Di bawah langit pegunungan yang cerah, Ananta melangkah memasuki lembah berbatu yang dikelilingi tebing-tebing terjal dan puncak-puncak gunung yang menjulang tinggi. Lembah itu adalah tempat pertemuan para suku, yang hanya bisa diakses melalui jalur-jalur kecil di antara bebatuan dan pepohonan pinus yang tumbuh liar di sekitar. Tenda-tenda kulit domba tampak tersebar di berbagai sudut lembah, dengan asap tipis mengepul dari perapian yang menyala di tengah-tengahnya, mengusir hawa dingin yang terasa tajam hingga ke tulang.
Hawa dingin menusuk, namun Ananta menolak menunjukkan ketidaknyamanan; ia datang bukan sebagai seorang bangsawan, tetapi sebagai pemimpin yang tengah berusaha mempertahankan ikatan antara kerajaannya dan rakyatnya. Di sekelilingnya, pepohonan pinus bergoyang ditiup angin, menghasilkan suara gemerisik yang berpadu dengan suara lonceng sapi dari kejauhan. Beberapa orang suku tampak berdiri berkerumun di tepi tenda mereka, menatap penuh selidik ke arah Raja Ananta dan rombongannya, wajah mereka terpahat oleh waktu dan kerasnya kehidupan di pegunungan.
Ananta memandang sekelilingnya, menyadari betapa sunyinya tempat itu, terisolasi dari hiruk-pikuk kehidupan di istana. Di kejauhan, pegunungan terlihat berkabut, memberi kesan misterius namun damai pada lembah itu. Tempat ini memiliki aura kekuatan yang sulit dijelaskan, seperti sebuah dunia tersendiri yang bebas dari konflik di luar sana. Angin dingin berembus, membelai wajah Ananta dengan kelembutan alam yang tak pernah berpihak, mengingatkan dirinya bahwa ia berada di wilayah yang masih membutuhkan perhatian dan kepemimpinannya.
Pertemuan ini adalah langkah lanjutan dari tuntutan suku pegunungan yang meminta hak lebih banyak. Sejak berita pertemuan pertama menyebar, banyak di antara suku-suku ini yang mulai menunjukkan ketidakpuasan dan keraguan atas kepemimpinan Ananta yang masih muda. Namun, ia tahu bahwa hanya melalui diplomasi, kerja sama, dan sedikit kekuatan, ia bisa menjaga agar Gunung Barat tetap utuh.
Di tengah lapangan utama Gunung Barat, para pemimpin suku berkumpul, membentuk setengah lingkaran yang anggun namun penuh ketegangan. Lapangan ini terletak di dataran tinggi, dikelilingi oleh pepohonan pinus dan tebing-tebing batu yang menjulang, seakan menjadi dinding alami yang melindungi tempat sakral ini. Tanah lapangan tersebut padat dan berdebu, dilapisi dengan jejak-jejak kaki dari banyak prajurit yang pernah berlatih di sini, dan di pusatnya, terdapat batu besar yang diukir dengan simbol-simbol kuno sebagai tanda perlindungan para leluhur. Tempat ini dipilih karena dari sini, semua bisa melihat pemandangan lembah yang luas di bawahnya, sebuah pengingat atas apa yang mereka pertahankan.
Di barisan suku-suku yang berdiri tegap, tampak Nandaka, pemimpin tertua di antara mereka, kepala Suku Serigala yang berdiri di ujung kanan setengah lingkaran. Sosok Nandaka terlihat anggun dalam jubah abu-abu panjang dengan lambang cakar serigala di bahunya. Jubah itu tampak sudah tua dan berdebu, namun tetap kokoh, mencerminkan sifat Nandaka yang penuh dengan ketenangan dan kebijaksanaan. Matanya tajam, seolah selalu melihat jauh ke depan, memikirkan setiap kemungkinan yang mungkin terjadi. Suku Serigala tinggal di lembah-lembah yang tersembunyi di kaki Gunung Barat, tempat yang dikelilingi hutan tebal. Mereka hidup tersembunyi dari dunia luar, seperti bayangan malam yang hanya terlihat jika mereka mengizinkan. Dari posisi tersebut, mereka selalu siap mengamati pergerakan musuh yang mencoba memasuki wilayah mereka.
Di sebelah Nandaka berdiri Aruna, pemimpin Suku Petir, seorang wanita dengan mata yang tajam dan penuh semangat. Ia mengenakan mantel gelap yang dihiasi lambang petir berwarna emas di dadanya, simbol dari kekuatan dan ketegasan. Rambutnya disanggul tinggi, menambah aura keberanian yang terpancar dari wajahnya. Aruna memimpin Suku Petir dengan penuh keyakinan dan kebulatan tekad. Mereka tinggal di lereng-lereng curam yang sulit dijangkau, tempat badai sering menerpa dengan ganas. Di sana, sukunya tumbuh dalam ketangguhan, mengasah kemampuan mereka untuk bertempur di bawah badai dan melatih setiap anggota agar mampu meluncurkan serangan dengan kekuatan penuh, layaknya petir yang menghantam dari langit. Mereka adalah garda depan, pasukan yang akan menghadang siapa pun yang datang dengan niat permusuhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Battle Of Manunggala - The Crown Sun
FantasíaSetelah kematian Raja Sang Maharaja Matahari beserta keluarganya. lima pangeran dari lima wilayah berbeda mengklaim hak mereka atas takhta. Pertempuran untuk merebut kekuasaan pun terjadi, dengan setiap pangeran menggunakan segala cara, baik kekuata...