Selamat membaca, jangan lupa meninggalkan jejak berupa Vote juga komentar dan jika ada istilah yang keliru, mohon dikoreksi, ya! Terima kasih!
——————————————
Suasana di ruangan Aula Fakultas Kedokteran siang itu terasa mencekam. Ratusan mahasiswa memadati bangku penonton, mata mereka tertuju pada podium di tengah ruangan dimana sebuah manekin bedah terpasang. Kompetisi bedah mahasiswa tingkat pertama — acara yang selalu ditunggu-tunggu setiap tahunnya.
Di podium, Farrel Sanjaya berdiri dengan tenang, kontras dengan peserta lain yang terlihat gugup. Tangannya yang terbalut sarung tangan bedah bergerak dengan presisi dan mengagumkan. Mendemonstrasikan teknik jahitan yang bahkan membuat beberapa residen senior di ruangan itu mengerutkan kening kagum.
Professor Daniel Wijaya, pria paruh baya dengan rambut beruban yang duduk di kursi juri utama, tidak bisa menyembunyikan ketertarikannya. Matanya yang tajam mengamati setiap gerakan Farrel dengan seksama.
"Luar biasa," bisiknya pada Dr. Sisca, rekan jurinya. "Lihat bagaimana dia melakukan penjahitan dengan teknik interlocking. Itu teknik yang bahkan baru kami ajarkan di tahun ketiga residensi bedah."
Di barisan depan penonton, Ollan menggenggam erat buku catatannya. Sebagai sahabat dekat Farrel sejak hari pertama kuliah, dia telah mengamati berbagai kejanggalan. Bukan hanya soal teknik bedah yang terlalu advance, tapi juga pengetahuan medis yang mendalam, cara diagnosa yang terlalu tepat untuk ukuran mahasiswa tahun pertama, bahkan cara Farrel berbicara dan bersikap yang kadang terasa terlalu matang untuk usia mereka.
"Dan pemenang kompetisi bedah mahasiswa tahun ini..." suara Professor Daniel menggema di aula, "Farrel Sanjaya!"
Suara tepuk tangan memenuhi ruangan. Beberapa mahasiswa juga bersiul, sementara yang lain berbisik-bisik kagum. Farrel menerima medali dengan senyum yang sederhana, seolah kemenangannya adalah hal yang sudah dia perkirakan.
Setelah acara selesai dan kerumunan mulai bubar, Ollan menunggu di lorong depan aula. Matanya juga menangkap sosok Marsha yang berjalan mendekat, tampak ingin memberi selamat pada Farrel. Namun sebelum gadis itu sempat mendekat, Ollan sudah lebih dulu menghampiri Farrel yang baru keluar.
"Kita perlu bicara," katanya dengan nada yang tidak bisa dibantah. Ada ketegasan dalam suaranya yang membuat Farrel tahu — ini saatnya.
Farrel mengangguk pelan dengan medal emas masih berkilau di tangannya. "Baiklah. Tapi tidak di sini."
Mereka berjalan dalam diam menuju taman belakang Falkultas Kedokteran. Tempat itu selalu sepi di sore hari, hanya ada beberapa bangku kayu di bawah pohon-pohon rindang yang sudah berusia puluhan tahun. Marsha, yang penasaran dengan keseriusan yang terlihat di wajah mereka, diam-diam mengikuti dari jarak aman.
Farrel dan Ollan duduk di bangku kayu yang sudah aus dimakan waktu. Angin sore bertiup lembut, membawa aroma dedaunan dan rumput basah. Di kejauhan, suara aktivitas kampus mulai mereda.
"Jadi," Ollan memulai, matanya menatap lurus pada sahabatnya, "bagaimana kau bisa melakukan teknik bedah tingkat residen?"
Farrel tidak langsung menjawab. Dia memandang medali di tangannya, memantulkan cahaya sore yang keemasan.
"Dan bukan hanya itu," Ollan melanjutkan. "Kau tahu detail penyakit yang bahkan belum kita pelajari. Kau bisa mendiagnosis pasien seperti dokter berpengalaman. Waktu lalu di UGD, kau bahkan tahu pasien itu mengalami emboli paru sebelum hasil CT scan keluar." Dia mengambil jeda. "Siapa kau sebenarnya, Farrel?"
Di balik pohon mangga besar, Marsha menahan nafas. Pertanyaan Ollan persis seperti yang ada di benaknya selama ini.
Farrel menghela napas panjang. Matanya menerawang jauh, seolah melihat memori dari kehidupan yang berbeda. "Kau mungkin tidak akan percaya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance
Teen FictionMenceritakan tentang seorang dokter yang frustasi dengan sistem dan politik di rumah sakit tempatnya bekerja, mendapat kesempatan kedua ketika dia kembali ke masa lalunya saat masih mahasiswa kedokteran tahun pertama di tahun 2005. Dengan pengetahua...