Tidak ada yang berubah dari suasana sibuknya kota di balik jendela kamar penginapan mereka berdua. Ramai orang berlalu-lalang, bercengkrama, serta derap langkah tapal kuda yang memenuhi jalan—semua itu tetaplah sama, tenang dan normal. Namun, di dalam kamar ini, entah bagaimana Eden mau menjelaskannya, atmosfer terasa berat, tapi tidak sebegitu berat sampai membuatnya ketakutan atau tertekan.
“Sayang,” berlutut di hadapan kakinya ada sang tuan; raut muka tak terlihat senang, tapi bukan pula wujud dari kemarahan, meski Eden yakin, sang wrisaba sejatinya ingin bisa leluasa melampiaskan emosinya.
Segera setelah kerumunan orang di kebun binatang mulai penasaran dan tertarik melihat kesaktian sang mesa lebih dekat, Aurelius tergesa suruh para pelayan dan penjaganya untuk menghalau mereka, sementara dia sendiri memboyong Eden kembali ke penginapan. Dalam perjalanan, tidak banyak yang dibicarakan sepasang sejoli ini, kecuali saat sang dominan tanya apakah si aries baik-baik saja memakai kekuatan sebanyak itu.
Kini iris segelap malam menatap ke atas, tepat pada wajah sang mesa, dengan sorot permohonan. Eden duduk gelisah di kursi, membiarkan kedua tangan mungilnya digenggam. “Apa yang kau pikirkan? Kenapa tadi kau lakukan itu, hm?” Ibu jari kasar sang dominan mengelus kulit tangan yang ia rangkum, “Harusnya biarkan saja ular itu mati, aku tidak masalah bila dimintai ganti rugi, toh binatang itu benar hampir menggigitmu.” Tutur kata Aurelius amat dijaga, tak sedikit pun Eden menangkap intonasi bicara yang kasar ataupun insinuasi untuk memojokkannya.
Namun demikian, ia tidak bodoh untuk mengerti bahwa perbuatannya sudah menciptakan konsekuensi serius. “Maafkan hamba, Tuanku, tapi bila tidak begitu, pawang ular tadi akan kehilangan pekerjaannya. Hamba tidak mau itu terjadi.” Eden mencicit sangat lirih, tundukan muka juga kian dalam. Ia sejujurnya tidak banyak berpikir saat gunakan ilmu magisnya tadi, semua sangatlah tiba-tiba, dan insting pertamanya adalah untuk membantu. Lebih lagi dia sangat mengerti sulitnya mencari pekerjaan di saat-saat sekarang.
Mendengar jawab tersebut, Aurelius tahan helaan napas yang mungkin akan lolos teriring geram. Dua tangan Eden ditangkup, lantas diciumnya. “Baiklah, tidak apa-apa. Hatimu baik, aku tahu.” Pria itu maju menyentuh perut kekasihnya dengan lembut dan sarat pengertian. Garis senyumnya jujur hingga kerutan tercipta di sudut mata, “Kelak anakku akan beruntung dididik oleh seorang ibu yang hebat.”
Manik jelah si rubah cilik melebar kilas tatkala ia spontan menghadap muka sang wrisaba. Ada banyak pertanyaan yang sepertinya amat mudah untuk diterka hanya dari melihat wajahnya saja.
“Kenapa? Bukankah katamu tidak ingin anak kita terlalu bergantung pada pengasuh?” Sudut bibir sang wira naik puas menyaksikan kekasih hatinya kebingungan serta merona. “Kau benar. Dia milik kita berdua ... milik ibu dan ayahnya, bukan milik pengasuh, ibu susu, atau siapa pun itu selain kita.” Eden merasa gejolak di dadanya membuncah begitu kuat; penuh hangat dan kegembiraan mendengar Aurelius bersedia untuk mengalah pada keinginannya. Tawa kecil mengudara bersama ia sentuh punggung tangan si dominan yang sejak memulai kalimat, sudah berada di pipinya.
“Tuanku, terima kasih. Hamba tidak bisa meminta apa pun lagi, ini sangat berarti.” Aurelius tersenyum lebar, bangkit dari lututnya, dan merunduk sampai bisa mencium kening Eden. Ia sudah banyak sekali menuruti apa kata sang kekasih; beberapa bahkan tanpa dipikir ulang—agak berisiko, tapi untuk sekarang ia tidak peduli.
“Kalau begitu, aku akan berusaha memberikan semua hal untukmu tanpa perlu kau meminta.” Eden tidak melunturkan senyumnya menatap si dominan; ia hanya bisa fokus pada satu hal, dan itu adalah rasa syukur dicintai begitu banyak oleh Aurelius.
“Ayo, istirahatlah dulu, kau butuh tenaga untuk kita pulang besok.” Lengan Tuan Besar membimbing langkah pelayan terkasihnya menuju ranjang, lalu membantunya untuk berbaring. Ia sebetulnya ingin juga menemani, tetapi karena keributan di luar tadi, ada beberapa hal harus lekas ia urusi. “Tuanku, apa Anda marah karena hamba membantu pawang ular tadi?” Pertanyaan Eden menghentikan Aurelius yang sudah hendak mundur berpamitan. Ia rasa pertanyaan ini jawabannya sangatlah jelas, dan Eden tahu, tapi anak itu tak tenang karena sedari tadi si dominan tidak mengatakan apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNLINKED | ft. Noren
FanfictionEden datang ke rumah itu untuk melayani pria paling absolut di negeri ini, sang kepala keluarga bangsawan Astassier, Aurelius.