Pagi hari Eden diawali dengan manis. Berkas sinar mentari menyusup lewat celah gorden satin penutup jendela, cuaca luaran sana pun masih sejuk. Embun belum penuh menguap dari dedaunan, dan halimun baru akan bergerak naik, namun tubuh polosnya tetap hangat terbalut selimut bulu nan halus.
Untuk membuka mata pun rasanya enggan, istirahatnya begitu nyaman, hanya saja seseorang di sandingnya punya pendapat berbeda. Kurva naik di sudut bibir Eden terlukis manakala merasai friksi sentuhan ujung jemari tangan tengah meraba kulitnya. Dari menyusuri lengan ke siku, berangsur lewati lekuk pinggang ia yang tengah dalam posisi merebah ke samping. Sentuhan lalu disusul runutan kecup yang didaratkan ke tiap jengkal kulit telanjangnya. “Tuanku,” kekeh Eden pelan, menggulirkan netra berliannya untuk tatap wajah sang kekasih, tapi ia lebih dulu didesak puluh cumbuan yang mendarat di leher serta pipinya hingga kewalahan tahan si pelaku.
Cup!
“Selamat pagi, cantik.”
Cup!
“Tidurmu nyenyak malam tadi?”
Cup!
“Ini hari besar, aku tidak sabar untuk segera mengajakmu.”
Cup!
Gelak tawa sang mesa tidak tertahan karena merasa geli. Sedikit sulit bagi tubuhnya bergerak dengan sesosok figur lebih besar memerangkapnya dalam peluk, tetapi akhirnya Eden berhasil menyamankan punggung beralas tilam dan merangkum pipi sang kekasih. Kain seprei berbahan sutra terasa lembut menyentuh kulit telanjangnya. “Haha, Tuanku, Anda bersemangat sekali tampaknya hari ini, heum?” Ibu jari tangan Eden beri elusan pada rahang pria yang berada di atas dadanya—Tuan Besar ekstra manja pagi ini, berusaha mendapat perhatian kekasihnya terus.
Seks pertama Eden dengan Aurelius di perpustakaan hari itu hanyalah permulaan dari sesi-sesi panas nan menggairahkan lain yang lepas itu menjelma bak rutinitas harian. Tak terelakkan lagi, terlebih dia dan sang tuan semakin banyak menghabiskan waktu berdua untuk persiapan ujian masuk ke sekolah kedokteran; Tuan Besar Astassier, yang notabenenya alumni kehormatan dari universitas tujuan, mendapuk diri sebagai tutor belajar untuk Eden—dan untuk hal lain yang tidak perlu dibahas.
Eden sudah menerima statusnya kini; menjadi tali jantung sang bangsawan terhormat, dan dengan demikian dia bukan lagi seorang pelayan. Bilakah ia masih merindukan bercengkrama bersama teman-teman pelayannya, tentu itu tak akan berubah, tapi Eden mengerti untuk tidak memaksa Giulia serta Cale dan Alfred perlakukan dia seperti dulu. Orang yang kini leluasa menjadi teman mengobrolnya hanya Aurelius; tak peduli jika pekerjaannya sedang banyak, sang kekasih selalu menyediakan waktu untuk Eden. Dia benar-benar tahu kalau sang mesa yang berasal dari desa jauh dan kecil tak punya banyak teman di manor ini.
“Kita akan ke universitasmu, tentu aku semangat.” Balas Aurelius, lalu mengangkat diri dari pelukan sang submisif untuk duduk. Ia lebih dulu melakukan perenggangan sebelum menurunkan kaki ke lantai dan beri tolehan ke seseorang yang temani tidurnya semalam. “Bagaimana nyonyaku ingin sarapannya disiapkan hari ini, hm? Biar kubilang pada Edith supaya memastikannya dengan orang dapur.”
Eden menarik tubuhnya bersandar pada bantal empuk di kepala ranjang, terlihat berpikir, lalu menjawab, “Roti gandum dengan alpukat dan minyak zaitun.” Cengiran manisnya terbit, si rubah cilik bahkan sudah tahu cara meminta sesuatu di bawah atap manor yang dia tahu dipimpin oleh calon suaminya. Namun, tentu saja, permintaannya tidak pernah terlalu aneh atau memberatkan untuk para pelayan yang akan menurutinya. Ia juga pernah di posisi mereka meski cuma sebentar. “Tidakkah itu sedikit sederhana? Kau serius tidak ingin mereka menyiapkan makanan khas daerah lain atau apalah?” Eden tak merespon banyak selain gelengan.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNLINKED | ft. Noren
أدب الهواةEden datang ke rumah itu untuk melayani pria paling absolut di negeri ini, sang kepala keluarga bangsawan Astassier, Aurelius.