Chapter 5 - Diagnosa Tepat

473 132 13
                                    

Selamat membaca, jangan lupa meninggalkan jejak berupa Vote juga komentar dan jika ada istilah yang keliru, mohon dikoreksi, ya! Terima kasih!

______________________________

Waktu berjalan begitu cepat. Sudah tiga minggu berlalu sejak kunjungan pertama ke UGD. Nama Farrel mulai menjadi bahan pembicaraan di kalangan mahasiswa kedokteran, bahkan sampai ke beberapa dokter senior. Beberapa mengaguminya, beberapa lainnya mencurigainya, tapi Farrel tidak peduli akan hal itu. Dia punya misi yang lebih penting.

"Farrel!" Suara Marsha memecah lamunannya. Gadis itu berlari kecil menghampiri Farrel di perpustakaan fakultas. "Ada yang harus kamu liat!"

Marsha meletakkan laptop di hadapan Farrel, menampilkan sebuah email dari Rumah Sakit pendidikan. "Mereka mengundang beberapa mahasiswa buat ikut program observasi khusus. Namamu ada di daftar!"

Farrel membaca email tersebut dengan seksama. Program observasi khusus — yang di timeline sebelumnya, dia tidak pernah mendapat kesempatan ini. Mungkin karena dulu dia terlalu takut untuk menonjol.

"Kamu juga dapat undangannya?" tanya Farrel.

Marsha menggeleng. "Cuma lima orang yang dipilih. Tapi..." dia menggigit bibir. "Aku dengar ini kesempatan bagus buat dapet rekomendasi residensi nanti."

Farrel menangkap nada kecewa di dalam suara Marsha. Di masa depan yang dia tinggalkan, Marsha memang sempat kesulitan mendapat tempat di residensi anak karena kurangnya rekomendasi.

"Hey," Farrel menutup laptopnya. "Gimana kalau kita bikin study group? Aku bisa membagikan apa yang aku pelajari dari program observasi."

Mata Marsha berbinar. "Beneran? Tapi..." Marsha tampak ragu, "bukannya bakal ngerepotin?"

"Sama sekali nggak," Farrel tersenyum. "Lagian, mengajar itu juga cara terbaik buat belajar."

Keesokan harinya, Farrel mengikuti program observasi pertamanya. Dia ditempatkan di bangsal penyakit dalam bersama Prof. Rama, seorang internist senior yang terkenal dengan kemampuan diagnostiknya yang tajam.

"Kasus pertama hari ini," ujar Prof. Rama sembari membuka status pasien, "Nyonya Aminah, usia 45 tahun, dengan keluhan utama sesak nafas dan bengkak di kedua kaki sejak dua minggu. Sudah berobat ke tiga dokter berbeda, namun belum ada perbaikan."

Farrel mengamati pasien dari ujung tempat tidur. Wanita paruh baya itu tampak lelah, dengan edema yang jelas di kedua tungkai. Tapi ada sesuatu yang menarik perhatiannya — sebuah detail kecil yang dulu sering dia temui di ruang operasi.

"Ada yang bisa memberi analisis?" Prof. Rama bertanya pada lima mahasiswa yang hadir.

Beberapa rekan Farrel mulai menyebutkan diagnosis umum — gagal jantung, masalah ginjal, atau sirosis hati. Semua kemungkinan yang masuk akal, tapi Farrel melihat sesuatu yang berbeda.

"Maaf, Prof," Farrel mengangkat tangan. "Boleh saya tanya beberapa hal ke pasien?"

Prof. Rama mengangguk. Farrel beranjak mendekati tempat tidur pasien.

"Bu Aminah, selain sesak nafas dan bengkak, ada keluhan lain? Misalnya sering berkeringat pada malam hari? Atau berat badan turun tanpa sebab?" tanya Farrel.

Pasien itu tampak terkejut. "Kok tau, Dok? Iya, saya sering keringatan padahal AC nyala. Berat juga turun hampir 5 kilo sebulan ini."

Farrel mengangguk. "Prof, saya menduga ini bukan hanya masalah kardiovaskular biasa. Ada kemungkinan sindrom paraneoplastik dari tumor mediastinum."

Ruangan mendadak lengang.

Prof. Rama menatap Farrel dengan tajam. "Apa yang membuat kamu sampai pada kesimpulan itu?"

"Selain edema dan sesak yang bisa mengarah ke superior vena cava syndrome, saya melihat facial plethora yang subtle tapi konsisten dengan obstruksi aliran vena. Ditambah dengan gejala B yang baru disebutkan pasien—keringat malam dan penurunan berat badan—serta tidak adanya respon terhadap pengobatan konvensional, semua mengarah ke kemungkinan massa di mediastinum." jelas Farrel dengan lugas.

Prof. Rama terdiam sejenak, lalu dengan cepat menulis sesuatu di status pasien. "Segera lakukan CT Thorax dengan kontras."

Dua jam kemudian, hasil CT scan menunjukkan massa berukuran 8x6 cm di mediastinum anterior. Diagnosis Farrel tepat sasaran.

"Kamu luar biasa," Prof. Rama menepuk-nepuk bahu Farrel. "Bahkan beberapa dokter spesialis pun bisa melewatkan diagnosis ini. Bagaimana kamu bisa berpikir sampai ke sana?"

Farrel tersenyum tipis. "Saya... banyak membaca jurnal, Prof."

Kabar tentang diagnosis Farrel menyebar dengan cepat. Sore itu, saat study group yang dia janjikan dengan Marsha, ruang belajar dipenuhi mahasiswa yang penasaran.

"Oke, guys," Farrel memulai, berusaha tidak terlihat terlalu mahir. "Hari ini kita bahas tentang pendekatan diagnosis. Yang penting bukan hafalan, tapi pola pikir sistematis."

Dia mulai menjelaskan, menggambar diagram di whiteboard, sesekali melempar pertanyaan untuk membuat diskusi lebih interaktif. Di sudut ruangan, Marsha mencatat dengan tekun, sesekali tersenyum saat mata mereka bertemu.

"Kunci utamanya adalah observasi detail," Farrel melanjutkan. "Setiap tanda dan gejala punya cerita. Tugas kita adalah mendengarkan cerita itu dan menghubungkannya."

"Tapi kan susah, Rel," salah satu mahasiswa menyela. "Kita masih tahun pertama, pengalaman masih kurang."

"Justru itu," Farrel tersenyum. "Sekarang waktu yang tepat untuk mulai melatih cara pandang kita. Buka mata lebar-lebar, dengarkan pasien baik-baik, dan jangan takut untuk berpikir di luar kebiasaan."

Setelah sesi berakhir, Marsha menghampirinya. "Kamu keren banget tau nggak? Cara kamu ngejelasin bikin semuanya jadi lebih masuk akal."

"Ah, biasa aja," Farrel membereskan tasnya. "Mau makan? Aku yang traktir kali ini."

Di kantin fakultas, mereka duduk berhadapan dengan semangkuk mie ayam. Marsha masih sibuk membolak-balik catatannya.

"Farrel," Marsha tiba-tiba bersuara. "Menurutmu..." Marsha tampak ragu, "aku bisa jadi dokter anak yang bagus nggak?"

Farrel tertegun. Di masa depan yang dia tinggalkan, Marsha menjadi salah satu dokter anak terbaik yang dia kenal — sebelum politik rumah sakit dan masalah pernikahan mereka mengubah segalanya.

"Kamu akan jadi dokter anak yang luar biasa," Farrel menjawab dengan yakin. "Kamu punya yang paling penting — kepedulian tulus pada pasien."

Marsha tersenyum lebar, dan Farrel merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Dia harus melakukan hal yang berbeda kali ini, memastikan Marsha tidak kehilangan kepedulian itu di tengah sistem yang rusak.

"Makasih ya," Marsha berkata pelan. "Buat semuanya."

Farrel hanya mengangguk. Di timeline sebelumnya, dia terlalu fokus pada karirnya sendiri, terlalu sibuk dengan politik rumah sakit hingga melupakan apa yang paling penting — tidak hanya merawat pasien, tapi juga orang-orang terdekatnya.

Kali ini akan berbeda. Dia akan memastikan sistem berubah tanpa mengorbankan hubungan yang berharga. Karena pada akhirnya, menjadi dokter bukan hanya soal mendiagnosis penyakit, tapi juga tentang merawat jiwa — termasuk jiwa sendiri dan orang-orang yang kita cintai.

Bersambung~

Second Chance Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang