Chapter 4 - Langkah Pertama

485 132 11
                                    

Selamat membaca, jangan lupa meninggalkan jejak berupa Vote juga komentar dan jika ada istilah yang keliru, mohon dikoreksi, ya! Terima kasih!

_______________________________

Farrel merapikan jas putihnya sebelum memasuki Unit Gawat Darurat. Ini adalah kunjungan rumah sakit pertamanya bersama Prof. Daniel, kesempatan yang di timeline sebelumnya dia sia-siakan karena terlalu takut.

Aroma antiseptik yang familiar menyambutnya, mengingatkannya pada ribuan jam yang pernah dia habiskan di ruangan seperti ini —atau lebih tepatnya, yang akan dia habiskan.

"Jangan tegang," Prof. Daniel menepuk pelan bahunya. "Hari ini kita akan melihat beberapa kasus menarik. Anggap saja sebagai preview dari apa yang akan kamu hadapi nanti ke depannya sebagai seorang dokter."

Seandainya anda tahu, Prof, Farrel tersenyum dalam hati.

Mereka mulai dengan pasien pertama, seorang pria paruh baya dengan keluhan nyeri dada. Prof. Daniel mulai menjelaskan tentang anamnesis dan pemeriksaan fisik pada mahasiswa lain yang juga ikut visite.

Farrel mengamati dengan seksama, bukan pada penjelasan yang sudah dia hafal di luar kepala, tapi pada detail-detail kecil yang dulu tidak dia perhatikan —bagaimana Prof. Daniel selalu memperlakukan pasien dengan penuh hormat, bagaimana dia menjelaskan dengan bahasa yang sederhana namun tetap akurat.

"Ada yang bisa menjelaskan kemungkinan diagnosis diferensial untuk kasus ini?" Prof. Daniel bertanya pada kelompok kecil mahasiswa itu.

Beberapa mahasiswa mulai menyebutkan berbagai kemungkinan dengan ragu-ragu. "Angina pektoris? Atau mungkin GERD?"

Farrel mengerutkan kening, mengamati pasien dengan lebih teliti. Ada sesuatu yang tidak biasa dari cara pasien itu bernafas.

"Maaf, Prof," Farrel mengangkat tangan. "Boleh saya melakukan beberapa pemeriksaan tambahan?"

Prof. Daniel mengangkat alis, tapi mengangguk mengizinkan. Farrel mendekati pasien dan mulai melakukan pemeriksaan yang lebih mendetail, tepat seperti yang selalu dia lakukan selama bertahun-tahun sebagai dokter bedah.

"Pak, bisa tarik nafas dalam?" Farrel meminta sambil menempelkan stetoskop. Dia mendengarkan dengan seksama, lalu berpindah ke sisi lain dada pasien. "Kapan terakhir kali Bapak melakukan perjalanan jauh?"

"Kemarin saya baru pulang dari Surabaya, naik bus 12 jam," pasien menjawab.

Farrel mengangguk. "Prof, saya menduga ini kasus emboli paru."

Ruangan mendadak sunyi. Prof. Daniel menatapnya dengan tajam. "Bisa jelaskan alasan diagnosismu?"

"Pasien mengeluh nyeri dada yang memberat saat bernafas, ada riwayat perjalanan jauh yang meningkatkan risiko DVT, takipnea dengan laju nafas 24 kali per menit, dan pada auskultasi terdengar suara friction rub di area posterolateral. Ditambah saturasi oksigen yang borderline pada 94% dengan tekanan darah yang relatif rendah, 100/70, semua tanda mengarah ke emboli paru." jelas Farrel dengan lugas.

Prof. Daniel terdiam sejenak, lalu bergegas memanggil perawat. "Tolong siapkan CT angiografi paru segera, dan mulai pemberian heparin."

Satu jam kemudian, hasil CT scan mengkonfirmasi diagnosis Farrel. Prof. Daniel menatapnya dengan campuran kekaguman dan keheranan.

"Diagnosis yang sangat akurat," Prof. Daniel berkomentar saat mereka berjalan ke pasien berikutnya. "Kamu tau? Tak banyak bahkan dokter senior pun yang bisa menangkap tanda-tanda halus seperti itu."

Farrel hanya tersenyum canggung. Di masa depan, dia pernah kehilangan pasien karena terlambat mendiagnosis emboli paru. Sejak saat itu, dia selalu sangat teliti dengan tanda-tanda kecil yang bisa mengarah ke kondisi tersebut.

Second Chance Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang