Author's
Alarm yang berdering mengharuskan Hani mau tak mau terbangun dari mimpinya.
Mimpi?
Kejadian buruk dimana Adrian memberikan Undangan itu hanya mimpi? Hani kembali tersadar kalau kejadian buruk itu bukanlah mimpi. Undangan pertunangan Adrian masih tergenggam erat. Hani kembali menatap lirih undangan tersebut. Hani mengacak rambutnya frustasi. Adrian benar-benar pergi. Meninggalkan Hani dengan keadaan hancur seperti ini.
Hani menyeka air matanya. Melangkahkan kakinya ke cermin. Keadaannya semakin memburuk. Mata indahnya selalu tertutup dengan air mata. Mata bengkak yang membuatnya terlihat sungguh menyedihkan.
Hani mengambil kalender, membulatkan tanggal ulang tahunnya sambil tersenyum miris.
"Tiga hari lagi ulang tahun gue.
Dan keadaan gue malah makin buruk kayak gini."Hani tersenyum masam. Lalu mengambil telephonenya mengirimkan pesan singkat ke Diba.
'Gue tunggu di tempat biasa. Gue butuh Hiburan.'
-OoO-
Hani's
Gue mengaduk-aduk minuman menggunakan sedotan. Hanya menyesap minuman yang rasanya manis saja tidak seperti dicekoki obat pait yang membuat gue ingin memuntahkan semua isi di dalam perut.
Gue melirik kearah Diba yang sedang lahap memakan steaknya. Gue kembali melirik steak yang tadi gue pesan. Rasa mual kembali menyeruak ingin keluar. Gue mengeluarkan minyak angin yang gue oles disekitar hidung dan di samping kanan dan kiri kening. Sepertinya menangis uring-uringan tanpa henti kemarin membuat efek buruk untuk kondisi tubuh gue.
"Lo sakit?"
Gue mengangguk lemas. Diba menghentikan makannya, menatap cemas gue.
"Lo kalo sakit, ngapain ngajak ke mall. Ke dokter yuk."
Diba mencoba mengajak gue ke klinik. Gue menggeleng. Tangan gue meremas dada gue yang kembali sesak disaat bayang Adrian melintas dipikiran gue. Sedikit demi sedikit air mata gue kembali turun.
Sesak.
Sangat sesak.
Hani harus kuat, gaboleh nangis. Hani bukan cewek cengeng. Hani strong.
Gue mengusap air mata gue. Diba mulai khawatir sama keadaan gue.
"Lo kenapa sih Ni? Apa yang Adrian lakuin lagi ke lo sampe-sampe dia buat kondisi tubuh lo jadi gak fit kaya gini?"
Gue memberhentikan tangisan gue. Namun tetap saja nafas gue naik turun sesengukan. Gue menggeleng, enggan menceritakan gimana rapuhnya gue, iya. Gue rapuh disaat harus kembali mengingat waktu Adrian memberikan undangan itu.
"Kenapa, lo gamau cerita ke gue?"
Gue hanya mengangguk membalas pertanyaan yang diajukan Diba.
"Yaudah, cepet dimakan makanan lo. Habis itu kita ke klinik."
Gue mengambil pisau dan garpu. Mulai mencoba memasukan steak ke dalam mulut. Mau gamau gue harus makan. Gue harus jaga kondisi badan gue. Gue gamau down cuma gara-gara pusing memikirkan Pria yang sama sekali tidak memikirkan Gue.
"Ada saatnya, lo pasti tau."
Diba kembali menatap gue. Dan tersenyum miris melihat kondisi gue sekarang.
"Ehm Ada saatnya? Ok gamasalah. Kalo gue harus nunggu. Sebenernya sih gue kepo banget."
Gue terkekeh begitupun Diba. Diba mengacak pelan rambut gue. Gue berdecak.
"Nah, gitu dong ketawa. Kan gue jadi seneng. Jadi enak ngobrolnya. Gakaya tadi. Gue berasa ngobrol sama tembok."
Gue mendengus. Barusan bikin gue ketawa nah sekarang bikin gue kesel. Awas aja kalo sampe nanti dia bikin gue nangis.
"Udah yuk, balik."
Gue berdiri dengan diikuti Diba. Kami berjalan bersama sampai dimana gue ngeliat Adrian lagi di toko perhiasan. Sebagai Adik sekaligus sahabatnya gue mencoba menyapa Adrian. Gue mencoba seakan-akan gue ga kenapa-napa didepannya.
Tapi.. Ternyata sulit. Raut wajah gue tertampang nyata wajah kesedihan yang sangat mendalam. Adrian tersenyum membalas sapaan gue barusan.
"Eh..Hani, Diba kalian disini juga?"
Gue mencoba mengatur getaran jantung gue yang kini semakin bergetar disaat gue menatap wajah tampan Adrian. Kenapa gue jadi kaku gini kalo ketemu Adrian? Gue mengehela napas panjang gue.
"Iya tadi habis makan. Ohiya lo ngapain disini?"
Adrian menatap gue dengan tatapan bertanya yang gue tau apa pertanyaannya. Gue bukan cenayang. Gue udah hapal banget sama gerak-gerik dan tingkah laku Adrian. Gue hanya membalas senyuman dan sering kali memejamkan mata gue yang memanas.
"Ini nih, nyiapin cincin buat acara tunangan gue nanti."
Gue tersenyum hambar. Diba? Jangan ditanya, dia Shock. Untung aja dia gak kena serangan jantung tiba-tiba disaat Adrian mengatakan soal acara pertunangannya.
"Tunangan? Tunangan sama siapa lo?"
Diba mulai melayangkan pertanyaan ke Adrian. Adrian sedikit terkekeh melihat raut wajah Diba yang benar-benar terkejut.
"Ohiya, gue belum sempet ngasih undangannya ke lo."
Diba mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Diba menggeleng tidak percaya. Diba aja gapercaya apalagi gue. Orang pertama yang Adrian kasih undangan. Gimana gak nyesek. Gimana gak uring-uringan gue.
"OH BERARTI LO YANG BUAT HANI, NANGIS URING-URINGAN SAMPE-SAMPE DIA SAKIT KAYAK GINI!!"
Gue melotot disaat Diba mulai memarahi Adrian. Adrian menatap gue cemas.
"Lo sakit Ni?"
Belum sempat gue jawab. Diba kembali nyerocos menanggapi pertanyaan Adrian.
"Apa pedulinya lo sama Hani?!"
Adrian menatap Diab geram. Diba terdiam disaat mendapat tatapan sinis dari Adrian. Adrian kembali menatap gue cemas.
"Jawab, Ni. Lo sakit? Karena gue?"
Adrian memegang kedua pundak gue. Gue memejamkan mata gue yang kembali memanas. Gue mulai merasa buliran air mata gue akan meluncur. Gue menggeleng mencoba menahan air mata gue lalu tersenyum manis yang keliatan miris ke Adrian.
"Gue gapapa kok, gue pergi dulu."
Gue menarik tangan Diba keluar dari mall. Disaat gue memejamkan mata gue, buliran air mata kembali turun membasahi pipi gue. Diba menarik gue dalam pelukannya. Sambil mengusap pundak gue, mencoba menenangkan gue.
"Yang sabar ya Ni. Gue selalu support lu, kok"
Gue hanya mengangguk dalam dekapan Hani. Entahlah sikap Adrian nanti jika bertemu gue. Gue yakin dia bakal ngejauhin gue. Seperti janjinya dulu.
Sekarang, tangisanlah yang mampu berbicara disaat aku lelah untuk mengungkapkan bagaimana perihnya hatiku disaat orang yang aku sayang pergi meninggalkanku.
-Hani.-OoO-
Jangan lupa Vote & commentnya!!!

KAMU SEDANG MEMBACA
You, My Mind!
Teen Fiction[Versi re-publish] Dimana sebuah janji yang selalu mengikuti kemana Hani melangkah. Dimana sosok itu pergi dan datang sesukanya. Dimana perasaan jatuh dan terbang sudah biasa. Dimana adanya rasa kekecewaan yang mendalam. Dan... Apakah semua itu aka...