Setelah seminggu berbulan madu di Jepang dan menikmati berbagai pengalaman baru bersama, Zean dan Adel akhirnya kembali ke Indonesia. Mereka merasa puas dengan momen-momen yang mereka habiskan di Jepang, mengunjungi berbagai tempat, mencicipi makanan khas Jepang, dan menikmati keindahan kota-kota yang mereka singgahi. Kembali ke rumah, mereka pun siap memulai kehidupan rumah tangga mereka.
Sekarang, Zean dan Adel sedang menikmati makan malam yang hangat di rumah baru mereka. Setelah lelah berkeliling dunia dan menjalani berbagai aktivitas liburan, suasana rumah terasa begitu nyaman dan tenang.
Setelah makan malam, mereka berdua pindah ke kamar dan mengobrol ringan tentang rencana-rencana mereka ke depan, baik soal pekerjaan, aktivitas harian, hingga impian-impian baru yang ingin mereka capai sebagai pasangan suami istri.
Pagi itu, sinar matahari menembus jendela kamar mereka, menandakan hari baru yang cerah. Di tempat tidur, Adel perlahan membuka matanya, menyadari tubuhnya terasa lelah dan pegal, terutama pada kakinya. Sebuah senyum tipis muncul di wajahnya, mengingat bagaimana malam sebelumnya, Zean dengan lembut tapi penuh gairah menuntut "haknya" sebagai suami. Malam pertama yang bagi mereka adalah momen penuh cinta.
Zean yang sudah terbangun lebih dulu, melihat Adel terbangun dan tersenyum padanya. "Pagi sayang. Gimana, masih sakit?" tanyanya sambil menyingkirkan rambut Adel yang jatuh di wajahnya.
Adel tersipu malu, memalingkan wajahnya sejenak sambil mengangguk kecil. "Iya, Mas... sakit banget. Kamu sih, gak ngerti aku udah capek seharian kemarin keliling kota sama kamu, ini semua gara-gara kamu Mas"
Zean tertawa pelan, lalu mencium keningnya dengan penuh sayang. "Maaf, maaf. Tapi kan ini yang udah lama Mas tunggu. Semalam bener-bener nggak bisa ditahan."
Adel tertawa pelan, meski matanya memancarkan kelelahan, ia merasa bahagia. Di saat yang sama, rasa malu membuat wajahnya bersemu merah. Di tengah percakapan mereka yang ringan, Zean mengubah topik pembicaraan, sesuatu yang sudah lama mereka impikan bersama.
"Kamu pernah bilang ingin punya anak kan, Sayang? Kira-kira kamu pengin kita punya anak kapan?" tanyanya, matanya penuh dengan harapan, Zean tak ingin memaksa Adel untuk punya anak sekarang, maka dari itu ia bertanya dulu namun tak ia pungkiri ia juga ingin membangun keluarga kecilnya.
Adel tersenyum, matanya berbinar. "Aku juga pengin, Mas. Aku nggak keberatan kalau kita langsung punya anak sekarang. Aku malah nggak sabar buat dipanggil Bunda"
Zean tampak bahagia mendengar jawaban Adel. Baginya, memiliki keluarga dengan Adel adalah impian yang ingin ia wujudkan secepat mungkin. Mereka mulai membicarakan impian masing-masing tentang menjadi orang tua dan bagaimana mereka akan menghadapi perjalanan tersebut bersama.
"Aku yakin kita bisa jadi orang tua yang baik, Mas. Aku pengin anak-anak kita nanti punya banyak kenangan indah bersama kita, dan aku pengin kasih yang terbaik buat mereka," ujar Adel dengan semangat.
Zean mengangguk. "Mas juga begitu sayang. Nanti, kita bisa saling belajar dan mendukung. Mas yakin kita bakal jadi keluarga yang hebat."
Setelah obrolan mereka di kamar, Adel merasa butuh ke toilet, tetapi tubuhnya masih terasa pegal dan lelah. Dengan senyum malu-malu, ia meminta bantuan Zean.
"Mas... bisa anterin aku ke toilet?" bisik Adel dengan nada sedikit malu.
Zean tersenyum lembut, lalu membantu Adel berdiri perlahan. "Iya, Sayang. Pelan-pelan aja ya" ucapnya sambil menopang tubuh istrinya dengan hati-hati.
Adel berpegangan erat pada lengan Zean, Zean pun dengan sabar membimbingnya menuju toilet, menjaga agar Adel tetap nyaman dan tidak kesakitan.
Ketika sampai di depan pintu kamar mandi, Zean menatap Adel dengan senyum nakal dan menggoda. "Mau nggak Mas temenin sekalian di sini?" tanyanya dengan nada bercanda, jelas sekali maksudnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Soulmate (ZeeDel) ✔
FanfictionDi balik kemegahan gedung kantor yang menjulang, ada satu sosok yang berdiri di puncak kesuksesannya, Zean Alvaro. Namanya dikenal sebagai CEO muda yang berprestasi, pemimpin yang disegani, dan figur yang dihormati. Di usia tiga puluh tahun, ia suda...