Selamat membaca dan jangan lupa meninggalkan jejak berupa Vote juga komentar, ya! Terima kasih!
____________________
Bunyi monoton dari elektrokardiograf memenuhi ruang operasi. Dr. Farrel Sanjaya menatap garis lurus di layar monitor dengan pandangan kosong. Keringat dingin mengalir pelan di pelipisnya, sementara tangannya yang berbalut sarung tangan bedah masih menggenggam erat peralatan operasi.
"Waktu kematian, 23:47," suara salah satu perawat memecah keheningan.
Farrel masih tidak bergerak. Di hadapannya, seorang gadis berusia 16 tahun terbaring tak bernyawa di meja operasi. Dina Kusuma, siswi SMA yang seharusnya masih memiliki seluruh masa depan di depannya. Sebuah operasi apendisitis yang seharusnya rutin berubah menjadi mimpi buruk karena keterlambatan penanganan dan kelalaian sistem.
"Dokter Farrel," panggil perawat senior, Mbak Eli, dengan lembut. "Sudah waktunya..."
Farrel mengangguk pelan, melepaskan peralatan bedah dengan tangan gemetar. Dia melepas sarung tangan bedahnya dan membuangnya ke tempat sampah medis. Matanya masih terpaku pada wajah pucat Dina.
"Saya yang akan bicara dengan keluarganya," ujar Farrel dengan suara serak.
Lorong rumah sakit terasa begitu panjang malam itu. Setiap langkah terasa berat saat Farrel berjalan menuju ruang tunggu keluarga. Dari kejauhan, dia bisa melihat kedua orang tua Dina. Sang ibu duduk dengan tangan menggenggam tasbih, sementara ayahnya hilir-mudik dengan gelisah.
Begitu melihat Farrel, mereka langsung berdiri. Harapan terpancar di mata mereka, harapan yang harus Farrel hancurkan.
"Pak, Bu..." Farrel memulai dengan berat. "Maafkan saya... Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi..."
Jeritan pilu sang ibu memenuhi lorong rumah sakit. Tubuhnya ambruk, untung sang suami sigap menangkapnya. Farrel berdiri mematung, setiap isak tangis keluarga itu seolah ada puluhan belati menghujam dadanya.
"Bagaimana bisa, Dok?" tanya sang ayah dengan suara bergetar. "Katanya cuma usus buntu biasa..."
Farrel menelan ludah. Bagaimana dia harus menjelaskan bahwa keterlambatan operasi selama 6 jam karena masalah administrasi dan ketersediaan ruang operasi telah membuat kondisi Dina memburuk? Bagaimana dia harus menjelaskan bahwa sistem rumah sakit yang buruk telah membunuh putri mereka?
"Terjadi komplikasi, Pak," hanya itu yang bisa Farrel katakan.
Setelah memberikan penjelasan medis yang terasa hambar di mulutnya, Farrel permisi untuk menyelesaikan administrasi. Namun, baru beberapa langkah dia berjalan, sebuah suara yang sangat dikenalnya menghentikan langkahnya.
"Dr. Farrel, bisa ke ruangan saya sebentar?"
Dr. Zean Pratama, kepala departemen bedah, berdiri dengan wajah dingin. Farrel mengangguk lemah dan mengikuti seniornya itu ke ruangannya.
"Duduk," perintah Dr. Zean singkat setelah mereka masuk ke ruangannya.
Farrel duduk di kursi di hadapan meja Dr. Zean. Ruangan itu dipenuhi berbagai piagam dan penghargaan, tapi Farrel tahu betul apa yang tersembunyi di balik semua prestasi itu.
"Saya sudah membaca laporan awalnya," Dr. Zean memulai. "Kita perlu merevisi beberapa bagian."
Farrel mengangkat kepalanya. "Merevisi, Pak?"
"Ya. Kita tidak bisa menulis soal keterlambatan operasi karena masalah sistem. Tulis saja pasien terlambat datang ke rumah sakit." jelas Zean.
"Tapi Pak, itu tidak benar. Dina sudah datang sejak siang. Dia menunggu 6 jam karena-"
"Dengar," Dr. Zean memotong dengan nada tajam. "Kamu masih muda, Farrel. Masih banyak yang perlu kamu pelajari tentang bagaimana sistem di sini bekerja. Kita tidak bisa membiarkan nama rumah sakit tercoreng karena satu kasus."
Farrel mengepalkan tangannya di bawah meja. "Seorang gadis meninggal, Pak. Bukan sekadar 'satu kasus'."
"Justru karena ada yang meninggal, kita harus lebih hati-hati. Keluarganya bisa menuntut rumah sakit. Kamu mau bertanggung jawab kalau sampai puluhan dokter dan perawat kehilangan pekerjaan?"
Ancaman yang terselubung di dalam kata-kata itu membuat darah Farrel mendidih. Dia sudah muak dengan permainan politik ini, muak dengan sistem yang lebih mementingkan nama baik institusi daripada nyawa pasien.
"Saya tidak akan mengubah laporan itu, Pak," kata Farrel tegas.
Dr. Zean tersenyum dingin. "Kalau begitu mungkin kamu perlu memikirkan ulang karirmu di rumah sakit ini."
Farrel bangkit dari kursinya. "Saya sudah memikirkannya sejak lama, Pak. Sistem di rumah sakit ini sudah terlalu busuk."
"Keluar dari ruangan saya." Dr. Zean berseru memberi perintah.
Farrel melangkah keluar dengan langkah berat. Tubuhnya terasa lelah, bukan hanya karena operasi panjang yang baru saja dia lakukan, tapi juga karena beban moral yang harus dia tanggung.
Dia berjalan menuju ruang jaga dokter. Jam di dinding menunjukkan pukul 01:23 dini hari. Farrel menghempaskan tubuhnya ke sofa usang di ruangan itu. Matanya menatap langit-langit yang menguning.
Sepuluh tahun. Sudah sepuluh tahun dia berjuang melawan sistem ini. Sejak dia pertama kali masuk sebagai dokter muda, dia sudah melihat berbagai kasus yang membuatnya frustrasi. Berapa banyak nyawa yang sudah melayang karena sistem yang korup? Berapa banyak pasien yang menjadi korban politik rumah sakit?
Farrel memejamkan mata. Ia sangat lelah. Andai saja dia bisa mengubah semuanya. Andai saja dia bisa kembali ke masa ketika semua ini dimulai, ketika dia masih sebagai mahasiswa kedokteran yang idealis. Mungkin dia bisa melakukan sesuatu yang berbeda, mungkin dia bisa...
Kesadaran Farrel mulai memudar saat kelelahan mengambil alih. Dalam tidurnya, Farrel bermimpi tentang masa kuliahnya, tentang hari-hari ketika segala sesuatu masih terasa mungkin, ketika impian untuk mengubah sistem kesehatan di negara ini masih berkobar dalam dadanya.
Samar-samar, dia mendengar suara yang familiar.
"Farrel! Bangun! Ini sudah jam 7, kamu ada kuliah Prof. Daniel jam 8!"
Farrel mengerjapkan mata. Suara itu... Tidak mungkin...
"Ollan?"
Dia membuka mata dan terkesiap. Di hadapannya berdiri Ollan, sahabatnya yang sudah meninggal lima tahun lalu karena kesalahan medis. Saat ini, Ollan masih muda, masih mengenakan kemeja putih dan celana hitam khas mahasiswa kedokteran.
Farrel bangkit dengan keadaan kebingungan. Ini bukan ruang jaga dokter. Ini... kamar kosnya semasa kuliah?
"Kamu kenapa?" tanya Ollan heran. "Kayak habis lihat hantu aja."
Farrel menatap sekeliling dengan tidak percaya. Poster anatomi yang sudah menguning tertempel di dinding, tumpukan buku kedokteran di meja, dan kalender yang menunjukkan tahun...
2005.
"Tidak mungkin..." Farrel bergumam.
Dengan cepat ia berlari ke kamar mandi dan menatap cermin. Yang membalas tatapannya adalah wajahnya sendiri, tapi 15 tahun lebih muda. Wajah seorang mahasiswa kedokteran tahun pertama.
Farrel mencubit lengannya dengan keras. Terasa sakit. Ini bukan mimpi.
"Ya Tuhan..." bisiknya. "Aku benar-benar kembali..."
Bersambung~
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance
Genç KurguMenceritakan tentang seorang dokter yang frustasi dengan sistem dan politik di rumah sakit tempatnya bekerja, mendapat kesempatan kedua ketika dia kembali ke masa lalunya saat masih mahasiswa kedokteran tahun pertama di tahun 2005. Dengan pengetahua...