Kekuatan magis di dunia ini sudah sangat langka, natural bagi mereka yang masih memilikinya untuk dapat pengakuan dan status sosial tinggi. Belum lagi, kekuatan semacam ini bukanlah sesuatu yang bisa dengan gampangnya dipelajari dari buku, melainkan hanya diturunkan dalam garis keturunan keluarga. Beberapa mampu mengendalikan gerak benda, atau memunculkan elemen seperti api atau air, tetapi kekuatan paling mengerikan—dan seharusnya tidak boleh lagi digunakan—tentu adalah manipulasi pikiran yang dimiliki oleh Keluarga Astassier.
Dulu sekali, beratus-ratus tahun lalu dan melewati mungkin dua atau tiga generasi, para bangsawan dari noble house ini naik ke tampuk kekuasaan dengan cerdik dan diam-diam. Tak dimungkiri, medium darah yang kasat mata dan rawan ketahuan itu sangat tidak praktis, sehingga mereka harus ekstra berhati-hati. Untuk waktu yang lama, kemampuan magis keluarga ini disembunyikan di balik bayang demi mencari supremasi tanpa gangguan dan intervensi. Sebab bila khalayak sudah tahu tentang pakta darah yang mereka buat, salah-salah tidak akan ada yang bersedia meminum atau menyantap sesuatu dari tangan seorang Astassier—cara paling ampuh menyusupkan darah mereka tanpa dicurigai.
Kiranya baru lima ratus tahun ini saja, keluarga yang telah ‘mencanai’ taring noble house lain ini terang-terangan membongkar rahasia kekuatannya. Dengan otoritas absolut dan kuasa magis sebagai deterens—pengingat tentang betapa buruknya segala hal akan berakhir jika berani menentang mereka—keluarga Astassier tidak akan melihat kemunduran mereka dalam waktu dekat.
“Kami kekurangan orang di dapur, apa kau bisa mengisinya? Pelayan baru yang datang bersamamu tidak ada pengalaman selain berkebun, jadi dia akan mengurus halaman manor.” Eden tiba di dapur utama setelah menyusuri lorong-lorong panjang manor yang terasa seperti labirin. Vampir muda itu mengangguk mafhum dengan kedua tangan saling tangkup di depan badan. Jelas sekali kalau ia masih berusaha terbiasa ada di kediaman sebesar ini dan dengan banyak pelayan sepertinya. “Kemari, duduklah dulu, kita tidak perlu masak sebelum pukul sepuluh.” Ujar gadis yang memperkenalkan nama sebagai Giulia; ia baru lima tahun bekerja jadi pelayan dapur, dan kepala juru masak memintanya mendampingi Eden.
“Kau tahu kita bisa bersantai di sini, ’kan? Jangan terlalu tegang begitu, aku tahu hari pertama memang agak menakutkan, tapi kau akan bertahan.” Cengir Giulia, tangannya mengambil dua buah apel dari mangkuk kayu, lalu satu diangsurkannya ke Eden. Namun, si pelayan baru malah hanya diam memandangi buah itu, “Ayolah, ini buah memang untuk kita ... yang kita sajikan untuk Tuan Aurelius tidak mungkin sekecil ini.” Eden menatap apel dan juga wajah Giulia bergantian, ia kerutkan alis bingung; kecil? tanya membatin. “Tapi di pasar juga segini, memangnya ada yang lebih besar?”
Giulia tertawa, “Tentu saja ada! Buah yang dijual di pasar dengan ditanam di perkebunan Astassier sangat beda jauh! Benihnya saja didapat Tuan dari negeri seberang lautan.” Mata Eden membola sempurna. Ia sangat ingin bepergian untuk melihat kehidupan di negeri-negeri tetangga, tetapi sayang keadaan sulit keluarganya mencegah mimpi itu terwujud. “Apa Tuan sering melakukan perjalanan jauh?” Intonasi sang mesa yang jadi lebih antusias disadari oleh Giulia; gadis itu ulas satu senyuman. “Tentu saja, beliau kepala keluarga Astassier, banyak undangan terhormat tertuju pada Tuan.” Sekali lagi, Eden hanya mengangguk paham karena ia masih butuh banyak belajar tentang tuannya dan aturan di bawah rumah ini. Tangan Eden mengambil buah apel dari Giulia, berbagi senyum sejenak sembari menggigit daging buah manis itu.
“Sebelum kemari, kau pernah bekerja di mana?”
“Aku pernah membantu beberapa kios di pasar, makanya aku tahu buah apel di sana seperti apa ... lalu aku juga kadang dimintai tolong menjaga bayi dan anak kecil—adikku tujuh, jadi aku cukup ahli merawat mereka.” Ada reaksi tercengang bercampur kagum di wajah Giulia, tapi Eden sudah biasa melihatnya setiap kali bercerita soal silsilah keluarganya yang ramai itu. “Wow, aku tidak begitu senang dekat bayi, mereka suka menggigit, padahal taring mereka sudah tajam.” Kekehan Eden mengalun pelan, kalau ia diberi pilihan pun mana mau merawat bayi vampir yang rewel saat tumbuh gigi. “Untungnya, di manor ini tidak ada bayi sejak terakhir masa kecil Tuan Aurelius sendiri ... setidaknya kita terhindar dari kerepotan yang satu itu.” Keduanya tertawa lepas; Eden senang ia bisa lekas akrab dengan orang-orang di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNLINKED | ft. Noren
FanfictionEden datang ke rumah itu untuk melayani pria paling absolut di negeri ini, sang kepala keluarga bangsawan Astassier, Aurelius.