Chapter 10

363 75 13
                                    

Amira tersentak bangun saat perutnya terasa diaduk-aduk rasa mual yang tiba-tiba menyerang. Dia melompat dari tempat tidur, bergegas keluar kamar dengan langkah terhuyung, langsung menuju kamar mandi.

Namun, sebelum sampai, rasa mual itu tak tertahankan. Dengan cepat, dia membalikkan badan ke wastafel dapur dan memuntahkan seluruh isi perutnya.

Suara muntahannya menggema di seluruh apartemen, membuat Amira terpaksa mencengkeram erat pinggiran wastafel. Di tengah kondisinya yang kacau, terdengar suara pintu terbuka, tapi Amira tak mampu beranjak dari posisinya. Tiba-tiba, seseorang menarik rambutnya perlahan ke belakang, sementara sebuah pijatan hangat terasa di tengkuk dan punggungnya.

Itu Dalton.

Amira langsung merasa malu. Rasanya ingin menghilang seketika. Namun, Dalton hanya berdiri di sampingnya tanpa mengucap sepatah kata pun, seolah ingin memberi ruang.

Saat mual itu mereda, Dalton berpaling, berjalan ke arah dapur, lalu kembali dengan handuk basah di tangannya.

Amira, masih lemas, menerima handuk tersebut sambil menghindari tatapan Dalton.

Ini adalah kali pertama ia mengalami mual muntah mendadak seperti ini, dan ironisnya, justru terjadi tengah malam—jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul 2 pagi.

"Kau baik-baik saja?" Dalton bertanya dengan suara rendah, mengusik rasa kantuk Amira yang seketika lenyap. Ada kekhawatiran dalam raut wajah Dalton, membuat Amira sedikit gugup.

"Ya... aku baik-baik saja." Amira membisikkan jawabannya, namun Dalton mengangguk seolah tak terlalu percaya.

Dalton lalu menuntunnya menuju sofa dan mendudukkannya di sana. Dia berdiri sejenak, menatap Amira seolah memikirkan sesuatu, sebelum mengeluarkan ponselnya dan mendial nomor.

"Hei, aku benar-benar baik-baik saja. Tidak perlu menelepon siapa-siapa," protes Amira setengah canggung, tapi Dalton hanya mengangkat tangannya, menandakan agar Amira tidak menghalanginya.

"Halo, aku ingin bertanya, apakah normal jika seseorang mengalami mual dan muntah mendadak di malam hari? Ya... ini pertama kalinya, dan dia terlihat pucat."

Amira melotot, memberi isyarat kalau dia baik-baik saja. Tapi Dalton tak menggubrisnya, malah mengobrol sebentar lagi di telepon sebelum mengangguk.

"Baiklah, besok datanglah kemari dan lakukan pemeriksaan. Ya, Oke"  Dalton menutup panggilan dan menatap Amira.

"Siapa yang kau telepon?" Amira bertanya, merasa sedikit kesal. Namun Dalton tak menjawab, ia malah pergi ke dapur dan kembali dengan sekantong biskuit.

"Dr. Athena bilang, makan cemilan ini bisa membantu meredakan mual," ujar Dalton sembari menyerahkan biskuit itu. Hati Amira seketika terasa hangat mendengar penjelasan Dalton. Tanpa berkata apa-apa, dia menerima dan mulai mengunyah biskuit.

Ketika Amira mengunyah, dia melirik Dalton yang duduk bersandar di lantai, tepat di samping sofa. Pria itu terlihat lelah, tetapi enggan meninggalkannya sendirian. Dalton benar-benar menunggunya di sana, dan Amira mendapati hatinya berdebar pelan.

*-*-*

Amira membuka mata ketika merasakan sentuhan lembut di kepalanya.

Perlahan dia mendapati Dalton menatapnya dengan ekspresi geli, seolah tahu apa yang ia pikirkan saat itu.

Ketika tersadar, Amira langsung terduduk di sofa, hanya untuk mendapati seorang wanita berdiri di ambang pintu.

Itu Dr. Athena, wanita berwajah ramah dengan balutan blouse rapi. Amira merasakan wajahnya memanas seketika, sementara Dalton menahan tawa.

Pregnant with Rebel PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang