--

Malam itu, sepulang dari kantor, Lyra menerima pesan dari Mees yang mengajaknya makan malam bersama. Katanya, ini akan jadi momen terakhir mereka sebelum dia harus kembali ke Belanda. Meski lelah, Lyra tak ingin melewatkan kesempatan itu dan langsung bersiap. Mereka pun bertemu di sebuah restoran yang nyaman, dengan suasana hangat yang membuat perpisahan terasa sedikit lebih ringan.

Setelah menyelesaikan hidangan utama, Lyra dan Mees beranjak ke balkon restoran, di mana suasana malam Jakarta terasa lebih intim. Lampu-lampu kota berkelap-kelip di kejauhan, menciptakan nuansa romantis yang sempurna.

Mees mengambil napas dalam-dalam, seolah ingin mengungkapkan sesuatu yang penting.

"Lyra, I-" Mees memulai, terlihat sedikit ragu. "I know we broke up and went our separate ways, but I feel- I still want to be with you,"
(Aku tahu kita pernah putus dan memilih jalan masing-masing, tapi aku merasa-aku masih ingin bersamamu)

Lyra menatap Mees, merasakan detak jantungnya berdegup lebih cepat. "What you mean?" tanyanya, ingin memastikan.

"I want us to get back together. I want us to be serious this time. It feels strange without you by my side," ungkap Mees, dengan tatapan penuh harap.

Lyra terdiam sejenak, mencerna setiap kata yang keluar dari bibir Mees. Dia merasa campur aduk, antara bahagia dan bingung. "Mees, you know we should talk about this more seriously,"

"I know," jawab Mees, dan tanpa berpikir panjang, dia meraih tangan Lyra, menahan tatapannya yang penuh makna. "We can start again, slowly. There's no rush," (Kita bisa mulai lagi, pelan-pelan. Nggak ada yang terburu-buru)

Lyra menggigit bibir, campuran rasa haru dan cemas. "But we have to be realistic. We have careers and distance to deal with. So, are you really serious? Do you want this?" tanya Lyra, sedikit ragu namun penuh harapan.

"Absolutely. I want us to fight together. If we both want to, why not?" (Banget. Aku mau kita berjuang bareng. Kalo kita sama-sama mau, kenapa nggak?) jawab Mees dengan tulus.

Lyra mengangguk pelan, merasa hatinya terbuka kembali untuk Mees.

Mees dan Lyra duduk berdua di balkon restoran, suasana malam yang tenang mengelilingi mereka. Dengan cahaya lampu yang lembut, mereka berdua saling menatap. Setelah beberapa saat hening, Lyra akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, "So what are we now?"

Mees menghela napas, senyumnya penuh keyakinan. "You're mine and I'm yours, Lily."

Nama "Lily" menggema dalam pikiran Lyra, membuatnya teringat pada saat-saat manis ketika Mees memanggilnya dengan nama itu. Sudah lama sekali sejak terakhir kali dia mendengar panggilan tersebut, dan mendengarnya lagi membuat hatinya bergetar. Nama itu hanya digunakan Mees untuknya, sebuah panggilan yang penuh makna dan kenangan indah.

"Lily... it's been a while, you don't call me that." (Lily... sudah lama ya, kamu nggak manggil aku gitu) ujarnya, suara lembutnya mencerminkan kerinduan yang dalam.

"Yeah, I miss calling you Lily. The name just suits you, and it always reminds me of us,"jawab Mees dengan tatapan lembut.

Lyra merasakan hangat di dadanya. Namun, ketakutan yang sudah mengendap sejak lama kembali menghampiri pikirannya. "But, are we really ready for this? I'm afraid we'll fail again,"

Mees menatapnya serius. "We have a second chance. I believe we can do better. We can support each other, we're not alone this time,"

Mendengar itu, hati Lyra bergetar. Dia ingin percaya, ingin merasakan harapan itu. "But we broke up once-"

Between Us | Mees Hilgers Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang