Bab 5 Pewaris Tahta

10 3 5
                                    

Di bawah awan kelabu yang menggantung berat di atas puncak Gunung Barat, Ananta Wirabhumi berdiri dengan tegap di atas batu yang menghadap ke lembah yang luas. Angin pegunungan yang dingin menyibak rambut peraknya, yang seolah menambah kesan misterius dan kharismatik pada pewaris takhta yang dikenal karena kecerdasan dan ambisinya itu. Dalam balutan jubah gelap yang melambai, tatapan matanya tajam, penuh perhitungan, seperti elang yang memandang mangsa.

Gunung Barat sedang menghadapi masa genting. Kabar tentang pertikaian antar-pangeran di Manunggala telah menyebar hingga ke penjuru kerajaan. Lima pangeran dari berbagai kerajaan besar saling memperebutkan takhta, dan meskipun Gunung Barat terkesan tenang di permukaan, di balik dinding-dinding batu dan hutan pinus yang rapat, badai politik yang besar sedang dipersiapkan.

Ananta bukanlah sosok yang berbicara dengan banyak kata. Kepiawaiannya dalam strategi sudah dikenal oleh rakyat, tetapi hanya sedikit yang benar-benar tahu rencana apa yang ia miliki. Di belakang layar, ia telah menyusun langkah demi langkah, menyusun aliansi, dan menilai siapa yang pantas menjadi sekutu dan siapa yang harus dilenyapkan dari jalannya.

Hujan rintik mulai turun ketika kabar pergerakan pasukan Rimba Utara tiba di Gunung Barat. Rintik air membasahi tanah berbatu di istana pegunungan, sementara angin dingin menerpa wajah-wajah yang dipenuhi kegelisahan di ruang pertemuan. Ananta Wirabhumi berdiri di hadapan dewan bangsawan Gunung Barat, pandangannya tajam menelusuri setiap wajah yang berkumpul di ruangan itu. Mereka adalah kaum tua dan konservatif, orang-orang yang telah lama menduduki posisi mereka dan mempertahankan tradisi dengan keras kepala.

Beberapa bangsawan senior memandang Ananta dengan sorot mata penuh keraguan. Ia tahu, mereka menilainya terlalu muda dan ambisius. Dan kini, dengan perang yang berkecamuk melawan Rimba Utara, mereka mulai mempertanyakan pilihannya, meski ia merupakan pewaris sah tahta Gunung Barat.

"Pasukan pergerakan Rimba Utara makin mendekati wilayah pertahanan kita di kaki gunung," lapor seorang penasihat militer sambil menunjuk peta. "Mereka memperbanyak pasukan di sisi timur, dan mereka tampaknya sudah bersiap untuk menggempur pos-pos kecil kita."

Ananta mengangguk, matanya memandang peta tersebut dengan teliti. "Mereka ingin menekan kita di sisi yang tidak dijaga penuh," ujarnya tenang. "Tapi itu juga berarti mereka lengah di sisi barat."

Seorang bangsawan berusia lanjut dengan rambut abu-abu berdiri, memotong rencana Ananta. "Bagaimana kita bisa tahu ini bukan jebakan, Rajaku?" suaranya tajam dan skeptis. "Rimba Utara adalah kerajaan yang keras, dan taktik ini mungkin untuk menjebak kita agar menyerang dengan ceroboh."

Ananta memutar tatapannya ke arah bangsawan itu, tak menyukai interupsi. "Justru dengan menyerang sisi barat, kita dapat memaksa mereka menarik pasukannya. Ini adalah cara untuk memecah konsentrasi mereka."

Bangsawan tua lainnya ikut bersuara, wajahnya dipenuhi rasa curiga. "Kau mungkin pintar, Rajaku, tapi kedudukanmu sebagai pewaris takhta tidak membuatmu lebih tahu dari kami yang telah melihat puluhan perang! Kau terlalu ambisius dan gegabah."

Di ruangan yang penuh ketegangan itu, Ananta tetap tenang meski hatinya mendidih. Sudah terlalu sering ia mendengar keraguan dari mereka, para bangsawan yang hanya peduli mempertahankan status quo. "Kerajaan Gunung Barat tidak akan bertahan jika hanya bersembunyi di balik gunung. Rimba Utara memiliki kekuatan besar, dan jika kita tidak menghadapi mereka dengan taktik yang berani, kita akan kalah."

*Dalam konteks politik, status quo berasal dari kalimat in statu quo res errant ante bellum yang berarti "keadaan negara sebagaimana ketika belum terjadi peperangan"

Seorang bangsawan lainnya yang lebih muda, lebih simpatik pada Ananta, mencoba berbicara. "Yang Mulia, mungkin kita harus memberi kesempatan bagi Raja Ananta untuk membuktikan taktiknya. Dia adalah pewaris, dan dia telah mengabdikan hidupnya untuk kerajaan ini."

Namun, kelompok konservatif di dewan itu tidak mudah terpengaruh. Mereka memandang Ananta sebagai ancaman, bukan pemimpin. Salah satu dari mereka berkata dengan suara bergetar, "Jika kau gagal, kau akan menghancurkan seluruh kerajaan ini, dan kami tidak akan membiarkan itu terjadi!"

Ananta menarik napas dalam-dalam, menahan emosi yang bergejolak di dadanya. Dia tahu, ini adalah ujian bagi dirinya sebagai pewaris. Jika dia berhasil dalam taktik ini, ia akan membuktikan kemampuannya dan membungkam keraguan mereka. Namun, jika ia gagal, seluruh kerajaannya akan terancam.

Tanpa membuang waktu, ia memerintahkan pengiriman pasukan kecil untuk menyerang sisi barat Rimba Utara, sebagaimana rencana yang telah ia susun. Pasukan ini dipimpin oleh salah satu kapten kepercayaannya, yang tangguh dan setia. Misi mereka jelas: menciptakan kekacauan di barat sehingga perhatian musuh terpecah, memberi Gunung Barat waktu untuk memperkuat pertahanan.

Hari demi hari berlalu, ketegangan di istana semakin tebal. Para bangsawan menunggu dengan kecemasan, sementara Ananta menghabiskan malam-malamnya di ruang peta, meneliti setiap laporan yang masuk. Ia tahu, keberhasilannya dalam serangan ini adalah satu-satunya cara untuk menghilangkan keraguan para bangsawan yang menganggapnya terlalu muda dan ambisius.

Akhirnya, kabar dari barisan depan datang. Pasukan kecil yang dikirimnya berhasil melakukan serangan mendadak di barat dan membakar perkemahan musuh, memaksa Rimba Utara untuk mengalihkan sebagian besar pasukan mereka ke wilayah tersebut. Serangan ini memberi waktu bagi Gunung Barat untuk memperkuat benteng-bentengnya dan bersiap menghadapi serangan utama.

Para bangsawan yang skeptis mulai terdiam ketika melihat hasil ini. Mereka mungkin tidak suka dengan metode Ananta, tetapi tak bisa memungkiri bahwa taktiknya berhasil. Namun, di tengah kemenangan kecil ini, Ananta tetap waspada. Ia tahu, peperangan ini belum berakhir. Rimba Utara masih memiliki kekuatan besar, dan aliansi yang tak terduga mungkin akan muncul kapan saja.

Di balik pintu-pintu tertutup, para bangsawan konservatif mulai berdiskusi satu sama lain, mempertimbangkan perubahan dalam pandangan mereka terhadap Ananta. Meskipun sebagian dari mereka masih menentang pewaris muda itu, kemenangan awal ini mulai menggoyahkan keyakinan mereka. Mereka mungkin tidak sepenuhnya mempercayainya, namun mereka mulai melihat bahwa Wirya bukanlah sekadar pemuda ambisius yang sembrono. Ia adalah seorang ahli strategi yang cerdas dan berani.

Namun, di dalam hati Ananta, ia merasa bahwa ini baru awal dari tantangan yang lebih besar. Dia tahu bahwa para bangsawan hanya setia selama ia menunjukkan kemenangan. Sekali ia lengah atau membuat kesalahan, mereka akan segera merongrong posisinya sebagai pewaris. Dengan pemikiran ini, Ananta memantapkan dirinya untuk tidak hanya memenangkan peperangan, tetapi juga mengamankan kepercayaan penuh dari seluruh dewan bangsawan Gunung Barat.

Suatu malam yang tenang, Ananta berdiri di balkon istananya, memandangi cahaya bintang yang tersebar di langit. Perasaan puas dari keberhasilan taktiknya hanya sesaat, digantikan oleh kesadaran bahwa banyak tantangan lain yang menunggu. Namun, di balik ambisinya yang besar, terdapat tekad yang tak goyah. Baginya, kekuasaan bukan sekadar warisan; itu adalah sesuatu yang harus diperjuangkan dan dipertahankan dengan segenap kecerdasan dan kekuatan.

Dengan pandangan tajam ke arah perbatasan yang jauh di kejauhan, Ananta bersumpah untuk tidak akan berhenti sampai ia memastikan Gunung Barat berada dalam kendalinya sepenuhnya. Ia tahu, untuk memenangkan hati para bangsawan dan rakyatnya, ia harus menjadi lebih dari sekadar pewaris muda. Ia harus menjadi pemimpin yang layak dikenang.

Saat malam tiba, Wirya kembali ke ruangannya, merancang strategi lanjutan dengan cahaya lilin yang berpendar lembut. Pikirannya berputar cepat, membayangkan berbagai kemungkinan yang mungkin terjadi. Ia tahu, setiap langkah ke depan akan menentukan posisinya dalam perebutan kekuasaan ini.

Namun, di balik segala ambisinya, terbersit sebuah perasaan aneh yang menggantung di hatinya. Sebuah pertanyaan yang menghantuinya setiap kali ia menatap peta besar di hadapannya: apakah segala ambisi dan kecerdasannya akan cukup untuk mencapai puncak tertinggi? Apakah ia akan dikenang sebagai raja yang menguasai Manunggala atau sekadar bidak lain dalam permainan kekuasaan yang tak berujung?

Dengan pandangan tajam yang menatap jauh ke depan, Wirya menghela napas panjang, menyadari bahwa perjalanannya masih panjang. Di puncak kekuasaan, ia tahu bahwa tak ada tempat untuk kelemahan atau keraguan.

Battle Of Manunggala - The Crown SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang