Bab 3 : Naila Si Anak Kaya Raya

55 17 42
                                    


Pagi itu seperti biasa, sekolah Antukusuma ramai dengan murid yang sarapan tertunda, pacaran, mengerjakan pekerjaan rumah atau sekedar menghitung panjang kali lebar sekolahan. Itu, yang biasanya jalan-jalan tidak jelas tanpa arah dan tujuan. Berbeda dengan Ayn, gadis muda berambut bergelombang sebahu ini sedang menggosip bersama Caca dan Mei-Mei, teman barunya. Ketiga gadis ini berjongkok di taman depan kelas sambil mencabuti rumput liar.

"Mei, katanya kemarin kamu di bully?" tanya Caca dengan tangan yang aktif mencabuti rumput liar. Ayn memusatkan tatapannya ke Mei-Mei yang tengah menghela napas dalam.

Mei-Mei bukan anak kelas dua belas, tetapi karena dia sering bergaul bersama Caca yang notabennya anak penyuka buku. Mereka akrab walaupun Mei-Mei baru kelas sepuluh.

"Ya gitu deh, kak. Bukan bully berat ... tapi mereka jahat banget," ucap Mei-Mei menghela napas, lagi. Sejak masuk sekolah dia memang menjadi korban bully oleh kakak kelas dua belas C, tidak parah memang. Tetapi, sangat mengusik. Modusnya meminta mengerjakan pekerjaan rumah, mengancam, dan perundungan.

"Nggak pernah masuk BK, mereka?" tanya Ayn. Mei-Mei bergeleng, jangankan masuk bimbingan konseling, dipanggil guru BK juga mereka tidak pernah. Karena, sebagian dari pembully ada dari keluarga penguasa. Itu, yang sering makan uang rakyat.

"Parah banget," kesal Ayn.

Saat mereka bertiga asik bergosip, dari arah koridor sekolah terlihat seorang gadis yang terlihat glamor sedang berjalan. Dengan pakaian sekolah dibalut cardigan mahal, tas mahal yang dia jinjing dan sepatu serta perlengkapan ditubuhnya yang semakin membuat kesan kalau dia adalah anak orang kaya. Apalagi tatapan beragam murid murid lain kepadanya, ada yang mengangumi, iri dan julid.

"Itu siapa?" Ayn menunjuk gadis itu.

"Dia, Naila Wijaya. Anak tunggal kaya raya dari pengusaha batu bara," jelas Caca.

"Dia pembully lo, Mei?" Ayn menatap lekat adik kelas nya ini.

"Bukan, kak," jawab Mei-Mei.

"Iya, bukan dia. Naila mah sibuk sama dunianya sendiri." Caca masih setia memperhatikan Naila yang berjalan melewati lapangan basket outdoor.

Di lapangan basket, murid kelas dua belas B termasuk Aan tengah bermain disana. Hal itu memicu para gadis gadis yang pertama kali melihat Aan, mereka sangat tersihir oleh ketampanan kembaran Ayn itu.

"AWAS!"

Ragon berteriak dengan kencang, saat bola basket yang dioper oleh Kevin ke dirinya terlempar keluar lapangan. Dengan gerakan slowmo hampir mengenai Naila kalau saja Aan tidak dengan sigap memblokirnya dengan tangan. Semua orang kaget, bahkan Naila sendiri yang langsung menunduk ketakutan.

"Vin, yang bener woi!" kata Aan melempar kembali bola basket itu ke Ragon.

"Lo nggak apa?" tanyanya memastikan keadaan Naila, apalagi saat melihat gadis itu bergetar ketakutan.

Naila mengangguk, menegapkan kembali tubuhnya dan mendongak menoleh ke Aan.
"Makasih, ya. Siapa nama kamu?" tanya Naila.

Aan tidak menjawab, dia berbalik melengos pergi karena sudah memastikan Naila tidak kenapa napa. Persis seperti para gadis lainnya yang kagum dengan Aan, Naila juga melihatnya seperti Captain America. Naila tersihir oleh wajah tampan dan tegas milik Aan sampai sampai dia terpana dan terdiam di tempat.

******

Naila jadi terus memikirkan Aan, dan ternyata mereka juga di kelas yang sama. Beruntungnya Naila, seperti saat ini. Dia menjinjing satu kantong plastik berisi minuman dan makanan, berdiri di depan meja Aan. Kejadian di lapangan basket tadi menjadi dorongan untuk Naila, supaya bisa lebih mendekati Aan.

"Nama kamu Aan, kan? Kenalin, aku Naila." Naila menjulurkan tangannya, Aan yang semula sedang mendengarkan musik pada headset ditelinga mulai menotice keberadaan seseorang.

"Kamu udah sarapan belum, ini aku beliin dari kantin." Naila menaikkan plastik yang dijinjingnya ke atas meja dengan semangat. Ragon dan Kevin yang melihat hal itu tentu saja tersenyum penuh arti, apalagi melihat wajah berbinar Naila. Fiks, gadis kaya raya ini sudah masuk pesona seorang Kafaanka Malik Omair.

Aan tidak menjawab, dia malah menghela napas dan beranjak dari duduknya meninggalkan kelas begitu saja. Membuat Naila bergegas berlari mengekorinya.

"Aan, kamu habis pulang sekolah kemana? Makan berdua yuk sama aku," ajak Naila terus. Tidak memperdulikan tatapan dari semua murid di koridor yang keanehan melihatnya membuntuti Aan.

"Atau kita nonton bioskop, anggap aja sebagai ucapan terimakasih aku ke kamu karena tadi ...." ucap Naila terpotong. Aan berhenti, membuat kepala Naila menambrak punggu tegap dan keras milik Aan.

"Bisa nggak, lo berhenti ikutin gue!" Aan berbalik, menatap tajam ke Naila yang meringis saat kepalanya berdenyut nyeri.

"Aan, anggap aja ini ucapan terimakasih aku," kekeh Naila.

"Gue nggak perlu ucapan terimakasih atau apapun itu, jadi stop ikutin gue." Aan meninggikan nada suara nya, membuat semua murid yang memang berada di koridor ketakutan.

"Iya, aku tahu. Gimana kalau sekarang aja, kita ke kantin. Aku yang traktir." Naila terus mencoba untuk membujuk Aan mengiyakan permintaannya, tapi sepertinya sulit karena cowok didepannya ini terus saja memasang wajah masam.

"Stop ikutin gue, atau gue kasarin!" pengingat Aan dengan ucapan yang di tekankan. Naila sebenarnya tidak terpengaruh ataupun merasa ter intimidasi, tapi karena dia takut Aan membencinya. Dia mengangguk pelan dengan pasrah.

"Iya deh," katanya lirih.

"Liat apa lo semua! Bubar, ini bukan tontonan!" teriak Aan menoleh ke semua murid yang berlari pergi masuk ke kelas.

Ayn dan Caca yang melihat kejadian itu dari ambang pintu kelasnya hanya bisa menghela napas dalam, lagi-lagi kembaran nya itu bersikap kasar dan amarah nya selalu tidak bisa dikontrol.

"Abang lo keren banget, Yn," ucap Caca tanpa sadar.

"Sadar woi! Si Naila aja di gituin apalagi lo." Ayn tahu betul sikap kembarannya, kalau tentang asmara selalu saja di tolak mentah mentah. Makanya gadis yang mendekati Aan selalu terpental jauh dengan sikapnya.

"Menurut lo Naila bakalan nyerah ngejar Abang Lo?" Caca menoleh ke Ayn, mereka saling pandangan untuk menemukan jawaban dari pertanyaan itu.

"Jawabannya enggak, karena si Naila itu orangnya ambisius. Barang branded yang dia incar aja harus dia dapetin, apalagi Abang lo," jelas Caca.

"Ini sekolahan isinya pada ngeri semua, ya." Ayn merengut setelah menyadari banyaknya masalah di sekolah ini. Baru juga Ayn masuk selama dua hari, sudah banyak hal aneh di sini.

Saat sedang memperhatikan Naila, Ayn tidak sadar kalau Jacob hendak masuk ke kelas tetapi terhalang karena dirinya dan Caca berdiri di tengah pintu.

"Ayn."

Caca menepuk pelan punggung Ayn untuk menyadarkannya saat Jacob tidak bisa masuk ke kelas.

"Lo mau terus berdiri di sini atau gue angkat biar masuk ke kelas." Ayn membulatkan matanya saat dia dan Jacob beradu tatap, bayangkan bagaimana terkejutnya Ayn. Beberapa hari ini dia memang tertarik dengan Jacob, tapi memang cowok ini selalu dikelilingi oleh banyak gadis.

Kata Caca, Jacob memang murid pintar juga dermawan dan mudah sekali bergaul. Tak jarang Jacob bahkan menaruh perhatian lebih ke beberapa gadis, pokoknya dia sangat humoris. Hampir mirip dengan Ayn, tapi Jacob lebih memetingkan kefokusannya dalam belajar.

"Lewat aja." Ayn membuka jalan untuk Jacob, apalagi saat saling tatap tadi. Jantung Ayn berdegup sangat kencang, apa dia sangat menyukai Jacob sampai tidak bisa menyembunyikannya lagi.

Setelah adegan bertatapan dengan Jacob tadi, selama jam pelajaran terakhir Ayn hanya bisa diam. Dia tidak berani berbicara banyak, jujur saja dia syok dengan ucapan Jacob yang akan mengangkat dirinya kalau saja tidak beranjak dari tempat tadi. Sebagai gadis yang sangat terbatas akan aktivitas dengan laki-laki membuat Ayn terus kepikiran.

AanAynTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang