Bab 7 Pemberontakan

5 1 2
                                    

Beberapa minggu setelah pertemuan dengan para bangsawan, Ananta mulai merasakan adanya ketegangan yang semakin memuncak di antara rakyatnya sendiri. Laporan demi laporan sampai ke tangannya, memberi tahu bahwa beberapa suku pegunungan yang biasanya setia pada Gunung Barat mulai menunjukkan ketidakpuasan mereka. Suku-suku ini adalah garis pertahanan pertama Gunung Barat, terletak di lereng-lereng tinggi dan hutan-hutan lebat yang berbatasan langsung dengan Rimba Utara. Mereka dikenal tangguh dan loyal, namun juga mandiri—jarang meminta bantuan kerajaan.

Di ruang kediamannya yang dipenuhi dengan peta dan gulungan catatan, Ananta memandangi laporan-laporan dari pengawas perbatasan. Satu kalimat dari seorang kepala suku terus terngiang di kepalanya: "Kami mungkin pelindung kerajaan, tetapi kami bukan budaknya."

Ananta mengernyit, merasakan ada kekuatan baru yang tumbuh di antara suku-suku itu. Kekuatan yang selama ini dianggap kecil dan mudah diredam, namun kini, mereka tampak yakin akan posisi mereka dan berani menuntut lebih dari sekadar perintah. Rasa frustasi mereka terpendam selama bertahun-tahun, dan kini mulai mencuat ke permukaan.

***

Di puncak Gunung Tanjung, wilayah di mana salah satu suku terbesar tinggal, berkumpullah para tetua suku, prajurit, dan kepala-kepala keluarga. Mereka duduk melingkar di sekitar api unggun besar, yang cahayanya berpendar menerangi wajah mereka yang keras dan penuh tekad. Kepala suku terbesar, seorang pria paruh baya bernama Damar, angkat bicara dengan suara dalam yang menggema.

"Selama ini, kita berkorban demi kerajaan. Kita menjaga perbatasan, bertarung dengan musuh, dan menanggung beban tanpa pamrih. Namun, apa yang kita dapatkan sebagai balasannya?" Matanya menatap tegas ke arah para tetua lain, yang mengangguk setuju. "Tanah kita tidak dijaga dengan cukup baik, dan ketika kita meminta bantuan, mereka beralasan kekuatan sedang dikerahkan ke medan perang."

Di antara yang hadir, seorang pemuda dari suku lain berdiri. "Kita telah lama diam, berharap bahwa kerajaan akan mengerti kesetiaan kita. Namun apa yang terjadi? Mereka malah membiarkan kita menghadapi ancaman dari Rimba Utara sendirian." Sorak setuju memenuhi udara, dan gemuruh suara protes semakin memanas.

Damar melanjutkan, "Kita adalah suku-suku yang kuat, dan tanpa kita, Gunung Barat hanya akan menjadi bukit yang kosong. Kerajaan harus tahu bahwa mereka tak bisa terus-menerus memanfaatkan kita tanpa memberikan perlindungan yang layak."

Setelah pertemuan yang memanas di puncak Gunung Tanjung, di mana api unggun yang berpendar menerangi wajah-wajah penuh tekad, para kepala suku mengirim sekelompok utusan dengan membawa tuntutan yang tidak bisa lagi ditunda. Matahari baru saja terbit ketika utusan itu berangkat, meninggalkan jejak kaki di jalan setapak yang penuh bebatuan dan kabut pegunungan yang tebal. Di setiap langkah mereka, udara dingin dan sunyi Gunung Barat seakan mempertegas betapa seriusnya perjalanan mereka kali ini.

***

Di ibu kota, suasana pagi yang tenang berubah saat rombongan utusan tiba. Mereka memasuki gerbang istana dengan wajah-wajah keras, pakaian tradisional yang mencerminkan suku masing-masing, dan senjata yang mereka bawa sebagai simbol martabat dan kekuatan mereka. Di aula besar, mereka berdiri tegak, matanya menyiratkan tekad yang tak tergoyahkan. Rasa penasaran dan kekhawatiran mulai muncul di antara para bangsawan yang berkumpul, beberapa berbisik satu sama lain sambil memandang para utusan dengan tatapan cemas.

Ketika akhirnya Damar, pemimpin utusan, angkat bicara, suaranya bergema memenuhi ruangan, penuh rasa percaya diri dan ketegasan. Matanya yang tajam menyapu aula, seperti hendak menembus jiwa setiap orang yang hadir. "Kami tidak datang untuk meminta belas kasihan," katanya dengan suara dalam. "Kami datang untuk menuntut hak kami—hak yang seharusnya sudah menjadi milik kami sebagai penjaga kerajaan ini."

Battle Of Manunggala - The Crown SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang