“Gila gila! Gak! Gak Boleh! Gue gak boleh kaya gini! Kenapa si? Ada apa si sama gue?”
Laki-laki yang kini tengah mengacak rambutnya berulang kali, terus meracau menyangkal sesuatu yang sepertinya mulai ia sadari. Sesuatu yang berulangkali berusaha ia tepis hadirnya. Entah apa, kini ia merasa ketakutan ketika ia menyadari bahwa perlahan, rasa itu telah singgah di hatinya. Rasa yang tak seharusnya ada.
Raut frustasi begitu jelas tergambar di wajah Arka. Rambutnya terlihat begitu berantakan dengan kerutan yang sejak tadi telah menghias di keningnya. Arka seperti sedang berusaha mencari solusi dari sebuah permasalahan. Mungkin tentang solusi untuk permasalahan Naya, atau justru solusi untuk permasalahannya sendiri. Permasalahan hati lebih tepatnya.
Berulang kali Arka membasuh wajahnya dengan air, namun dinginnya bulir air itu tak mampu mendinginkan isi kepala Arka dan juga panas di hatinya. Ia tahu betul apa arti dari kemarahan yang muncul ketika rencana menikah yang keluar dari mulut Naya ia dengar. Arka tahu betul apa yang sedang terjadi padanya. Cemburu? Tentu saja iya. Maka dari itulah Arka berusaha menghilangkan perasaan paling menyiksa itu.
“Bodoh! Bodoh banget si lo Arka! Kok bisa? Lo udah janji sama diri lo sendiri dari awal man!” Arka masih saja mencemooh dirinya sendiri. Padahal, tak ada yang salah sama sekali dari perasaannya. Jatuh cinta hal yang wajar bagi setiap manusia, bukan?
“Arghhhh, Shit man!”
Tepat ketika ia selesai mengucapkan kalimat tidak baik itu, gelegar suara petir membuat tubuhnya menegang seketika. Hujan dengan intensitas yang cukup lebat disertai angin yang bertiup dengan kencang, membuat tubuh gagahnya seketika membeku. Ia meringkuk, sambil berusaha menutup telinganya dengan tangan agar suara mengerikan dari petir itu tak lagi ia dengar. Sayangnya, semua sia-sia. Petir itu terlalu kuat tangan Arka yang hanya mampu menutup sedikit berisik pada telinganya.
Bayangan-bayangan tentang trauma masa lalu seketika membuatnya tak berdaya. Takut, sedih, marah, semuanya silih berganti mengisi ruang penuh dalam pikirannya. Tak ada lagi rasa cemburu itu. Semua kini berganti menjadi kecemasan yang membuat tubuh yang meringkuk itu kini mulai bergetar.
Tak kunjung berhenti, Hujan lebat malam ini justru kian menjadi. Tampaknya langit sedang menunjukkan marahnya entah pada siapa. Atau mungkin langit sedang marah kepada dirinya? Marah atas ketidakberdayaannya menjaga apa yang berharga. Tubuh itu semakin bergetar hebat dan mulai ditemani dengan suara lirih tangis yang keluar dari mulut laki-laki menyebalkan itu. Setidaknya begitulah yang selalu Naya katakan.
Semakin berusaha Arka menutupi telinganya, gemuruh hujan itu justru seakan semakin dekat dengan dirinya. Rasanya, ia seperti sedang terkurung dalam sebuah sebuah ruangan menakutkan yang tak akan ada satu orang pun datang untuk menolongnya. Namun ternyata, Arka hanyalah berprasangka.
Di tengah ketakutan yang kian melanda, tangan lembut yang terasa begitu dingin itu mendekapnya. Memberikan diantara semua suasana yang terasa begitu mengerikan.
“It’s ok. I’m here. Ada gue, lo gak perlu takut lagi.”
Suara lembut itu menyadarkan Arka. Tak butuh waktu lama, Arka dengan cepat mendekap tubuh mungil gadis itu. Menenggelamkan wajahnya pada pundak kecil Naya, yang datang ketika mengingat bahwa hujan adalah musuh terbesar Arka. Ia tahu, tubuh gagah itu tak akan lagi terlihat ketika petir silih berganti bersahutan meramaikan bumi.
Dan disinilah Naya sekarang, memberikan sentuhan lembut pada punggung Arka, berharap hadirnya dapat sedikit menenangkan.
“Don't Worry,oke? Gue di sini. Lo gak sendirian.” Lagi, dengan lembut Naya terus mencoba menenangkan.
“Jangan tinggalin gue, Nay! Gue mohon!” Suara yang bergetar itu menyahuti perkataan Naya.
“Iya, gue gak akan kemana-mana. Lo tenang ya? Ada gue!”
.....
Happy Reading!!!
Jangan lupa vote dan komen, kalo gak nanti aku marah!Heheheh, candaaa

KAMU SEDANG MEMBACA
KITA?
AcakSering terjadi di kota-kota besar ketika dua anak manusia yang bersahabat namun ternyata salah satu nya memilih untuk menjadi lebih dari sahabat. Sangat klise, memang. Namun bagaimana jika hal tersebut terjadi atas sebuah perjanjian?