Satu

4 1 0
                                    

“Cintaku bertepuk harap yang tak ada, rintihan nada asmara… kau kehidupanku meski kau tak tau, ada aku di hidupmu…”

Ting!

Bunyi denting oven membuatku yang sedang asyik mengelap piring-piring basah menoleh. Senyumku terkembang. Aku mengelap tangan dengan kain bersih lalu melangkah mendekati oven di sebelah kiri.

“Hmm…” Aku memejamkan mata, menikmati aroma manis yang menyeruak saat pintu oven terbuka.

Aku menatap kukis buatanku dengan senyum lebar. Sempurna, batinku riang.

“Wangi amat... Bikin apa kamu, Dek?” Dari pintu dapur, Bunda muncul dengan raut penasaran. “Widih, kukis… tumben.”

“Mumpung libur, Bun. Sekalian mau buat bekal Mas Ago dinas besok.” Aku menyahut sambil menata kukis di cooling rack. “Bunda mau?” tawarku.

Bunda mengangguk. “Boleh atuh kalau masih ada mah. Bawain ke luar ya, Neng. Sekalian buatkan Bunda teh.”

Lima menit kemudian, aku sudah duduk di ruang tengah bersama Bunda. Di meja, ada piring berisi kukis dan dua cangkir teh hangat.

“Bunda sebenarnya pengen ngomong tau, Dek, sama kamu,” kata Bunda setelah menyeruput teh nya.

Aku menoleh, “kenapa, Bun?” Aku menyandarkan punggung ke sofa, menghadap Bunda.

“Gini, Neng…” Bunda memulai, “kemarin, hari Minggu, si Aa telepon Bunda.”

“Hmm, terus?”

“Katanya kemungkinan dia extend setahun lagi di sana.”

Keningku mengernyit. “Lah, katanya Aa resign, Bun?”

“Iya, resign… tapi habis itu katanya dapat tawaran lagi, Neng, di resto lain. Lebih bagus gajinya, ceunah.”

Aku mengangguk-angguk, salut sama Aa. Keren juga sih. Sudahlah jago masak, ganteng, karir bagus pula. “Terus gimana, Bun?”

“Nah, itu dia, Neng,” kata Ibu sambil menepuk punggung tanganku, “si Aa bilang rumah sebelah mau dikontrakin aja.”

Keningku mengernyit lagi. “Loh, bukannya rumah itu buat si Aa habis nikah?”

“Emangnya kamu belum diceritain sama si Aa? Dia kan putus sama pacarnya, Neng.”

Mataku membulat kaget. “Hah, putus Bun?! Perasaan kemarin masih adem-adem aja…”

“Yeu si kamu mah ketinggalan berita. Katanya si pacarnya itu minta buru-buru nikah, Neng.”

“Masa iya cuma gara-gara itu putusnya?” gumamku, masih tak percaya.

Bunda mengangkat bahu sambil tersenyum kecil. “Ya namanya juga Aa kamu, Neng. Orangnya perfeksionis, semuanya harus sesuai sama rencananya. Dia nggak suka buru-buru. Lagian ya, siapa tahu memang bukan jodohnya.”

Aku terdiam, membenarkan ucapan Bunda. Aku tahu persis bagaimana Aa selalu menjaga perasaan orang lain, meski kadang keras kepala. Pantas saja dia memilih untuk memperpanjang masa tinggal di sana. Mungkin dia butuh waktu untuk dirinya sendiri.

“Bun, terus sekarang Aa gimana? Apa dia baik-baik aja?”

Bunda mengangguk pelan. “Mudah-mudahan ya, Neng. Mungkin masih sedikit sedih, tapi kamu tahu kan Aa kamu itu. Selalu bisa menyembunyikan perasaannya.” bunda berhenti sejenak lalu tersenyum lembut padaku. “Nggak apa-apa, Neng. Kata orang mah, patah hati juga bagian dari perjalanan cinta kan? Doain aja si Aa dapat jodoh yang lebih baik.”

Aku mengangguk. “Aamiin… Berarti nanti aku pasang iklan gitu ya, Bun, atau gimana?”

“Nggak usah, Neng. Orang kata si Aa ada temennya yang mau ngontrak.”

“Temennya Aa?”

“Iya… katanya baru balik dari luar negeri, rumahnya lagi direnovasi makanya ngontrak dulu di sini. Temen SMA-nya si Aa yang suka main ke sini itu gening, Dek…”

Deg.

Kalimat terakhir Bunda membuatku terdiam.

Teman SMA Aa banyak kan? Nggak mungkin cuma ‘dia’, kan?

••••••••

Sejak pagi, aku mondar-mandir dengan gelisah. Ada saja yang kukerjakan. Mulai dari menyapu halaman rumah, beres-beres dapur, sampai mengelap pajangan milik Bunda di lemari kaca.

Padahal, biasanya boro-boro aku mau melakukan semua itu. Bangun pagi di hari libur saja sudah syukur Alhamdulillah.

Lalu, kenapa pagi ini tiba-tiba rajin?

Begini ceritanya. Semalam, bunda bilang Adip mengabari kalau kemungkinan sore ini si calon penghuni rumah sebelah akan datang.

Iya… orang yang akan mengontrak rumah sebelah, alias teman SMA Aa Adip itu akan datang dan resmi jadi penghuni baru hari ini.

Tiin. Tiin.

Suara klakson mobil di halaman membuatku langsung menegakkan tubuh. Bunda sedang mengikuti pengajian di blok sebelah, berarti… berarti aku sendiri yang harus menemui orang itu?!

Apa aku ngumpet aja ya di kamar? Pura-pura nggak denger ada orang, gitu?

“Permisi…” Ketukan pintu diikuti suara bariton seseorang terdengar dari teras.

Aku menghembuskan napas. Meski jantungku berdegup kencang, aku berusaha menetralkan ekspresi wajah.

“Permisi, Assalamualaikum…”

Tenang, Run. Santai. Cool… aku membatin, mencoba meyakinkan diri sambil melangkah menuju pintu.

Cklek.

Pintu terbuka, dan kini di hadapanku, berdiri sosok yang pernah mengisi hari-hariku bertahun-tahun lalu.

“Runi?”

🍁🍁🍁🍁🍁


Halooo, i'm back!

Anyone stay here?
Iya, ini di revisi dikit ya pemirsa 🙏🏻

Doakan bisa konsisten update nya setiap minggu.

Jangan lupa klik gambar bintangnya yaa 🙇🏻‍♀️

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: an hour ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HeartstringTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang