Chapter 7 - Politik Rumah Sakit

445 123 2
                                    

Selamat membaca, jangan lupa meninggalkan jejak berupa Vote juga komentar dan jika ada istilah yang keliru, mohon dikoreksi, ya! Terima kasih!

____________________________

Suasana ruang rapat di lantai tiga Rumah Sakit Utama terasa mencekam bagi Farrel Sanjaya. Sebagai mahasiswa kedokteran tahun pertama, kehadirannya di tengah-tengah diskusi para dokter senior ini sangat tidak lazim.

Namun, Prof. Daniel—dokter senior yang juga sebagai salah satu dekan fakultas kedokteran yang kedepannya akan menjadi mentornya itu—secara khusus memintanya hadir sebagai asisten pencatat.

Farrel berdiri di sudut ruangan, mencengkeram clipboard-nya erat-erat. Matanya tak lepas mengamati Dr. Zean Pratama yang sedang dan dengan penuh percaya diri memaparkan proposal pengadaan alat MRI terbaru. Presentasinya memang sangat meyakinkan—dengan grafik-grafik yang menawan dan data yang tampak solid.

"Dua unit MRI baru ini akan secara signifikan mengurangi waktu tunggu pasien," Dr. Zean menjelaskan dengan gestur tangan yang meyakinkan. "Saya telah melakukan negosiasi intensif dengan distributor dan mendapatkan penawaran yang sangat kompetitif."

Setiap kali Dr. Zean menyebutkan angka-angka dalam proposalnya, Farrel merasakan gelombang mual yang familiar. Bagaimana tidak? Di masa depan yang dia tinggalkan—realitas alternatif yang entah bagaimana memberinya kesempatan kedua ini—angka-angka tersebut menjadi awal dari skandal besar yang menghancurkan reputasi rumah sakit dan mengorbankan banyak karier seseorang.

Farrel menimbang-nimbang sejenak. Haruskah dia bicara? Menginterupsi diskusi para senior bukanlah hal yang bijak untuk mahasiswa tahun pertama. Namun, bayangan akan kehancuran yang akan terjadi di masa depan membuatnya memberanikan diri.

"Maaf, Prof," Farrel mengangkat tangannya, mengabaikan tatapan tidak senang beberapa dokter senior. "Boleh saya mengajukan pertanyaan?"

Prof. Daniel, pria paruh baya dengan rambut hitam yang satu-dua mulai tumbuh uban itu, selalu tampak bijaksana, memberikan anggukan persetujuan. Farrel menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan.

"Saya telah membaca beberapa jurnal tentang cost-effectiveness analysis untuk pengadaan MRI," Farrel memulai dengan suara yang dia usahakan tetap tenang. "Ada beberapa vendor lain dengan spesifikasi yang sebanding namun menawarkan harga yang jauh lebih kompetitif."

Ruangan seketika itu lengang. Beberapa dokter senior saling bertukar pandang, sementara Dr. Zean menatap Farrel dengan tatapan yang sulit diartikan—campuran antara terkejut dan marah.

"Menarik sekali, Farrel," Prof. Daniel memecah keheningan. "Bisa kau jelaskan lebih detail?"

Selama lima belas menit berikutnya, Farrel memaparkan analisis yang dia ingat dari penyelidikannya di masa depan. Setiap detail teknis, perbandingan spesifikasi, dan analisis finansial dia sampaikan dengan presisi. Dia bahkan menyebutkan beberapa studi kasus dari rumah sakit lain yang telah menggunakan vendor-vendor alternatif dengan hasil yang memuaskan.

Beberapa dokter senior mulai berbisik-bisik. Ada yang mengangguk setuju, namun tidak sedikit juga yang tampak tak nyaman dengan presentasi mendadak ini. Dr. Zean sendiri hanya berdiri diam, tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya.

Seusai rapat, ketika Farrel hendak kembali ke ruang mahasiswa, Dr. Zean mencegatnya di koridor yang sepi. "Hey, mahasiswa pintar," desisnya dengan nada mengancam. "Sepertinya kamu perlu belajar tentang hierarki dan posisimu di sini."

"Saya hanya peduli dengan efisiensi anggaran rumah sakit, Dok," jawab Farrel, berusaha terdengar netral meski jantungnya berdebar kencang. "Bukankah itu yang seharusnya menjadi prioritas kita semua?"

"Jangan sok idealis," Dr. Zean tersenyum sinis. "Sistem kesehatan ini kompleks. Ada banyak kepentingan yang harus dijaga, dan kamu masih terlalu hijau untuk memahaminya."

"Apakah itu termasuk kepentingan pribadi dokter senior?" Farrel tak bisa menahan diri untuk tidak menyindir.

Dr. Zean melangkah maju, hampir memojokkan Farrel ke dinding. "Hati-hati dengan ucapanmu, anak muda. Karirmu masih panjang. Akan sangat disayangkan jika mahasiswa berbakat sepertimu harus menghadapi... hambatan yang tidak perlu."

Malam itu, di kamar kostnya yang sederhana, Farrel duduk di depan laptop, jari-jarinya menari di atas keyboard. Dia mendokumentasikan setiap detail yang dia ingat tentang kasus pengadaan alat di masa depan—nama-nama yang terlibat, alur dana, dokumen-dokumen yang dimanipulasi. Semuanya dia catat dengan teliti, menyadari ini akan menjadi awal dari perjuangan panjang.

"Kamu tidak apa-apa?" Suara lembut Marsha mengejutkannya. Farrel hampir lupa mereka ada jadwal belajar bersama malam ini.

"Oh, hey," Farrel buru-buru menutup laptopnya. "Maaf, aku sedang fokus mengerjakan sesuatu."

Marsha, dengan sweater rajut merah muda favoritnya, duduk di sebelah Farrel. "Aku sudah dengar tentang rapat tadi. Kamu berani sekali menantang Dr. Zean seperti itu."

"Apa menurutmu aku salah?"

"Bukan begitu," Marsha menggeleng, rambut hitamnya yang panjang bergoyang lembut. "Aku kagum dengan keberanianmu. Tapi aku juga khawatir. Dr. Zean... dia bukan orang yang mudah diajak berkompromi."

Farrel tersenyum pahit. "Aku tahu. Tapi kalau bukan kita yang memulai perubahan, siapa lagi? Sistem ini perlu diguncang."

"Kita?" Marsha mengangkat alisnya, ada kilat ketertarikan di matanya.

"Ya," Farrel menatap Marsha lekat-lekat. "Kalau... kalau kamu mau membantuku."

Marsha terdiam sejenak, tampak menimbang-nimbang. Akhirnya sebuah senyum mengembang di wajahnya. "Tentu saja. Bukankah sudah kubilang aku akan selalu mendukungmu?"

Farrel merasakan kehangatan menjalar di dadanya. Di timeline sebelumnya, dia terlalu takut untuk membagi bebannya dengan siapapun, termasuk Marsha. Mungkin itulah yang membuat hubungan mereka perlahan-lahan hancur, tenggelam di antara rahasia dan kebohongan.

"Terima kasih," bisik Farrel tulus. "Ini tidak akan mudah. Kita mungkin akan menghadapi banyak resistensi."

"Hidup memang tidak pernah mudah," Marsha tertawa kecil. "Tapi setidaknya kau tidak sendirian kali ini."

Sementara itu, di ruangannya yang elegant dengan rak-rak buku dari lantai hingga langit-langit, Prof. Daniel membaca ulang catatan rapat sambil sesekali menyesap kopi hitamnya yang mulai dingin. Ada sesuatu yang berbeda dari Farrel Sanjaya - sesuatu yang membuatnya tertarik. Pengetahuan mahasiswa tahun pertama itu terlalu dalam, analisanya terlalu matang, dan keberaniannya menghadapi sistem terlalu dewasa untuk usianya.

"Menarik," gumam Prof. Daniel, melepas kacamata bacanya. Mungkin sudah saatnya sistem kesehatan yang telah lama membatu ini mendapat guncangan yang diperlukan. Dan mungkin, Farrel Sanjaya adalah katalis yang tepat untuk perubahan itu.

Jauh malam, setelah Marsha pamit pulang, Farrel masih terjaga menatap layar laptopnya. Dokumen-dokumen yang dia kumpulkan mulai tersusun rapi, membentuk sebuah peta besar konspirasi yang akan dia hadapi. Di timeline ini, dia bertekad melakukan segalanya dengan berbeda. Bukan hanya mengungkap korupsi lebih awal, tapi juga membangun aliansi yang lebih kuat.

Dengan Marsha di sisinya, dukungan diam-diam Prof. Daniel, dan pengalaman dari masa depan yang dia tinggalkan, mungkin kali ini Farrel bisa benar-benar mengubah sistem dari dalam. Mungkin kali ini, kebenaran tidak harus dikorbankan demi kepentingan segelintir orang.

Farrel menutup laptopnya dan berjalan ke jendela, menatap lampu-lampu kota yang berkedip di kejauhan. Perjuangan melawan sistem memang tidak pernah mudah, tapi setidaknya kali ini dia tidak berjuang sendirian. Dan terkadang, itulah yang membuat segala perbedaan.

Bersambung~

Second Chance Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang