05; Bloody Hands

688 138 71
                                    

Tidak salah lagi, ini adalah hari paling buruk yang pernah Eden alami dalam seratus tahun lebih hidupnya. Ditatap penuh curiga oleh orang saja sudah tak nyaman, apalagi kali ini tuannya yang demikian. Tuan Aurelius bahkan sudah berpindah jadi duduk, kedua iris jelaga di wajah kakunya menatap nyalang, “Kutanya, apa yang mau kau lakukan! Berani menyentuh tuanmu yang sedang tidur seperti itu!” Segak beliau keras sampai pelayan barunya itu mau menangis. Eden tidak tahu, dia hanya ingin membantu, terlebih beliau juga tampak kelelahan.

Sang mesa merendahkan diri yang masih duduk di atas lantai untuk bersujud di kaki tuannya—bahkan jika diminta mencium ujung sepatunya sekarang juga pun akan ia lakukan. Apa pun asal bukan sebuah sanksi yang ia dapatkan. “Ampuni hamba, Tuan, hamba sungguh tidak berniat mencelakai Tuan!” Eden ketakutan, ia berkali-kali menelan ludah saking tak bisa memikirkan hal lain selain Tuan Besar akan menggunakan kekuatan padanya kali ini. “Lancang! Pelayan pribadi sekalipun tetap harus dapat izin dari tuannya sebelum bertindak!” Kelopak mata sang mesa terpejam begitu erat dalam tunduknya; masih dalam posisi telungkup di lantai ubin, Eden hanya bisa menggeleng. Kata ampun sekalipun sudah nyaris tak terdengar saking lirihnya ia bersuara.

“Anggap dirimu beruntung, satu kali ini aku akan membiarkan kelakuan lancangmu.” Ucapan Aurelius sontak membuat Eden menjelangak, rautnya penuh kelegaan, tapi hanya sebentar sampai ia sadar sudah kurang ajar tersenyum sambil menatap mata tuannya. Kelakuannya pun sempat buat sang tuan terkejut, tak berharap akan dapat serangan mendadak dari netra yang berbinar-binar dan sebuah taring mungil yang mengintip dari senyum.

“T--terima kasih atas kemurahan hati Tuan, hamba mengerti untuk tidak akan menyentuh Tuan lagi.” Tutur Eden tergesa, suaranya lebih ringan, tapi dijaga tetap tenang walau dalam hatinya, ia bersorak-sorai. Ternyata ia yang seumur hidup cuma berkutat di desa ini masih harus banyak belajar; tidak selamanya orang yang terlihat galak itu selalu jahat, buktinya ada Madam Edith dan tuannya, mungkin. “Sekali lagi terima kasih, hamba akan selalu mengingat apa kata Tuan,” ujar sang mesa, lalu ia mendengar sang tuan loloskan sebuah deham dan pria itu menyuruhnya berhenti sujud. Luar biasanya lagi, Eden diminta berhadap dengan beliau—semoga mukanya tak terlihat canggung atau memalukan—ia tidak tahu harus apa, takut kalau salah dan tak sopan, tatapannya juga terarah ke atas kepala Aurelius.

“Apa kau tidak bisa membedakan yang mana mata tuanmu sendiri? Kemari dan tatap dengan benar.” Eden beri angguk seraya tersenyum kikuk, lantas berbarengan netranya bertemu milik sang tuan, telapak kiri Aurelius kembali terulur ke depan. “Setidaknya selesaikan pekerjaanmu dulu,” tutur pria itu, merujuk pada kain perban yang kini jadi longgar lagi karena terburu ditarik sebelum usai diikat. Kala mengatakannya, wajah sang tuan begitu datar, tapi Eden bersumpah ia melihat ujung telinga beliau memerah. “Baik, Tuan, hamba mohon izin.” Aurelius tidak lebih dari mengangguk kilas, lalu fokus Eden sepenuhnya kepada kain perban di tangan sang tuan. Anak itu kembali meringis lihat rembesan likuid merah sudah mengotori kain baru tersebut.

“Tuan, di mana hamba bisa temukan kain perban lain? Yang ini sudah menyerap darah.” Anak itu angkat wajah berhadapan tanpa canggung, agaknya sudah lupa rasa takutnya tadi. Eden menunggui jawab dari Aurelius yang malah betah amati kain pembebat luka di tangannya; dia tak menunjukkan banyak ekspresi, tapi ada satu yang paling jelas, gusar. “Kau dapatkan ini dari menggeledah isi laciku, bukan? Ini yang terakhir?” Pipi tirus Eden bersemarak rona senja, sebab ia malu ketahuan asal membuka isi laci meja kerja sang tuan. Anak itu menunduk saat beri jawab, “Hanya ini sisa yang hamba temukan.” Lalu helaan napas sang wrisaba terdengar panjang.

“Kurasa aku menyimpan beberapa di kamarku, kita akan mengambilnya.”

Eden melongo mendengarnya, “Tuan tidak mengutus seseorang saja untuk melakukannya?” Aurelius menoleh dengan sebelah alis terangkat heran, ia berujar penuh nada pongah nan menjengkelkan, “Terserah aku, ’kan?” Membungkam Eden dari sanggahan jenis apa pun lagi. Pria itu langsung berdiri tanpa bilang-bilang, dan sang mesa jadi tergesa mengikuti tepat di sebelahnya. Tangan kiri Aurelius tak dilepas Eden, mereka juga belum beranjak satu langkah pun karena si pelayan berujar, “Sebentar, Tuan, luka Anda masih terbuka, tidak baik bila dibawa berjalan dan terkena debu serta udara bebas.” Empunya luka melirik ke bawah, lalu dengan enteng bahunya berkedik.

UNLINKED | ft. NorenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang