Pagi itu di rumah keluarga Alvaro, Zean lagi-lagi dihadapkan dengan rutinitas yang tidak pernah absen tiap kali dia pulang. Suara dentingan alat makan terdengar dari ruang makan yang elegan, sementara aroma kopi menyebar ke seluruh ruangan. Zean duduk sambil mengetik sesuatu di ponselnya, mungkin sekedar mengecek jadwal kerjanya atau email penting di ponselnya. Tapi tidak butuh waktu lama sebelum ibunya, Shani, mengalihkan perhatiannya.
"Zean" panggil Shani sambil meletakkan gelas kopinya, "kapan terakhir kali kamu nggak sibuk urusin kerjaan?" Suaranya lembut tapi terkesan tegas.
Zean mendongak, senyum tipis di wajahnya. "Bunda, Zean punya waktu kok. Cuma ya... kebanyakan memang buat kerja." Dia tertawa kecil, mencoba menepis topik yang kayaknya bakal berlanjut panjang.
Tapi bukannya berhenti, justru Gracio, ayahnya, ikut menimpali. "Makanya, Zean, udah waktunya kamu nggak cuma mikirin kerjaan aja. Lihat tuh, kamu udah punya semua yang orang impikan di umur segini. Sekarang, tinggal satu hal lagi yang kamu butuhin."
Zean pura-pura nggak paham maksud ayahnya. Dia cuman mengangguk tanpa niat ngerespon lebih lanjut, tapi tahu-tahu adiknya, Christy, ikut nimbrung. "Kak Zean, kapan adek bisa panggil seseorang kakak ipar? Pasti seru kalau punya kakak ipar buat dijadiin temen belanja sama adek." Christy ketawa, sementara Zean cuma menghela napas, tidak terkejut sama sekali sama pertanyaan itu. Topik ini udah kayak makanan sehari-hari tiap kali mereka ngumpul.
Walaupun kelihatan cuek, dalam hatinya Zean tahu keluarga emang serius dengan ini. Mungkin mereka benar, mungkin ini waktunya buat dia nyari seseorang yang bisa nemenin dia, seseorang yang ngertiin dia lebih dari sekadar rekan kerja atau kolega bisnis. Tapi di sisi lain, Zean juga merasa nggak perlu buru-buru. Di usia tiga puluhan, dia udah punya karier, posisi, dan gaya hidup yang bikin banyak orang iri. Kenapa mesti buru-buru kalau dia udah merasa nyaman dengan semua ini?
Melihat Zean yang nggak terlalu antusias menanggapi, Shani pun ikut bicara. "Bunda sama ayah nggak minta kamu buru-buru, Zean. Kami cuma pengen kamu beneran bahagia. Kesuksesan itu penting, tapi kamu juga butuh seseorang yang bisa bikin kamu lebih merasa hidup." Senyum Shani lembut, tapi penuh dengan makna.
Zean terdiam, tidak tahu harus jawab apa lagi. Dia nyoba nyari alasan buat ngeles, tapi tiba-tiba ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari salah satu klien besar, undangan untuk datang ke acara amal akhir pekan nanti. Zean langsung merasa sedikit lega, setidaknya ia sekarang punya alasan buat mengalihkan topik yang mulai terasa berat.
"Ada acara amal akhir pekan nanti, undangan dari klien. Mungkin Zean bakal datang" kata Zean sambil nunjukin ponselnya, berharap ini bisa jadi topik yang beda.
Ayahnya hanya mengangguk dengan senyum penuh arti. "Bagus. Siapa tahu, kamu bisa ketemu seseorang yang spesial di sana."
Walaupun Zean agak skeptis, dia tetap mengiyakan. Paling tidak, datang ke acara itu bakal bikin dia terhindar dari omelan-omelan soal pernikahan, meskipun hanya sebentar.
Akhir pekan pun tiba. Ballroom hotel tempat acara amal diadakan penuh dengan tamu undangan, dari pengusaha terkenal sampai artis papan atas. Zean hadir dengan setelan jas yang elegan, tampil percaya diri seperti biasa. Di dunia bisnis, Zean memang punya nama besar, tapi di balik semua itu, dia sebenernya nggak terlalu suka acara sosial kayak gini. Dia lebih suka suasana yang tenang dan profesional, bukan pesta besar dengan banyak basa-basi.
Sambil berkeliling, Zean ngobrol sama beberapa rekan bisnis. Namun, di sela-sela percakapan, matanya menangkap sosok seorang gadis muda yang berdiri canggung di dekat pintu masuk. Gadis itu tampak bingung, matanya sibuk mencari-cari seseorang di tengah kerumunan. Zean tersenyum kecil, merasa ada yang menarik dari ekspresi lugu gadis itu.
Setelah beberapa detik ragu, Zean memutuskan untuk mendekati gadis itu. Mungkin ini bisa jadi sedikit hiburan di tengah acara yang terasa monoton.
"Pertama kali datang ke acara kayak gini?" tanya Zean dengan nada ramah, mencoba mencairkan suasana.
Gadis itu terlihat kaget, tapi kemudian tersenyum canggung. "Gak kok, tapi aku disuruh datang nemenin dosen, tapi malah nyasar."
Zean ketawa kecil, ada sesuatu yang menarik dari cara gadis itu bicara. "Nama saya Zean. Bisa panggil saya Zean aja. Mungkin saya bisa bantu kamu cari dosenmu?"
"Oh, makasih, kak Zean." Gadis itu tersenyum lebar, kali ini terlihat lebih santai.
Zean tertegun sejenak. Panggilan "Kak" terasa begitu akrab dan berbeda dari panggilan formal yang biasa ia dengar. "Nama aku Adel." lanjut gadis itu membuat Zean sadar dari lamunannya
Obrolan antara mereka berlanjut, dan Zean semakin merasa ada sesuatu yang berbeda dari Adel. Di tengah hiruk pikuk acara dan pembicaraan bisnis yang berat, Adel membawa kesan yang ringan dan menyegarkan. Zean mulai penasaran, sejak kapan terakhir kali dia merasa begitu nyaman ngobrol dengan seseorang?
Sementara mereka mencari dosennya, Zean dan Adel terus ngobrol tentang banyak hal, dari kuliahnya Adel sampai cerita kecil tentang dosen-dosen yang menurutnya "ajaib." Adel tertawa saat menceritakan satu dosennya yang suka ngomel sendiri saat lagi jalan di kampus, dan Zean, yang biasanya serius, nggak bisa menahan tawa.
"Jadi gimana caranya seorang mahasiswa kayak kamu bisa ada di acara kayak gini?" tanya Zean setelah mereka berhenti sejenak untuk mengambil minum.
"Dosenku yang maksa kak. Katanya ini acara penting dan aku perlu lihat dunia luar biar nambah pengalaman." Adel menghela napas, jelas kalau dia nggak terlalu suka acara formal seperti ini.
"Ah, dosenmu benar juga. Kadang-kadang memang perlu lihat dunia yang berbeda," Zean menimpali sambil tersenyum.
Mereka berdua larut dalam obrolan, sampai akhirnya dosen yang dicari-cari Adel muncul di kejauhan. Adel langsung melambaikan tangan, dan dosennya pun berjalan ke arah mereka. Sebelum pergi, Adel menoleh ke Zean dengan senyum yang tulus.
"Makasih, kak. Aku bener-bener nggak nyangka bakal punya teman ngobrol di acara kayak gini," ucapnya, sedikit tersipu.
"Sama-sama, Adel. Semoga kita bisa ketemu lagi di lain waktu." Zean menjawab dengan senyum yang sama, tapi di balik senyum itu, ada perasaan yang belum pernah ia rasakan sejak lama.
Setelah Adel pergi bersama dosennya, Zean masih terdiam di tempat, matanya mengikuti sosok Adel yang semakin menjauh. Ada sesuatu yang aneh di dalam dirinya. Mungkin itu cuma perasaan sesaat, pikirnya. Hanya pertemuan singkat dengan seorang gadis, tapi kenapa rasanya seperti ada yang berbeda? Biasanya, Zean nggak pernah peduli dengan orang-orang baru dalam hidupnya. Semuanya teratur, profesional, tanpa gangguan dari urusan pribadi. Tapi kali ini, entah kenapa, perasaan itu nggak hilang begitu saja.
Saat Zean kembali berkeliling di acara itu, dia merasa ada yang kosong. Obrolan bisnis yang biasanya mengalir lancar kini terasa membosankan. Pikirannya melayang ke pertemuan tadi. Adel dengan senyum canggungnya, cara bicaranya yang ringan, dan bahkan candanya yang nggak dibuat-buat. Semua terasa begitu... menyenangkan. Sesuatu yang Zean tidak temui lagi dalam waktu yang lama.
Dia berusaha menepis perasaan aneh itu dengan fokus pada orang-orang di sekitar yang lagi ngobrol serius soal investasi dan perusahaan. Namun, entah kenapa, bayangan wajah Adel terus muncul di benaknya.
***
Cerita pertama, jangan lupa kasih vote dan juga saran ya, thx buat yang udah mampir
![](https://img.wattpad.com/cover/384066332-288-k173503.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Soulmate (ZeeDel) ✔
FanficDi balik kemegahan gedung kantor yang menjulang, ada satu sosok yang berdiri di puncak kesuksesannya, Zean Alvaro. Namanya dikenal sebagai CEO muda yang berprestasi, pemimpin yang disegani, dan figur yang dihormati. Di usia tiga puluh tahun, ia suda...