Pasukan Gunung Barat telah mencatat kemenangan awal di perbatasan barat, dan berita itu tersebar hingga ke seluruh penjuru kerajaan. Meski serangan mendadak itu berhasil, kemenangan ini justru menambah api di dalam pertemuan bangsawan yang semakin panas. Ketika kabar kemenangan sampai ke telinga para bangsawan senior, yang terjadi justru tidak sepenuhnya rasa puas atau bangga, melainkan kekhawatiran akan arah kepemimpinan kerajaan.
Di balai pertemuan kerajaan, para bangsawan yang telah setia selama puluhan tahun berkumpul dalam sebuah sidang rahasia. Di antara mereka ada yang berwajah tegang, ada pula yang menatap penuh keraguan. Mereka adalah tokoh-tokoh berpengaruh dalam Gunung Barat, dan mereka tahu bahwa perubahan yang dibawa Ananta dapat mengguncang tatanan yang sudah mereka jaga selama ini.
"Jika Ananta terus memimpin dengan cara ini, Gunung Barat bisa terancam," kata Arya Wirantaka, seorang bangsawan senior yang sejak lama dikenal sebagai penjaga tradisi kerajaan. "Dia terlalu gegabah, dan menyerang Rimba Utara tanpa pertimbangan yang matang. Meski berhasil kali ini, siapa yang tahu bahaya apa yang menunggu kita di masa depan?"
Bangsawan yang lebih muda, Jayadikara, mencoba menengahi. "Namun kita tidak bisa menyangkal bahwa serangannya kali ini berhasil. Pasukan Rimba Utara mundur sementara kita memperkuat pertahanan. Mungkin taktiknya perlu dipertimbangkan."
"Taktik?" Arya Wirantaka menatapnya tajam. "Seorang pewaris takhta harus bijaksana dan penuh perhitungan, bukan sekadar bermain-main dengan keberuntungan!"Beberapa bangsawan lainnya mengangguk setuju. Mereka merasa bahwa tindakan Ananta terlalu ambisius, dan mereka takut bahwa ambisinya itu akan menjerumuskan Gunung Barat dalam bahaya yang tak terduga.
Di tengah perdebatan tersebut, muncul seorang tokoh bangsawan misterius yang dikenal dengan julukan Sang Bayangan, pria tua yang sering menyendiri di daerah perbukitan dan jarang muncul di istana. Dengan langkah tenang, ia memasuki ruangan dan semua orang langsung terdiam. Kehadirannya yang langka membuat para bangsawan, bahkan Arya Wirantaka sekalipun, memperhatikan.
"Saya kira, kalian semua lupa sesuatu yang sangat penting," katanya dengan suara bergetar namun berwibawa. "Gunung Barat telah dipimpin oleh darah yang sama selama berabad-abad. Ananta mungkin masih muda, tapi darah yang mengalir dalam dirinya adalah darah para pemimpin Gunung Barat yang tangguh. Mungkin kita harus memberinya kesempatan."
Sejenak suasana sunyi. Para bangsawan tua mulai saling pandang, bingung, dan ragu. Anatan memang belum memiliki pengalaman yang sebanding dengan mereka, namun dia telah menunjukkan keberanian dan kecerdasannya. Meski demikian, sebagian besar masih tak mampu menerima ide bahwa seorang pewaris muda bisa mengambil kendali penuh dalam kondisi penuh tekanan ini.
Di balik pintu balai pertemuan itu, Ananta yang mendengarkan dari luar tersenyum tipis. Ia sudah menduga bahwa para bangsawan akan memperdebatkan keputusannya. Meskipun ia berhasil memukul mundur pasukan Rimba Utara, ia tahu bahwa tidak semua orang di kerajaan akan mendukung ambisinya. Langkah berikutnya adalah yang paling sulit: bagaimana memenangkan hati para bangsawan yang masih meragukan kemampuannya.
Malam itu, Ananta memanggil beberapa penasihat pribadinya dan menyusun rencana. Ia bertekad untuk meredakan ketegangan internal tanpa harus mengorbankan taktiknya di medan perang.
"Kita perlu lebih dari sekadar kemenangan di pertempuran. Kita harus membuat mereka merasakan bahwa aku bisa menjadi pemimpin yang layak," kata Ananta pada penasihat kepercayaannya, Gempita, seorang panglima muda yang setia kepadanya.
"Bagaimana kau akan melakukan itu, Rajaku?" tanya Gempita sambil menatap Wirya penuh rasa ingin tahu.
"Aku akan mengundang para bangsawan yang berpengaruh, terutama mereka yang paling kritis, untuk berbicara langsung denganku," kata Ananta. "Kita harus membuat mereka merasa bahwa mereka masih memiliki suara dalam setiap keputusanku. Mereka harus tahu bahwa aku tidak hanya seorang pemimpin ambisius, tetapi juga seseorang yang menghargai pengalaman mereka."
Keesokan harinya, Ananta mengadakan pertemuan tertutup dengan para bangsawan senior. Ruang pertemuan itu berada di lantai atas istana utama, sebuah aula tua yang jarang digunakan, sehingga menyimpan aura tenang dan misterius. Dinding-dindingnya dipenuhi dengan ukiran kayu kuno, menampilkan lambang-lambang kebesaran Gunung Barat yang berdiri kokoh selama ratusan tahun. Cahaya lilin yang remang-remang memantulkan bayangan di permukaan meja panjang dari kayu ek yang sudah mulai lapuk, menghadirkan suasana yang suram namun penuh wibawa. Bau kayu yang usang bercampur samar dengan aroma dupa yang dibakar di sudut ruangan, menciptakan suasana yang mendalam dan penuh keheningan.
Di dalam ruangan yang hanya diterangi cahaya lilin itu, Ananta berbicara dengan penuh kepercayaan diri, namun tetap menunjukkan kerendahan hati yang tulus.
"Saya mengerti bahwa ada keraguan terhadap cara saya memimpin," kata Ananta memulai pertemuan. "Saya juga tahu bahwa pengalaman saya belum sebanding dengan apa yang kalian semua miliki. Namun, tujuan kita sama, yaitu mempertahankan Gunung Barat dari ancaman. Kemenangan kecil di perbatasan bukan sekadar keberuntungan; ini adalah bukti bahwa kita bisa lebih dari sekadar bertahan."
Arya Wirantaka, dengan ekspresi skeptisnya, menatap lurus ke arah Ananta. "Keberhasilan tidak selalu menjamin kebijaksanaan. Apa yang akan kau lakukan jika taktikmu gagal?"
"Jika saya gagal, maka saya akan bertanggung jawab penuh," jawab Ananta dengan tegas. "Namun saya percaya bahwa risiko yang kita ambil ini adalah bagian dari perjuangan mempertahankan kerajaan kita. Dan saya ingin menunjukkan bahwa saya mendengarkan kalian. Jika ada masukan atau perbaikan yang perlu dilakukan, saya akan mempertimbangkannya dengan sungguh-sungguh."
Beberapa bangsawan mulai menunjukkan perubahan ekspresi. Meski masih ada yang tampak meragukan, mereka mulai melihat sisi lain dari Ananta– seorang pemimpin muda yang berani namun juga terbuka untuk mendengarkan. Sang Bayangan, yang duduk di sudut, tersenyum samar, merasa puas melihat perkembangan ini.
"Aku harap, kau tidak hanya berjanji," kata Arya Wirantaka, suaranya pelan tapi penuh makna. "Kemenangan kecilmu kali ini sudah cukup baik, tapi ingatlah bahwa Rimba Utara bukan lawan yang bisa kita remehkan."
Ananta mengangguk dengan hormat. "Saya akan selalu mengingat nasihat itu."
Di akhir pertemuan, sebagian besar bangsawan mulai melunak. Meski belum sepenuhnya percaya, mereka bersedia memberi kesempatan kepada Ananta. Kepercayaan penuh mungkin belum ia peroleh, tetapi ia telah memenangkan setidaknya secercah harapan dari mereka.
Saat malam kian larut, para bangsawan perlahan meninggalkan ruang pertemuan. Langkah-langkah mereka bergema di lantai batu, meninggalkan Ananta dalam keheningan yang terasa berat namun menenangkan. Ia berdiri di tengah ruangan yang kini hanya diterangi nyala lilin-lilin yang mulai meredup, memandangi peta besar yang tergantung di dinding. Peta itu memperlihatkan seluruh wilayah Gunung Barat dan batas-batas yang harus ia pertahankan. Setiap simbol dan garis perbatasan di peta itu menyimbolkan tanggung jawab yang kini berada di pundaknya.
Ananta menghela napas, kemudian menyentuh tanda perbatasan antara Gunung Barat dan Rimba Utara dengan ujung jarinya. Pandangannya penuh dengan tekad, namun ada juga kilatan kekhawatiran yang mencoba ia sembunyikan. Di kedalaman hatinya, ia tahu perang dengan Rimba Utara masih jauh dari kata usai. Tantangan yang menunggunya bukan hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam—dari keraguan bangsawan-bangsawan yang masih menguji kemampuannya.
Ia mengepalkan tangan, merasakan dinginnya udara malam yang merasuk dari jendela-jendela tinggi yang tak tertutup sempurna. Cahaya bulan memantul lemah di atas meja, menciptakan bayangan peta yang seolah hidup, bergerak mengikuti arah pikirannya yang terus mencari jalan untuk mempertahankan Gunung Barat. Dukungan yang ia dapatkan malam ini mungkin belum sempurna, namun cukup untuk menjadi landasan langkah pertamanya.
Ananta menyadari, setiap langkah kecil ini adalah bagian dari jalan panjang yang akan membuktikan bahwa ia layak menjadi pemimpin Gunung Barat. Suatu hari kelak, ia berjanji dalam hati, seluruh bangsawan akan mengakui kemampuan dan keteguhan hatinya. Sebelum meninggalkan ruangan, ia menatap sekali lagi ke arah peta itu, mematri dalam ingatan bahwa ini adalah pertempuran bukan hanya untuk wilayah, tetapi juga untuk kepercayaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Battle Of Manunggala - The Crown Sun
FantasíaSetelah kematian Raja Sang Maharaja Matahari beserta keluarganya. lima pangeran dari lima wilayah berbeda mengklaim hak mereka atas takhta. Pertempuran untuk merebut kekuasaan pun terjadi, dengan setiap pangeran menggunakan segala cara, baik kekuata...