06; Made it Out

1.2K 254 93
                                    

Pintu utama bangunan manor milik bangsawan Astassier terbuka lebar dengan kasar. Pelayan mendorong kayu kokoh tersebut hingga mereka nyaris tersungkur ke depan saking gentingnya keadaan. Bahkan siapa yang hendak masuk melewatinya belum tampak batang hidung, tetapi mereka kalang kabut sebab seorang utusan tergesa tiba dengan aswa tunggangan dipacu sekencang angin membawa warta bak sambaran petir. “Tuan Astassier terluka! Gideon Angerelli telah mengangkat senjatanya pada Tuan Astassier!” Utusan itu melompat turun dari kuda gagahnya, ia berlari mendapatkan sosok pelayan kepala yang sudah berjaga-jaga di depan.

“Bagaimana keadaan Tuan? Kami sudah memanggil dokter kemari, mereka akan segera tiba!” Raut wajah sang madam dihuni kecemasan yang tidak mampu disembunyikan. Beliau sudah sama ngos-ngosan seperti si utusan setelah tadi berlari tergesa ke pintu depan. “Buruk, Nyonya. Beliau kehilangan banyak darah. Saat ini Nyonya Échellon mendampingi beliau di kereta kuda.” Mendengar jawaban pria utusan yang dikirim oleh dewan negeri—pembawa pesan tercepat yang mereka punya—kedua tangan Edith lekas temukan jalan menutupi mulutnya. Wanita itu mundur satu langkah ketika keseimbangannya diuji hempasan kabar tersebut.

“Oh tidak.” Birai sang madam menutur pelan, matanya segera berlari ke arah pintu gerbang utama dengan iris bergetar hebat. “Tuan,” ia bereaksi parah seakan ini adalah akhir dunia, tetapi tidak ada yang mencela, sebab musibah hari ini di luar perkiraan semua orang. “Gideon Angerelli sudah ditahan oleh Tuan Castellard dan Tuan Machemont. Sanksi yang berat akan dijatuhkan atas peristiwa ini, Anda bisa percaya pada dewan negeri.” Madam Edith menoleh tersinggung; air mukanya tak percaya dan marah. “Kenapa tidak kalian tahan dia sebelum melukai Tuan kami?! Keteledoran kalian tidak bisa dimaafkan!” Beliau menutur bengis, lalu berlari menuruni anak tangga saat kereta kuda milik Échellon memasuki pekarangan.

Para aswa menarik kereta dengan berkali-kali terima cambukan; cara yang sangat tega, tetapi harus agar mereka tidak melambat. Tapal-tapal kuda beradu ribut menjejak tanah, bunyinya ibarat serbuan deras hujan menimpa atap. Kala sampai di kaki tangga, temali yang kendalikan para binatang berkaki empat itu ditarik nyaris seketika oleh kusirnya, buat mereka berjingkrak dipaksa henti mendadak. “Beri ruang!” Seru sang kusir, tidak mau ada kejadian yang tak diinginkan bila kuda-kuda dalam kendalinya berubah agresif akibat dikerumuni orang panik.

Madam Edith tak tunggu waktu, beliau lekas menarik pintu kereta kuda yang membawa sang tuan; hanya untuk dibuat nyaris menjerit lihat keadaan di dalamnya. Nyonya Lorraine Échellon, darah membasahi bagian depan gaun birunya, berusaha tekan luka pria yang terbaring di kursi seberang kereta kuda bermodal kain selampai. Gagang sebilah belati yang jadi senjata pelaku masih tertancap di tempatnya, tak berusaha digeser sedikit pun karena takut genangan darah akan mengalir lebih banyak. Erangan kesakitan tuannya begitu nyaring dan sanggup undang bulu kuduk Edith meremang, wajahnya pucat kesi sepanjang ia hanya bisa berdiri terdiam.

“Apa yang kalian lakukan?! Cepat bawa Tuanmu ke dalam! Di mana dokternya?!” Bentak Lorraine, tarik sadar para pelayan rumah Astassier dari kepanikan yang mengejutkan mereka. Dalam dua detik, orang sudah siap berkumpul untuk bawa tuan mereka ke dalam. Namun, saat mereka coba ambil alih angkat tubuh tuannya, beliau berteriak amat keras dengan tangan berpegangan erat ke tirai jendela kereta kuda. “Tidak ... tidak ...” Napas beliau naik-turun tak beraturan, dari ujung kepala hingga kaki, tubuhnya tegang dan gemetar. Aurelius merasakan sakit yang luar biasa menghantam lukanya hingga ia ingin sebentar saja tahan napas agar luka yang berdenyut nyeri tidak akan begitu menyakitkan. Tangan dan kaki sudah mulai terasa dingin, demikian pula visinya kabur berkali-kali. Ia tahu darahnya tercurah begitu banyak.

“Kita tidak bisa membiarkan Tuan di sini! Bagaimana cara agar beliau tak bertambah kesakitan?!” Para pelayan itu ribut di antara mereka sendiri, tak menghitung Lorraine Échellon yang justru memperburuk keadaan dengan berteriak memarahi kinerja lamban mereka. Aurelius mengumpat dalam hati, bahkan di detik-detik akhir hidup tuannya pun mereka masih tidak bisa diandalkan. Pria itu memaksakan diri untuk duduk, tetapi rasa sakit luar biasa tidak memungkinkannya menggerakkan otot sedikit pun.

UNLINKED | ft. NorenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang